Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Tengah malam, kediaman rahasia penginapan di Luoyang
Wei Lian duduk di depan meja rendah, menelaah kembali laporan dari Zhao Jin. Di sekelilingnya ada lembaran peta militer, daftar nama-nama pejabat yang dulunya terafiliasi dengan Ren Yao, serta catatan-catatan intel Hanbei yang dikirim lewat sandi rahasia.
Mo Yichen duduk di seberangnya, memandangi wajah serius wanita yang kini menjadi pusat badai kekaisaran.
“Jadi menurut laporan ini…” Wei Lian menunjuk pada satu bagian, “...logistik istana terutama gudang senjata timur dan cadangan beras kota bagian utara telah mulai dialihkan secara diam-diam sejak dua minggu lalu. Pelakunya orang dalam.”
“Dan semuanya mengarah pada satu nama,” Mo Yichen menimpali. “Menteri Gao.”
Wei Lian mengangguk pelan. “Dulu dia sahabat ayahku. Bahkan diam-diam ikut menyelamatkan kami dari penangkapan besar-besaran. Tapi kini… dia menghilang dari sidang, dan semua jalur distribusi kunci lewat tangannya.”
Mo Yichen bergumam, “Pengkhianat tak selalu datang dari lawan. Kadang, dari tangan yang pernah menggenggam tanganmu sendiri.”
—
Ketika mereka masih tenggelam dalam analisis… terdengar ketukan cepat di jendela belakang.
Zhao Jin langsung melompat, tangan sigap pada gagang pedang. Tapi suara dari luar menyelusup lembut:
“Ini aku… seorang sahabat lama.”
Wei Lian membuka jendela dan terperanjat.
Dayang Mingzhu mantan dayang tepercaya ibunda Wei Lian muncul dari balik semak, wajahnya pucat, pakaiannya compang-camping. Ia terengah dan menggenggam gulungan kecil.
“Kalian… harus pergi dari sini. Sekarang.” ujarnya penuh kecemasan
Yan’er langsung muncul dari samping. “Apa maksudmu?”
Mingzhu menyerahkan gulungan yang dibungkus kain minyak tipis. “Ini surat rencana penyerangan istana oleh pasukan bayangan milik Ren Yao. Akan dimulai dari dalam, oleh tangan-tangan tua yang masih punya jabatan. Dalam tiga hari… mereka akan meledakkan dapur istana dan gudang senjata, memancing kerusuhan… lalu menyalahkan orang Hanbei.”
Wei Lian membuka surat itu cepat. Tulisan khas Menteri Gao. Rinci dan dingin.
“Apa kau tahu ini dari mana?” tanya Mo Yichen tajam.
Mingzhu mengangguk. “Aku diselundupkan sebagai pembantu dapur, dan mendengar langsung mereka membicarakan rencana itu. Mereka pikir aku bisu.”
Air mata tipis mengalir di pipinya.
“Mereka akan menyalahkan kalian. Dan begitu rakyat percaya, perang saudara tidak bisa dihindari.”
—
Pagi harinya
Wei Lian dan Mo Yichen mengatur rencana gerak cepat. Zhao Jin dan Yan’er akan menyusup ke gudang senjata lebih dulu untuk memastikan kebenaran lokasi bahan peledak. Sementara Wei Lian dan Mo Yichen akan menghadiri undangan perjamuan istana, menyamar sebagai duta penengah untuk mengalihkan perhatian.
Ah Rui? Ia sibuk mempersiapkan jebakan minyak dan… jebakan terigu.
“Apa kau yakin ini perlu?” tanya Yan’er ragu.
Ah Rui menjawab penuh semangat, “Kalau perang pecah, kita harus punya senjata psikologis! Tidak ada yang tahan terkena tepung di wajah saat berkeringat!”
Zhao Jin bergumam lirih, “Aku lebih takut pada dia daripada musuh…” sembari menggidik ngeri melihat Ah Rui
—
Sore itu, Istana Luoyang
Wei Lian melangkah masuk ke aula samping tempat jamuan diadakan. Ia memakai gaun panjang Hanbei yang elegan tapi tidak mencolok, rambutnya disanggul rendah, hanya dihiasi sepasang giok kecil pemberian mendiang ibunya.
Mo Yichen berjalan di sampingnya, tetap menyamar sebagai penasihat dari utara.
Beberapa pejabat menatap mereka penuh curiga. Namun tak ada yang berani menyebut nama mereka secara langsung.
Permaisuri hadir, tapi tak banyak bicara.
Dan di balik aula… mata-mata mulai bergerak.
—
Sementara itu, di gudang senjata belakang istana
Zhao Jin dan Yan’er menemukan satu tong besar berisi bahan mesiu yang disembunyikan dalam karung beras. Di sekitarnya, cap palsu bertuliskan "Persediaan medis" digunakan untuk menyamarkan isinya.
“Tepat seperti dalam surat,” gumam Zhao Jin.
“Kalau ini meledak malam jamuan berlangsung… tak akan tersisa banyak,” ujar Yan’er dengan suara rendah.
Mereka bergerak cepat, meninggalkan penanda pada bahan berbahaya, dan kembali melalui lorong rahasia.
—
Kembali ke jamuan
Saat para pelayan mulai menyajikan makanan, Wei Lian melihat satu wajah asing di antara pelayan wajah yang pernah ia lihat sebagai informan tentara bayaran utara yang dibunuh saat perang perbatasan.
“Bukan pelayan…” gumamnya.
Mo Yichen membaca isyarat matanya. Mereka berdua bangkit nyaris bersamaan.
“Maafkan kami,” ujar Mo Yichen pada Permaisuri. “Kami harus meninggalkan jamuan.”
Mereka melangkah cepat keluar aula… dan beberapa detik kemudian—
Ledakan kecil mengguncang sayap dapur istana.
Tapi bukan dari bahan peledak musuh…
Melainkan dari jebakan terigu dan minyak goreng buatan Ah Rui.
Asap putih mengepul ke udara. Para pelayan berteriak. Wajah mereka dipenuhi tepung.
Ah Rui muncul dari balik tembok, berteriak, “PENYUSUP TERUNGKAP! RENCANA GAGAL! DAN… TEPUNG MENANG!”
Mo Yichen dan Wei Lian tiba di tempat tepat waktu. Beberapa penjaga mengepung pelayan asing yang kini tertangkap. Dari tubuhnya ditemukan surat kecil:
“Ledakkan dapur. Provokasi rakyat. Salahkan Hanbei. Jalankan sebelum tengah malam.”
—
Permaisuri berdiri di hadapan semua orang malam itu, menyaksikan bukti nyata.
“Kita… hampir dihancurkan oleh anak sendiri,” katanya pelan.
Wei Lian menunduk.
Mo Yichen hanya menatap langit.
Tapi semua tahu: musuh belum tertangkap.
—
Di pegunungan selatan
Ren Yao menerima kabar dari mata-matanya.
Ia membanting meja.
“Mereka bergerak lebih cepat dari dugaanku…”
Menteri Gao berdiri di belakangnya, diam.
Ren Yao mencengkeram pedangnya.
“Kalau begitu, kita tak bisa menunggu. Saatnya… menyerang langsung.”
bersambung