Zareena, wanita cantik nan sempurna menikah dengan pria yang sangat dicintainya hingga pernikahannya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Elvano. Lima tahun pernikahannya terasa begitu sangat indah, hingga kenyataan menghantam relung hatinya. Suaminya berselingkuh dengan adik angkatnya, bahkan keluarganya begitu memihak pengkhianat.
Di khianati dan disingkirkan, Zareena tiada dalam kesedihannya. Namun kepergiannya bukan akhir dari segalanya. Dalam gelapnya alam baka, Zareena bersumpah.
“Jika diberikan kesempatan kedua, aku akan memilih mengubah takdirku, melindungi putraku dari pengkhianat”.
Dan ketika ia membuka mata, ia kembali bukan sebagai Zareena, tapi sebagai ancaman yang tak mereka duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zayana dan Zevan
Pagi hari menjelang siang perlahan Zareena perlahan membuka mata. Udara yang ia hirup terasa segar dan hangat. Ia tidak lagi mencium bau disinfektan khas rumah sakit, tidak mendengar deru alat medis, atau suara langkah suster yang terburu-buru.
Yang ada hanyalah aroma kopi yang samar dari meja santai suaminya, kicauan burung di luar jendela, dan tawa kecil yang menggelitik dari ruang tamu.
Zareena mengedip beberapa kali, menatap langit-langit kamar yang ia kenali. Bukan kamar rumah sakit, tapi kamar mereka. Di rumah. Tirai putih yang berkibar pelan, lukisan matahari senja yang pernah mereka beli di Bali, dan kursi goyang kayu ukiran dengan bantal biru muda semuanya utuh, tak berubah.
"Mas…?" panggilnya pelan.
Tak lama, pintu kamar terbuka. Andra muncul, mengenakan kaos abu-abu dan celana santai. Rambutnya sedikit acak, wajahnya terlihat lelah tapi berseri.
"Sayang? Kamu sudah bangun?" Ia menghampiri, duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Zareena dan mencium punggungnya. "Kamu nggak mimpi lagi, kan? Ini nyata. Kita udah di rumah."
Zareena mengangguk pelan. "Aku mimpi aneh, Mas. Rasanya… seperti aku hilang lama sekali. Dan kamu terus memanggilku."
Andra tersenyum, meski ada bayang-bayang sedih di matanya. "Yang penting sekarang kamu di sini. Sama aku. Sama anak-anak kita."
“Anak-anak kita?” Zareena mendongak. “Mereka… baik-baik saja?”
Senyum Andra mengembang. “Mereka sehat, cantik, dan ganteng seperti mommy nya. Mau lihat?”
Zareena mengangguk cepat. Ia duduk dengan bantuan Andra, lalu matanya terbelalak saat melihat dua keranjang bayi kecil di dekat jendela.
Dua sosok mungil, satu perempuan, satu laki-laki. Wajah mereka mirip. Pipinya merah merona, rambut hitam legam halus seperti kapas.
“Ya Tuhan…” Zareena menyentuh pinggiran keranjang dengan gemetar. “Ini… ini nyata? Aku tidak mimpi lagi?”
Andra mengangguk sambil membenarkan posisi kepala bayi perempuan yang sedikit miring. “Mereka nyata. Ini rumah kita. Keluarga kita.”
Tangis Zareena meledak. Ia memeluk Andra, tubuhnya gemetar, air mata menetes tanpa henti. “Terima kasih, Mas… karena bertahan. Karena menungguku kembali.”
Andra mengecup keningnya. “Aku akan selalu menunggumu. Selalu.”
Zareena terdiam sejenak. Dia terlihat sedang mencari sesuatu yang dia rasa ada yang kurang. “ Ada apa ?” tanya Andra heran.
“Mas, dimana El ?”
“El, dia —”
“Mommy !!” panggilan Elvano membuat Zareena menoleh ke arah pintu kamar yang kembali terbuka.
“El !!”. Bocah gembul itu perlahan masuk ke dalam kamar dengan nampan berisi makanan di tangannya. Dibelakangnya ada Sandra yang mengikuti langkah keponakannya bersama Orianna yang memeluk boneka barunya.
“Mommy, makan ciang dulu..” kata Elvano dengan langkah hati-hati.
