Aruna Mayswara terpaksa menerima pernikahan yang digelar dengan Jakson Mahendra-mantan kakak iparnya sendiri, lelaki yang sempat mengeyam status duda beranak satu itu bukan tandingan Aruna. Demi sang keponakan tercinta, Aruna harus menelan pahitnya berumah tangga dengan pria yang dijuluki diam-diam sebagai 'Pilot Galak' oleh Aruna dibelakang Kinanti-almarhumah kakak perempuannya. Lantas rumah tangga yang tidak dilandasi cinta, serta pertengkaran yang terus menerus. Bisakah bertahan, dan bagaimana mahligai rumah tangga itu akan berjalan jika hanya bertiangkan pengorbanan semata.
***
"Nyentuh kamu? Oh, yang bener aja. Aku nggak sudi seujung kuku pun. Kalo bukan karena Mentari, aku nggak mungkin harus kayak gini," tegas Jakson menatap tajam Aruna.
"Ya, udah bagus kayak gitu dong. Sekarang tulis surat kontrak nikah, tulis juga di sana perjanjian Mas Jakson nggak akan nyentuh tubuhku," ujar Aruna menggebu-gebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. GUGURKAN SAJA
Kedua lutut Aruna kehilangan kekuatan untuk berdiri dengan tegap, tubuhnya merosot di lantai kamar mandi. Menatap dua garis di ketiga tespek, jari jemari tangannya bergerak menyentuh tespek bergantian. Dadanya sesak memikirkan jika dia hamil, apa yang harus Aruna lakukan kedepannya. Dia tidak ingin bertahan di rumah tangga palsu ini, apalagi Aruna dalam keadaan sibuk mengurus skripsinya serta Mentari.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Aruna pada dirinya sendiri.
Sementara di luar pintu kamar mandi terlihat Jakson mondar-mandir, sesekali ia terlihat mengerang tertahan. Langkah kakinya berhenti mendadak saat pintu kamar mandi terbuka lebar, ia langsung berdiri menghadang Aruna.
"Gimana?" tanya Jakson cepat, "itu nggak terjadi 'kan?"
Aruna mengangkat pandangan matanya menatap lambat ke arah wajah Jakson, ia mendelik kesal bercampur kecewa. Kesal pada pria di depannya ini, dan kecewa pada dirinya sendiri.
"Aku hamil," jawab Aruna singkat.
Kedua tungkai kaki Aruna perlahan bergerak ingin meninggalkan Jakson, telapak tangan Jakson bergerak lebih dahulu mencekal pergelangan tangan Aruna.
"Kita ke rumah sakit sekarang," ujar Jakson nyaris berbisik.
Aruna mendesah lelah ia melepaskan cekalan tangan Jakson pada pergelangan tangannya, ia memang sulit sekali mengontrol emosi beberapa minggu belakangan. Seolah-olah emosinya meledak-ledak tanpa terkendali apalagi sudah berada di dekat Jakson, seolah-olah pria ini adalah pemicu paling kuat untuk membangkitkan rasa kesal serta marah Aruna.
"Nggak perlu," tolak Aruna tegas.
Baru dua langkah kaki Aruna bergerak suara serak Jakson mengudara membuat langkah kaki Aruna berhenti, pupil matanya melebar mendengar kata yang ke luar dari bibir Jakson.
"Anak itu, gugurkan saja. Aku maupun kamu tidak akan bisa membesarkan anak kedua. Tidak ada yang bisa bertanggung jawab atas anak itu, ini kesalahan kita berdua," kata Jakson lantang, dari ekspresi wajahnya ia terlihat kalut bukan main.
Aruna membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Jakson, mengulas senyum getir. Jakson mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius, meskipun jauh di dalam hatinya ia mulai meragukan keputusannya barusan. Melenyapkan anak yang baru menjadi janin belum terbentuk sempurna, kenapa Jakson bisa bicara sekejam itu sebagai seorang manusia sekaligus ayah.
