Liana menantu dikeluarga yang cukup berada tapi dia dipandang rendah oleh mertuanya sendiri. Mahendra suaminya hanya bisa tunduk pada ibunya, Liana dianggap saingan bukan anak menantu..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon citra priskilai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti ada tai dimuka Liana
Pagi hari Liana beraktifitas seperti biasanya, menjadi babu gratisan pada jam tiga subuh. Liana berandai andai kalau sudah menemukan kontrakan rumah pasti akan lebih nyaman untuk bangun agak siang, seenggaknya bangun pas adzan Subuh berkumandang.
Liana tiba tiba tersenyum membayangkan semuanya, setelah semuanya beres Liana bergegas beberes diri dan membangunkan Dion. Karena hari ini Liana akan melihat gudang yang disebutkan oleh mas Seno. Dan mas Seno juga akan mengajari Liana dalam hal memenangkan tender maupun teknik marketing produk lisensi yang akan di drop out oleh Liana.
Pagi itu ibu Hindun membangunkan Mahendra dalam kamar Liana dan Mahendra. Disitu Mahendra masih tidur dan Liana masih mengenakan baju seragam untuk Dion. Tanpa sungkan ada Liana Mahendra dibangunkan oleh ibu Hindun.
"Mahendra bangun"
"Ayo antar ibu ke pasar untuk jual semua perhiasan ibu"
"Sebentar lagi ibu panen raya tanaman tebu tahun ini"
"Dan sudah laku dua puluh lima juta"
"Ibu mau merenovasi rumah ini"
"Biar bagus kayak punya tetangga"
Cerocos ibu Hindun pada Mahendra.
Mahendra hanya menjawab iya iya...
Dan keberadaan Liana sama sekali tak digubris baik ibu Hindun maupun Mahendra.
Terbesit dalam hati Liana, sebanyak apa investasi emas milik ibu Hindun. Liana menatap dirinya di depan cermin dan dia melihat dirinya sekilas. Bahkan anting yang hanya seberat satu gram saja Liana tidak pernah memakai itu karena Mahendra tidak mampu membelikan anting tersebut.
Boro boro Mahendra membelikan perhiasan, yang memenuhi kebutuhan rumah tangga sampai uang untuk ke sawah itu Liana yang membiayai dan itu selalu dianggap uang hasil kerja keras Mahendra anaknya.
Liana tersenyum kecut setelah ibu Hindun dan Mahendra keluar dari kamar tersebut.
"Dasar pecundang"
Itulah kata kata yang terlontar secara tiba tiba dari mulut Liana dan menetap pintu keluar kamar.
Ketika seorang menantu tak dianggap oleh keluarga suami, Liana paham betul dengan perasaan itu. Tapi kesabaran Liana sebentar lagi akan membuahkan hasil, karena Liana tinggal menanda tangani kontrak gudang tersebut. Karena Liana mendapat notifikasi dari pihak bank uang Liana sudah mencapai lima ratus juta rupiah.
Liana beranjak dari kursi rias dan menghampiri Dion yang sedari tadi menunggunya duduk di depan televisi menonton film kartun favoritnya.
"Ayo sayang, kita berangkat sekolah"
Ajak Liana pada Dion.
Tapi Dion tidak pernah mengeluh meski itu masih benar benar pagi jam setengah enam pagi. Biasanya anak seumuran Dion jam segitu baru bangun dari tidur nya yang panjang.
Liana berfikir seperti ada kotoran di muka Liana, meski Liana sudah berusaha semampunya untuk tampil lebih baik di depan suami maupun keluarganya Liana tetap tak dianggap oleh ibu Hindun dan bapak Suparman.
Memang belum ada jam enam pagi tapi Liana sudah sampai di depan gerbang sekolah Dion. Liana mematikan motor matiknya, tampak Dion masih cemberut.
"Dion sayang, ayo nanti sehabis sekolah kita jalan jalan sama om Seno"
Ajak Liana pada Dion.
"Om Seno yang ganteng itu ya ma"
"Aku mau ma.." Dion langsung tampak gembira dengan ajakan Liana.
Karena Liana berfikir Mahendra tidak pernah ada waktu untuk memanjakan dirinya maupun Dion anaknya. Malahan mas Seno yang orang lain sering ngajakin Dion pergi healing meski itu hanya sekedar ke taman kota. Bahkan mentraktir makan ke restoran untuk makan enak.
Liana baru meninggalkan Dion setelah ibu gurunya datang ke sekolah, memang jenuh menunggu hampir satu jam didepan gerbang sekolah bagi Liana dan Dion. Tapi itu lebih baik daripada mendengar ibu Hindun yang menyanyikan lagu klasik yang menusuk hati.
Terimakasih