“Onti Candlaaa.. El nda kuat belat lasa naaa…” rengek Elvano yang ternyata kelelahan membawa nampan dan perutnya yang gembul bulat sempurna.
“Makanya, onti tadi udah bilang biar onti yang bawa. Ngeyel si kamu !” kata Sandra dan langsung mengambil alih nampan itu.
“Nomel telus… cecat nanti calon na !” ketus
Hari-hari berlalu seperti mimpi indah yang seolah tak berujung. Setiap pagi, Zareena bangun dengan semangat baru, menyusui si kecil, membangunkan Elvano yang kini tidur di kamar sebelah, dan menyiapkan sarapan sederhana bersama Andra.
Zahra ibunya tak pernah muncul lagi. Belinda pun lenyap dari bayangannya, seakan semua konflik lama telah terkubur di masa lalu. Keluarga mereka hidup dalam kedamaian. Tenang. Bahagia.
Suatu sore, Zareena duduk di halaman belakang rumah sambil memangku bayi perempuannya, yang mereka beri nama Zayana dan Andra menggendong Zevan, si kembar laki-laki. Elvano berlari-lari sambil mengejar Orianna yang datang bersama Alaska. Tawa anak-anak memenuhi udara.
“Dulu aku sempat takut kehilangan semua ini,” bisik Zareena, memandang suaminya yang kini duduk di sebelahnya.
Andra menghela napas, mengelus rambut istrinya. “Kita sudah melalui banyak hal, Zaree. Tapi kamu kembali. Itu yang paling penting.”
“Mimpi itu… rasanya masih sangat nyata. Aku merasa seperti benar-benar terjebak di antara dua dunia.”
Andra menatapnya serius. “Apa kamu ingat tentang apa pun dari mimpi itu?”
Zareena ragu-ragu, lalu mengangguk. “Ada seorang wanita. Wajahnya mirip denganku, tapi lebih tua. Dia bilang… aku membawa garis yang harus dijaga. Bahwa anak-anak kita… menyimpan sesuatu terutama El”
Andra terdiam. Pandangannya beralih pada kedua bayi yang sedang tertidur di pangkuan mereka lalu menatap Elvano yang bermain dengan Orianna dan papinya.
“Garis darah yang tidak biasa…” gumamnya.
Zareena menoleh cepat. “Mas?”
Andra menatapnya lekat. “Ada satu hal yang belum sempat aku ceritakan. Saat kamu koma, ada yang datang ke rumah. Seorang pria tua. Ia bilang, darah keluargamu membawa jejak dari para penjaga gerbang dunia lama. Ia tahu tentang rahasia orang tuamu, terlebih ibumu. Tentang semua… kekacauan itu.”
Zareena menggigil. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?”
“Karena aku takut. Aku pikir itu hanya halusinasi. Tapi melihat kamu bisa pulih seperti ini, seolah ditarik kembali oleh kekuatan yang tidak masuk akal… aku mulai percaya.”
Mereka terdiam sejenak. Angin sore berhembus pelan, menggoyangkan pohon di halaman belakang. Zareena menatap anak-anaknya.
“Kalau memang benar, aku akan melindungi mereka. Apapun yang terjadi. Dunia ini atau dunia mana pun yang mencoba merenggut mereka, tidak akan pernah bisa.”
Andra menggenggam tangannya erat. “Aku bersamamu. Selalu.”
Malam itu, Zareena kembali bermimpi. Ia berjalan menyusuri lorong panjang penuh cermin. Tapi tidak satu pun memantulkan bayangannya. Di ujung lorong, ada sebuah pintu kayu tua, dengan simbol yang pernah ia lihat di mimpi sebelumnya: lingkaran dengan tiga bintang di dalamnya.
Zareena menyentuh pintu itu, dan mendadak semua cermin menyala. Ia melihat Zahra berdiri di sebuah kuil tua, menggenggam liontin aneh, wajahnya penuh amarah.
Ia melihat Belinda berdiri di tebing tinggi, memanggil sesuatu yang muncul dari kabut.
Ia melihat anak-anaknya Zayana dan Zevan bercahaya. Tapi cahaya itu seperti membakar dinding antara dunia.
“Apa ini?” bisiknya.
Sebuah suara muncul dari belakangnya. Suara wanita itu lagi.