"Oke," jawab Aruna lantang, "kalo Mas maunya kayak gitu. Tapi, ceraikan aku segera serta berikan hak asuh Mentari sepenuhnya untukku. Jangan pernah menemui Mentari setelah bercerai, ini pertukaran yang adil, bukan?"
Jakson tercekat dengan jawaban Aruna, kedua sisi rahangnya mengeras mendengarnya. Jakson memang memiliki niat untuk berpisah dengan Aruna cepat atau lambat tetapi, untuk hak asuh Mentari akan ia ambil sepenuhnya. Elena akan menjadi ibu Mentari-putrinya, mereka akan membesar anak bersama-sama. Dua orang dewasa yang lebih berpengalaman dan saling mencintai, akan membuat anak-anak memiliki rumah terhangat serta keluarga yang saling melengkapi.
"Apa," gumam Jakson pelan, "kamu ingin mengambil putriku, kamu siapa, hah? Kamu hanya bibinya bukan ibunya. Bahkan jika Kinanti hidup kembali, dia tidak akan mampu merebut Mentari dariku. Dan kamu merasa mampu melebihi aku dan Kinanti untuk merawat Mentari, jangan mengada-ada. Perempuan tidak punya pengalaman sepertimu tidak akan mampu."
Tangan Aruna mengepal sempurna, tahu apa pria di depannya ini. Aruna jauh lebih berhak untuk hak asuh Mentari namun, semua kata-kata yang ingin ia katakan tertahan di kerongkongannya.
"Kalau begitu, anak di rahimku akan tetap aku lahirkan. Mau Anda suka atau nggak, anggap saja aku Ibu tunggal," tutur Aruna pada akhirnya, memasang ekspresi datar, tanpa embel-embel 'mas' lagi.
"Keras kepala! Membesarkan satu orang anak saja tidak akan mampu kamu lakukan. Dan kamu ingin melahirkan anak itu, kamu hanya akan bisa memilih menjadi Ibu untuk Mentari atau anak itu," sahut Jakson berang.
Aruna tidak memperdulikan sahutan Jakson, ia membalikan tubuhnya melangkah menuju kamarnya. Jakson mengerang mengusap kasar wajahnya, menyugar surainya ke belakang.
...***...
Mia melirik hasil USG lalu beralih ke arah wajah Aruna, ia melepaskan kaca mata yang membingkai hidung bangirnya meletakkan kaca mata serta potret USG perlahan di atas meja. Meskipun terlihat percaya diri di depan Jakson, nyatanya Aruna tidak benar-benar percaya diri.
"Kamu sekarang maunya bagaimana? Operasi keperawanan yang kamu jalani berakhir kayak gini. Kinanti mendapatkan uang itu tidak mudah saat itu, hanya karena takut kamu akan direndahkan apalagi dihina oleh suamimu. Dia rela merogoh kocek yang tidak sedikit," ucap Mia lirih, "bahkan dia sangat senang saat tau kamu memiliki kekasih dan serius dengan lelaki itu. Berharap dengan kayak gitu kamu akan menikahi pacarmu. Hingga trauma di masa lalu bisa menghilang."
Jari jemari Aruna saling bertautan ia menyandarkan punggung belakangnya di kursi, kepalanya tertunduk dalam. Bukan keinginannya menikah dengan Jakson, dia berhutang budi pada kedua orang tuanya. Aruna melepaskan anak yang dilahirkan sepenuhnya untuk Kinanti, tidak peduli pada anak itu. Karena Mentari sepenuhnya milik Kinanti tetapi, karena kematian Kinanti mendorong Aruna untuk terjun pada lubang api.
"Mbak, ini semua menakutkan. Aku selalu berusaha mati-matian untuk menjalani kehidupan sebaik-baiknya. Bersandiwara kalau semuanya bukan apa-apa tetapi, semakin ke sini. Makin terasa berat, Mbak. Aku tidak ingin kembali tengelam pada depresi masa lalu," tutur Aruna terdengar parau, kedua matanya berkaca-kaca.
