Kakak perempuan Fiona meninggal dalam kecelakaan mobil, tepat pada hari ulang tahunnya ketika hendak mengambil kado ulang tahun yang tertinggal. Akibat kejadian itu, seluruh keluarga dan masyarakat menyalahkan Fiona. Bahkan orang tuanya mengharapkan kematiannya, jika bisa ditukar dengan kakaknya yang dipuja semua orang. Termasuk Justin, tunangan kakaknya yang membencinya lebih dari apapun. Fiona pun menjalani hidupnya beriringan dengan suara sumbang di sekitarnya. Namun, atas dasar kesepakatan bisnis antar keluarga yang telah terjadi sejak kakak Fiona masih hidup, Justin terpaksa menikahi Fiona dan bersumpah akan membuatnya menderita seumur hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fiona Stress
Akhir pekan tiba lebih cepat dari yang Fiona harapkan. Dan malam-malam sebelumnya, ia harus bekerja keras menyelesaikan sketsa desain baru yang harus dikerjakan selama seminggu ke depan saat ia akan pergi. Fiona tidak bisa bermalas-malasan hanya karena ia akan bersenang-senang.
Sekalipun ia akan pergi ke tempat pembantaian, Fiona akan tetap mencari jalan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Donnie meminta beberapa pembantu untuk berkemas, tapi Fiona tidak suka orang-orang repot mengurus barang-barangnya, jadi ia memutuskan untuk mengurus barang-barangnya sendiri. Perjalanan itu hanya seminggu, tepatnya di atas air. Selain baju renang, tidak banyak yang perlu dikemas.
Sabtu pagi pun tiba dan akhirnya, mereka berdua dan koper-koper berhamburan keluar rumah, siap untuk pergi dan melakukan misi bunuh diri. Namun, langkah Fiona terhenti ketika melihat Justin di samping Lamborghini-nya, mengenakan setelan jas.
"Ehhhhhh..." kata Fiona sambil menjatuhkan koper ke tanah dan melihat Justin saat dia sedang mengerjakan sesuatu di mobil.
"Justin?" panggil Fiona dan Justin menegakkan tubuh. Matanya menatap Fiona dan dia tersenyum lebar.
“Aku pasti benar-benar berhalusinasi. Dia nggak pakai jas, kan? Nggak mungkin,” bisik Fiona dalam hati.
"Hei, kamu sudah bangun. Sudah siap?" tanya Justin.
Fiona masih tertegun. “Nggak. Aku masih hidup dan sangat menyadari apa yang ada di depanku. Dia benar-benar pakai jas!” Ia tak habis pikir.
"Ya, tentu. Tapi..." suara Fiona terhenti, dia masih tak habis pikir dengan pilihan Justin memakai jas!
“Jangan bilang dia serius berencana pergi dengan itu. Apa ini semacam perjalanan formal? Dan aku harus memakai gaun-gaun mungilku yang paling mewah?” Fiona terus mengomel dalam hati.
"Ada apa? Apakah semuanya baik-baik saja?" Justin menjauh dari mobil dan mulai berjalan mendekati Fiona.
"Ya, nggak ada masalah. Aku cuma..." Fiona memegang tengkuknya dan hanya melihat Justin semakin dekat, sambil terus menatapnya dengan saksama.
"Ada apa, Fiona?"
"Kamu mau kayak begitu?" akhirnya Fiona bersuara.
Justin tampak bingung dan napasnya hampir berhenti hanya untuk memahami apa yang Fiona katakan.
"Setelan itu, Justin. Kamu beneran mau pakai setelan itu buat liburan, di kapal pesiar pribadi." Akhirnya, Fiona katakan juga.
Justin melirik dirinya sendiri dan mengangkat kedua tangannya ke samping, lalu balas menatap Fiona dengan wajah yang sama sekali tak terganggu. Fiona merasa tertampar.
"Ada yang salah dengan bajuku?"
“Sialan, tembak mati aku dan kubur aku di tempat sampah sekarang juga. Dia beneran nggak ngerti?” Fiona menangis dalam hati.
"Apa bakal ada semacam pertemuan di sana? Atau?" Ini bencana, bencana alam besar, sepertinya Fiona harus menghubungi otoritas penanggulangan bencana untuk datang dan menangani hal yang ada di depannya.
"Tidak. Cuma kita, berenang, dan makan. Tidak ada rapat. Jadwalku kosong seminggu penuh, jadi seharusnya aku baik-baik saja. Kalau ada yang penting, sampaikan saja ke sekretarisku."
Terus kenapa kamu pakai jas? Teriak Fiona dalam hati. Tapi dia mencoba tetap sabar.
"Oke... Kamu mau ganti baju?" tanya Fiona.
Fiona malu jika suaminya harus pergi berlibur dengan setelan formal. Dan dia tidak mungkin kabur, karena Justin pasti bakal marah. Fiona tahu itu. Tapi kenapa Justin harus kelihatan seperti akan bertemu dengan Donald Trump untuk urusan real estat? Gemas sekali rasanya Fiona.
"Apa aku seburuk itu? Kurasa aku terlihat baik-baik saja." Itu saja sahutan dari Justin. Tidak ada penjelasan yang lebih baik seperti yang Fiona inginkan.