“Ini adalah masa depan. Kamu memilih untuk kembali, tapi pilihan itu membawa konsekuensi. Dunia lama tidak akan tinggal diam.”
Zareena berbalik. Wanita itu berdiri di sana, kali ini mengenakan jubah biru dengan garis emas.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Zareena.
“Kau harus melatih mereka. Menjaga mereka. Dunia akan memanggil mereka, dan kamu harus memastikan panggilan itu tidak menghancurkan mereka.”
Zareena terbangun dengan tubuh berkeringat. Andra tidur di sebelahnya, memeluk bayi-bayi yang sudah nyenyak setelah ia susui tadi. Kini, Zareena menatap langit-langit kamar. Hatinya bergetar.
Mungkin ini hanya mimpi. Tapi ia tahu… sesuatu sedang bergerak. Diam-diam. Dalam bayangan. “ Apa maksud semuanya ini ?”
*
*
*
*
Pagi hari berikutnya, Elvano duduk di pangkuan Zareena sambil membaca buku bergambar. Zayana dan Zevan bermain di lantai bersama mainan kayu. Andra sedang menyeduh kopi sambil mengamati mereka dari dapur.
Zareena tersenyum. “Elvano, kamu sekarang jadi abang. Harus sayang sama adik, ya?”
Anak itu mengangguk cepat. “Iya. El cayang semua. Tapi El juga cayang mommy paling banyak!”
Zareena tertawa kecil. “Mommy juga sayang kamu, Nak.”
Tiba-tiba, suara bel depan berbunyi.
Andra keluar membuka pintu. Tak lama kemudian, ia masuk kembali sambil membawa kotak besar.
“Siapa, Mas?” tanya Zareena.
“Kurir. Nggak tahu dari siapa. Nggak ada nama pengirim.”
Andra meletakkan kotak itu di meja. Kotak itu tampak tua, terbuat dari kayu dengan ukiran yang tak mereka kenali. Ada simbol lingkaran dengan tiga bintang simbol yang sama seperti di mimpi Zareena.
Dada Zareena berdegup kencang. Ia berdiri, perlahan menghampiri.
“Jangan dibuka,” ucapnya cepat.
Andra menatapnya bingung. “Kenapa?”
“Karena itu bukan hanya kotak. Itu peringatan.”
Andra menelan ludah. “Kamu yakin ini ada hubungannya dengan semua itu?”
Zareena mengangguk perlahan. “Aku tidak tahu bagaimana, tapi… aku tahu satu hal pasti.”
Andra menunggu.
Zareena menatap bayi-bayi mereka, lalu Elvano, lalu kembali pada suaminya.
“Kita sedang diawasi. Dan semuanya baru saja dimulai.”
Sore harinya, ketika keluarga besar Maverley datang menjenguk, suasana tampak riang. Orianna bermain bersama Elvano, sementara Marissa membantu Zareena menyiapkan teh. Raimond dan Baimond menemani Orianna dan Elvani bermain.
Namun di kejauhan, di bawah bayangan pohon tua yang menjulang, berdiri seseorang bayangan dengan mantel gelap, wajah tertutup tudung. Ia menatap rumah itu, matanya menyala samar.
“Garis itu telah bangkit. Dan gerbang… akan segera terbuka.”
Lalu ia menghilang setelah memastikan keluarga kecil Zareena.
Zareena yang sedang tertawa bersama Marissa tiba-tiba diam. Ia menoleh ke jendela, menatap pepohonan.
“Kenapa, Zaree?” tanya Marissa.
Zareena menggeleng pelan. “Entah kenapa… Zaree merasa seperti… ada yang memperhatikan kita, mi.”
Marissa mengikuti arah pandangnya, tapi tak melihat apa pun.
“Hanya angin, mungkin. Jangan dipikirkan lagi sayang, fokus sama kesehatanmu”
Zareena mengangguk. Tapi dalam hatinya, ia tahu angin itu membawa pesan. Dan ia tak punya waktu lama untuk bersantai. Dunia yang lama… sedang bergerak menuju dunia yang baru.
Dan keluarganya cinta, anak-anaknya ada di tengah-tengahnya.
“Aku tidak membaca habis novelnya, tapi kenapa dunia ini terasa begitu kacau…”