NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Presentasi itu berjalan sempurna. Para investor tampak terpukau. Namun, di tengah gemuruh tepuk tangan yang mulai mereda, Bram—asisten pribadi Tuan Hardi—melangkah masuk melalui pintu samping. Ia tidak sendiri. Ia membawa seorang pria paruh baya berpakaian lusuh yang tampak sangat kontras dengan kemewahan aula itu.

Bram membisikkan sesuatu di telinga Tuan Hardi sambil menyodorkan sebuah amplop tua.

"Tuan, saya membawa seseorang yang ingin memberikan 'penghormatan' khusus kepada arsitek kebanggaan kita," desis Bram dengan senyum yang sangat licik.

Tuan Hardi membuka amplop itu. Matanya membelalak. Di dalamnya terdapat foto fisik Rian dua tahun lalu—wajahnya berlumuran darah, berlutut di tanah, tepat setelah ia disiksa oleh orang-orang Hardi.

"Siapa dia?" tanya Hardi dengan suara yang mulai gemetar karena amarah.

"Dia adalah Pak Jaya, Tuan. Detektif yang Anda sewa dua tahun lalu," jawab Bram pelan. "Dia bersaksi bahwa pria di podium itu adalah 'hama' yang sama yang pernah Anda injak-injak."

Tuan Hardi berdiri seketika, membuat kursinya bergeser dan menimbulkan suara decitan yang memecah kesunyian pasca-presentasi. Seluruh mata investor tertuju padanya.

"Saudara Rian..." suara Tuan Hardi menggelegar, dingin dan mematikan. "Saya baru saja menyadari bahwa desain 'Sayap Kupu-kupu' Anda ini bukan terinspirasi dari London. Tapi terinspirasi dari kebencian seorang pecundang yang mencoba menyusup kembali ke rumah saya."

Rian yang baru saja hendak turun dari podium, terhenti. Ia berdiri mematung. Di barisan depan, Naya merasakan dunianya seolah runtuh. Topeng kaku yang ia bangun selama dua tahun lebih pecah dalam sekejap.

Bram melangkah maju, mengangkat foto lama itu tinggi-tinggi agar semua orang melihatnya. "Katakan pada kami, arsitek terhormat," teriak Bram. "Apakah Anda Adrian, staf katering rendahan yang kami buang dua tahun lalu, atau Anda benar-benar seorang penipu internasional?"

Klimaks yang sangat melankolis dan menyakitkan kini dimulai. Rian tidak lagi bisa bersembunyi di balik jas mahalnya. Ia harus memilih: tetap diam sebagai penipu, atau mengakui jati dirinya demi sebuah martabat yang ia bangun dengan darah dan air mata selama di London.

Aula yang tadinya megah kini terasa sesak oleh bisikan-bisikan tajam. Para investor dari mancanegara saling berpandangan, bingung melihat drama personal yang tiba-tiba meledak di tengah acara formal. Foto usang di tangan Bram seolah menjadi hakim yang menghakimi seluruh perjuangan Rian selama dua tahun ini.

Tuan Hardi melangkah mendekat ke podium, wajahnya merah padam. "Berani-beraninya kamu berdiri di gedungku, menggunakan namaku untuk mencari ketenaran, padahal kamu hanyalah sampah yang seharusnya tidak pernah kembali!"

Naya berdiri, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. "Ayah, cukup!" jeritnya, namun suaranya tertutup oleh kebisingan aula.

Rian menarik napas dalam-dalam. Ia tidak menunduk. Ia justru melangkah maju, kembali berdiri di depan mikrofon. Ia menatap foto dirinya yang berlumuran darah itu, lalu menatap lurus ke arah mata Tuan Hardi yang penuh kebencian.

"Ya, Tuan Hardi. Pria di foto itu adalah saya," suara Rian menggelegar, tenang namun bergetar oleh emosi yang sangat dalam.

Seluruh ruangan mendadak sunyi. Rian melanjutkan, tatapannya menyapu seluruh investor internasional.

"Dua tahun lalu, saya berdiri di depan pria ini bukan sebagai arsitek, tapi sebagai seorang pria yang hanya memiliki cinta untuk ditawarkan. Dan karena cinta itu tidak memiliki angka di rekening bank, saya dihancurkan. Saya disiksa, dibuang ke kota kecil, dan dipaksa menghilang dari muka bumi. Saya kehilangan segalanya—nama saya, harga diri saya, bahkan wanita yang menjadi napas saya."