Fiona melipat tangannya di dada dan memelototi Justin.
"Justin, lepaskan pakaian Grim Reaper itu dan ganti dengan sesuatu yang lebih baik, lebih nyaman. Kamu adalah suami seorang perancang busana, demi Tuhan, kamu harus tampil terbaik. Kalau kamu nggak risih, aku risih, sekarang masuk ke rumah. Kamu nggak boleh pakai baju formal ke pantai kecuali kamu berada di alam semesta alternatif di mana kungkang lebih cepat daripada kelinci." Fiona melangkah ke pintu dan memberi isyarat pada Justin untuk masuk, tapi Justin tampak sangat bingung sampai-sampai orang mungkin mengira Fiona memintanya melakukan kraniektomi.
"Aku... aku tidak tahu harus pakai baju apa," aku Justin, dan menurut Fiona dia sangat menggemaskan.
Memutuskan untuk tidak bersikap keras pada Justin, Fiona melangkah maju.
"Butuh bantuan?"
Justin mengangguk hampir seketika. Dan saat itu juga, sebuah ide muncul di benak Fiona. Koper Justin.
“Dia pasti nyimpan lebih banyak sepatu dan dasi mewahnya di sana. Ya Tuhan, tolong aku kalau aku menemukan lebih banyak dasi dan kancing manset di sana. Aku harus buang semuanya!” Fiona yang gemas bertekad dalam hati.
"Boleh aku lihat kopermu?" tanya Fiona.
"Ya, tentu saja." Justin berlari kembali ke belakang Lamborghini-nya untuk mengambil tas olahraga. Kali ini, Fiona sungguh tertawa. Dasar pria!
Fiona masuk ke rumah sebelum Justin, dan Justin berjalan cepat di belakangnya. Mereka berjalan menuju kamar Justin dan Fiona lah yang pertama membuka pintunya. Kalau kau kenal Justin, dia persis seperti kamarnya. Teratur, sangat formal, dan hampir membosankan. Sebenarnya tidak ada yang mengejutkan atau menarik di sana, jadi Fiona hanya memasukkan tangannya ke saku belakang dan menunggu Justin masuk dan meletakkan tasnya di tempat tidur, lalu menunjuk ke pintu yang tertutup di ujung kanan ruangan.
"Lemariku."
Fiona mengangguk dan pergi ke sana. Setelah membukanya, ia mendapati lemari itu rapi. Sangat rapi. Dan semuanya berada di tempatnya. Fiona berani bersumpah Justin menderita OCD karena semuanya berwarna serasi, mulai dari kemeja yang digantung sempurna hampir menutupi seluruh dinding lemari, hingga sepatu resminya dan meja rias tempat dasi dan perhiasan prianya. Sepatu, mantel, rompi, semuanya rapi. Fiona merasa seperti debu di sana. Begitulah bersihnya lemari itu.
Ini surganya manusia. Sungguh, Justin punya lemari terbaik yang pernah ada.
Fiona melihat sepasang sepatu Nike Air Jordan low-rise yang bagus dan ia langsung menuju ke sana. Kebetulan, itu satu-satunya yang menarik perhatiannya di antara semua... barang di sini. Namun, tinggi badannya yang pendek bahkan tidak cukup untuk menggapai sepasang sepatu itu di atas, jadi Justin dengan senang hati membantu. Setelah menurunkan sepatu itu, Justin menyerahkannya kepada Fiona.
"Aku tidak memakainya," aku Justin.
"Sama sekali?" tanya Fiona, dan Justin menggelengkan kepalanya.
"Bagus." Fiona meletakkannya di meja lalu berjalan berkeliling mencari sesuatu. Namun, tidak ada... Tidak ada. Fiona bersumpah tidak ada apa-apa lagi. Pria ini mengenakan kemeja seharian, bahkan sepanjang bulan. Fiona bahkan tidak melihat kaus yang layak. Ini lebih dari sekadar bencana, sumpah.
Merasa kalah, Fiona membiarkan tubuhnya terjatuh ke sandaran kursi dan benar-benar menatap Justin selama satu menit penuh, mencoba memikirkan semua hal yang ingin ia katakan agar lebih mudah dipahami Justin.
"Apa?" tanya Justin tanpa rasa terganggu.
"Kamu serius nggak punya baju santai?" tanya Fiona yang sudah jelas pasrah.
"Semua pakaian sama saja bagiku. Asal aku menutupi tubuhku," jawab Justin santai.
Fiona nyaris menjatuhkan rahangnya.
"Kita harus belanja, oke?" kata Fiona sambil bangkit dari kursi. Justin tidak membantah, hanya mengangguk setuju.
"Pertama-tama, lepas jas dan dasi sialan itu. Aku sesak lihatnya," kata Fiona, lalu meninggalkan kamar Justin dan pergi ke kamarnya untuk mengambil tas belanja.
Sepanjang pergerakannya, yang dapat Fiona pikirkan hanyalah bagaimana Fania bisa bertahan dari semua masalah ini selama bertahun-tahun?
“Kalau saja Fania bisa dengar aku, aku pasti butuh saran dari dia sekarang.”
Justin aja kewalahan dengan keras kepalanya,sikap teguhnya,masa bodohnya 😄.