“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 22
Semilir angin terasa sejuk membuat bulu kuduk meremang, bunga Kamboja dan dedaunan berguguran, semerbak wangi minyak sereh menyapa indera penciuman.
Lastri mematung, mencium dalam-dalam wangi minyak gosok ayahnya, racikan dari sang ibu. “Mak … Bapak bersama kita. Dia ada di sini.”
Ada kerinduan mendalam dalam netra bu Mina, lalu berganti rasa sakit tak tertahankan, air mata yang ia kira telah kering, kini mengalir disudut matanya.
‘Tunggu kami Pak.’ Bu Mina tersenyum lemah, bibirnya bergetar menahan sesak di dada. Dapat dirasakan olehnya kehadiran sang suami.
Dulu, dialah yang mengolah sereh menjadi minyak gosok sekaligus aroma terapi, untuk meredakan nyeri sendi pak Kasman, kala seharian lelah mengais rezeki halal.
Ayam kesayangan mendiang pak Kasman, menatap tajam papan nisan bertuliskan nama sang tuan, seolah ada yang menyapanya.
Hening, senyap, tak ada yang saling bersuara, mereka menikmati aura mistis ini dengan memejamkan mata, seolah memeluk sosok dirindukan, yang sudah berbeda dunia.
“Jalu, pergilah ke hutan keramat. Hanya disana tempat teraman untuk mu, tak usah khawatir, sesekali aku akan datang berkunjung.” Lastri berjongkok, memeluk sebentar hewan peliharaannya.
Terlihat berat, tapi si jago tetap menurut, langkahnya tak segagah tadi kala menyerang Pendi.
“Terkadang binatang lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri. Mereka tahu caranya berterima kasih, tak membalas dengan menyakiti tapi menunjukkan bakti, kesetiaan mutlak.” Bu Mina memandang hewan berkaki dua yang kini jaraknya sudah jauh.
“Ayo, Mak!” Lastri berjalan lebih dulu, mengenakan lagi sandalnya.
Kemudian Lastri dan juga bu Mina, melewati jalan berliku yang diapit semak belukar.
“Kau pulanglah lebih dulu, agar tak ada yang mencurigai kita.” Bu Mina membasuh wajahnya di parit berair jernih, aliran irigasi.
Lastri mengangguk, tak ada lagi jejak darah Pendi di telapak tangannya, sudah ia basuh bersih.
***
“Lastri! Lastri!” Surti memanggil Lastri yang melewati rumahnya.
“Ada apa, Bi?” tanyanya saat sudah berdiri didepan wanita yang duduk pada undakan tangga teras.
“Kau dari mana saja?”
“Setelah dari rumah juragan Bahri, aku menyusul Bibi di ladang, lalu kami pergi nyekar di kuburan Paman,” dusta nya.
“Lah, mana bibimu? Kenapa kalian tak pulang bersama?” Surti mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan bu Mina.
“Bi Mina singgah di pematang sawah memetik sayur genjer.”
“Pantesan. Tadi pagi, orangnya Nyonya Samini datang kesini, tapi bibi mu sudah pergi bekerja di ladang. Utusan juragan Bahri memberi tahu, kalau besok kau dipinta datang bekerja di sana.”
“Benarkah, Bi? Ternyata aku diterima,” wajah Lastri terlihat berseri-seri.
“Mau jadi kesetnya orang kaya kok kegirangan! Seolah telah memenangkan lotre. Padahal cuma babu, kerjanya pun kotor, menjijikan, membersihkan tempat pembuangan tai. Lantas apa yang bisa dibanggakan?” Farida bersedekap tangan, berdiri di batas ambang pintu, di belakang ibunya.
"Rida!” Surti memekik, menoleh ke belakang, menatap tajam putri semata wayangnya. “Kau itu belum sembuh total, wajahmu pun masih pucat, tapi mengapa mulut lantam mu tetap kurang ajar! Bisa-bisanya merendahkan pekerjaan orang, padahal halal.”
“Farida.” Lastri menatap ramah wajah wanita yang masih terlihat lemah. “Semoga cepat sembuh.”
“Halla! Tak usah sok perhatian, kita itu tak saling kenal. Apa kau mau dianggap sebagai seorang wanita baik hati, penuh welas asih, agar disanjung sana-sini, iya? Dasar haus pujian!” Farida melengos, melangkah sambil tangannya bertumpu pada dinding rumah, kembali ke dalam kamarnya.
“Lastri, tolong maafkan sifat arogan putri ku ya.” Surti menunduk dalam, betapa malunya dia.
Saat Lastri ingin menanggapi, seseorang berteriak menyela kalimat yang sudah diujung lidah.
“Bi Surti! Pendi sekarat, dia diserang kawanan Babi hutan!” Napas Dayat tersengal-sengal, wajahnya memerah penuh keringat.