Bulir bening terjatuh begitu saja, tubuhnya bergetar hebat. Mia bangkit dari posisi duduknya melangkah ke arah bangku Aruna, memeluknya dari samping tidak lupa mengusap lembut bahu Aruna. Apa yang harus Mia lakukan, kedua kelopak matanya terpejam erat.
'Lihatlah Kinanti, kesalahanmu sangat besar. Bahkan kematianmu tetap menyeret Aruna pada kehancuran. Harusnya kamu tidak mencintai Jakson sebesar dan sebodoh itu.' Mia mendesah frustrasi, tidak tahu harus seperti apa menyingkapi kesalahan Kinanti yang diam-diam ia ketahui.
...***...
Hana melirik dari kejauhan punggung belakang Aruna, wanita cantik itu tidak lagi memiliki siapa-siapa di sampingnya. Terlihat sesekali ke kampus hanya berjalan seorang diri tanpa teman, hari ini wajahnya terlihat tidak sebagus biasanya.
Tiba-tiba saja pandangan matanya terhalang, Viera berdiri di depan Hana. Kepala Hana langsung mendongak melirik Viera, wanita itu tersenyum menyeringai.
"Mencuri pandang ke arah mantan sahabat, huh," cibir Viera.
Hana mendengus, Viera menarik kursi ke belakang. Duduk di hadapan Hana, dahi Hana berlipat mendapati Viera yang mendekati dirinya lebih dahulu. Kantin terlihat begitu ramai di siang hari, ada beberapa mahasiswa-mahasiswi tingkat akhir yang datang ke kampus untuk konsultasi perkembangan skripsi mereka.
"Apa yang ingin kamu katakan, langsung aja ke inti masalahnya," ujar Hana terlihat malah berbasa-basi.
"Woah-woah, emang ya. Habis manis sampah dibuang," cemooh Viera, "aku ke sini cuma mau menanyai sesuatu padamu tentang Aruna."
Kepala Hana mengangguk, dan menjawab, "Ya, silakan aja. Mau tanya apa soal dia?"
"Kalian satu SMA dan satu kampung bukan?"
"Ya, kami satu SMA dan satu kampung." Hana menjawab santai.
Viera tersenyum tipis, dia bertanya pada orang yang tepat. "Apakah di masa-masa SMA ada yang aneh dengan Aruna?"
"Hah? Maksudnya?" tanya Hana balik, dahinya mengernyit.
"Yeah..., seperti dia mungkin tiga bulan akhir tidak masuk sekolah. Atau satu tahun cuti," tutur Viera pelan.
Kelopak mata Hana berkedip lalu lama sekali terlihat terdiam, memang di kelas tiga SMA Aruna tidak bersama dengan dia dan teman-temannya. Sahabatnya itu tidak lulus bersama mereka, Aruna lulus dengan mengambil ujian paket C dikarenakan saat itu Aruna menderita penyakit serius. Bahkan di larikan ke luar kota, dibantu dirawat oleh Kinanti-kakanya. Informasi terakhir yang dia dengar saat itu Aruna dilarikan ke luar negeri, ia tidak berkomunikasi satu tahun lebih. Sampai mereka kembali bertemu di Ibu Kota.
"Dia satu tahun cuti, tidak sekolah saat kelas dua belas. Memangnya kenapa?" Hana menjawab jujur.
Jari jemari tangan Viera terlihat mengetuk-ngetuk permukaan meja kantin, lalu melirik Aruna dari ekor matanya. Aruna terlihat sibuk mengutak-atik keyboard laptopnya, meskipun terlihat tidak sehat. Dahi Viera berlipat, ketukan di atas meja semakin cepat. Hingga pergerakan jari jemari tangannya berhenti, bibir merah merekah itu terbuka lebar dan matanya terbelalak.
"Gong banget," gumam Viera tersenyum merekah pada akhirnya.
Hana tidak paham apa yang sedang dipikirkan oleh Viera bahkan kata-kata Viera tidak jelas, Viera menoleh ke depan masih dengan senyum cerahnya.
"Thanks kalau gitu, Hana!" seru Viera sebelum bangkit dari posisi duduknya meninggalkan Hana yang terlihat mengerutkan dahinya.
Bersambung....