“Si Pendi anteknya nya juragan Bahri?” Surti bertanya seraya menegakkan punggung.
“Iya. Sekarang ada di puskesmas, tengah ditangani oleh orang kesehatan.”
“Kang Pendi yang jalannya tak sempurna itu?!” Lastri pura-pura terkejut, matanya terbelalak.
Dayat mengangguk cepat.
“Astaga, kok bisa? Bagaimana keadaannya sekarang, Kang?” Ia membekap mulutnya, seolah tidak percaya. “Baru kapan hari, aku berkenalan dengan Kang Pendi, tak menyangka kini dia terkena musibah.”
“Sok baik kali kau! Baru juga kenal, gayanya sudah seperti pernah dikawini!” Farida kembali berdiri di tempat tadi. “Minggir, Buk!”
Surti nyaris tersungkur, saat bahunya didorong lumayan kuat. Beruntung Dayat cepat tanggap, memegang tangannya, membantu mempertahankan keseimbangan tubuh.
“Kau ini, apa-apaan Rida?!” Ia tatap nyalang sang putri yang semakin hari sifatnya bertambah kurang ajar.
“Aku hendak menjenguk Mas Pendi!” Farida sama sekali tidak merasa bersalah, dia menuruni undakan tangga yang tersusun tiga.
“Kau masih lemah, Rida! Puskesmas itu jaraknya lumayan jauh bila ditempuh dengan jalan kaki.”
Farida tidak mempedulikan peringatan ibunya, dia berjalan sedikit sempoyongan, sekilas menatap sinis, Lastri.
“Biarkan saja, Bi. Sesekali bersikaplah acuh tak acuh, agar dia tak besar kepala. Sudah dewasa, tapi kelakuannya sangat kurang ajar!” Dayat terlihat sangat kesal.
“Aku pulang dulu ya bi Surti, kang Dayat.” Lastri menunduk sebentar lalu berjalan kembali kerumahnya, malas ikut campur urusan tidak penting bagi dirinya.
.
.
Sementara di puskesmas.
“Argghh! Sakit!”
Pendi terus menerus menjerit, merintih, kedua tangannya diikat pada sisi besi ranjang. Bius lokal tak mampu meredam rasa sakitnya.
Mata Pendi telah diperban, wajah penuh lukanya sedang ditangani oleh pak Mantri dan seorang perawat.
“Apa ambulance nya belum juga sampai?” tanya pak Mantri di balik masker yang ia kenakan.
“Belum. Mungkin sebentar lagi, temanku sudah sedari tadi pergi ke rumah sakit kota.” Gandi yang menjawab, dari balik pintu ruang tindakan.
Tiba-tiba pintu ruang periksa dibuka lebar, masuklah Hardi yang mengenakan kemeja polos, celana bahan. Dibelakangnya ada juragan Bahri.
“Bagaimana keadaannya?” tanya pria berkumis tebal, tatapan mata sangatlah tajam.
“Kami hanya bisa memberikan penanganan sementara, sampai dia dibawa ke rumah sakit kota, sebab disini peralatan medis tidaklah lengkap, Juragan.”
“Ahh … nikmatnya! Sawitri ahh!”
Semua orang yang ada disitu tercengang, tak terkecuali.
“Cepatlah! Aku juga ingin merasakan lagi, istri Hardi ini sungguh legit rasanya,” antara diambang batas sadar dan tidak, Pendi meracau, dia berhalusinasi sedang mencumbu Sawitri, seolah kembali mengulang kejadian yang lalu di perkebunan kopi.
Gandi langsung masuk, mengunci pintu.
Hardi termangu, tubuhnya kaku, lalu menatap sang ayah dengan sorot cemas.
“Sawitri! Ahh …!” tak berkesudahan Pendi mendesah sembari menggigit bibir.
Sosok yang biasanya selalu tenang, kini terlihat mengepalkan tangan, aura bengisnya sangat pekat.
Tangan pak Mantri yang sedang menjahit bagian kulit leher Pendi, terlihat bergetar. Tatapannya tak lagi fokus, melirik sekilas bagaimana orang berkuasa di tanah transmigrasi, menahan amarah.
Tidak jauh berbeda dengan suster, dia sampai menjatuhkan gunting medis, keringat dingin memenuhi pelipisnya.
“Setelah sembuh, apa dia masih dapat melihat?” tanya Bahri dengan intonasi berat.
“Kemungkinan hanya satu matanya yang masih berfungsi, sebelahnya terluka parah, tak bisa diselamatkan lagi, Juragan.” Pak Mantri memotong benang jahit, nada suaranya lebih terdengar seperti orang bergumam.
"POTONG LIDAHNYA!!"
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....