Rian menjeda, suaranya kini merendah, melankolis namun sangat berwibawa.

"Saya pergi ke London bukan untuk menipu. Saya pergi untuk menumbuhkan kembali sayap yang Anda patahkan, Tuan Hardi. Setiap malam saya bekerja di kafe hingga tangan saya melepuh, setiap pagi saya belajar arsitektur hingga mata saya buta karena lelah, semuanya hanya untuk satu tujuan: agar suatu hari nanti, saat saya kembali berdiri di depan Anda, Anda tidak lagi melihat saya sebagai 'sampah', melainkan sebagai manusia yang setara."

Rian menunjuk ke arah maket  Galery Butterfly .

"Bangunan itu adalah bukti bahwa rasa sakit bisa diubah menjadi keindahan. Jika Anda ingin mengusir saya sekarang karena masa lalu saya yang miskin, silakan. Tapi Anda tidak bisa menghapus fakta bahwa pria yang Anda sebut 'sampah' ini adalah satu-satunya orang yang mampu memberikan jiwa pada proyek terbesar perusahaan Anda."

Seorang investor dari London, yang sejak tadi menyimak, tiba-tiba berdiri dan bertepuk tangan pelan. "Kejujuran yang luar biasa. Di London, kami menghargai karya, bukan masa lalu yang tragis. Tuan Hardi, arsitek Anda baru saja memberikan presentasi paling manusiawi yang pernah saya dengar."

Tuan Hardi tertegun. Ia melihat rekan-rekan bisnisnya justru menatap Rian dengan kekaguman, bukan hinaan. Ia melihat Naya yang menatap Rian dengan bangga, seolah-olah Rian adalah pahlawan yang baru saja pulang dari medan perang.

Tuan Hardi melirik Bram yang tampak gelisah karena rencananya menjadi bumerang. Tuan Hardi terdiam, teringat bagaimana dua tahun lalu Rian tidak membalas pukulannya, hanya memohon untuk tidak dipisahkan dari Naya.

Di atas podium, Rian menatap Naya. Melalui tatapan itu, ia seolah sedang menyanyikan bait terakhir lagu mereka: "Memeluk batinmu yang sama kacau karena merindu..."

Malam itu, di depan dunia yang kejam, sang kupu-kupu tidak lagi bersembunyi. Ia telah terbang tinggi, dan kali ini, ia tidak akan membiarkan siapa pun menariknya jatuh kembali ke tanah.

Setelah pengakuan yang menggemparkan di aula, suasana pesta berakhir dengan bisik-bisik yang tak kunjung usai. Tuan Hardi segera meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun, wajahnya kaku seperti batu. Naya ditarik paksa oleh pengawal Ayahnya menuju mobil, hanya sempat menoleh sekali ke arah Rian dengan tatapan yang penuh kecemasan sekaligus kebanggaan yang luar biasa.

Rian berdiri di tengah aula yang mulai sepi, ditemani Aris. Napasnya masih memburu. Ia tahu, pengakuannya tadi adalah jembatan yang ia bakar—tidak ada jalan untuk kembali.

"Kamu gila, Yan. Benar-benar gila," bisik Aris sambil menepuk bahu sahabatnya. "Tapi itu pidato paling hebat yang pernah aku dengar."

"Aku hanya lelah bersembunyi, Ris," jawab Rian pelan, matanya menatap panggung yang kini kosong.

Tiba-tiba, Bram mendekat dengan wajah pucat namun tetap menyimpan kebencian. "Tuan Rian, Tuan Hardi menunggu Anda di ruang kerjanya. Sekarang. Jangan membuat beliau menunggu."

Rian melangkah melewati lorong-lorong kantor pusat yang dingin, menuju ruangan paling atas yang dilapisi kayu jati mahal. Di dalam ruangan itu, Tuan Hardi duduk membelakangi pintu, menatap pemandangan Jakarta dari jendela besar.

Rian masuk dan berdiri di tengah ruangan. Hening. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak, mengingatkan pada kesunyian dua tahun lalu di taman belakang rumah Hardi.

"Dua tahun lalu, kamu merangkak di tanah memohon padaku," suara Tuan Hardi terdengar berat, tanpa menoleh. "Sekarang, kamu berdiri di podiumku dan mengancam reputasiku di depan seluruh investor internasional."

"Saya tidak mengancam, Tuan," sahut Rian tenang. "Saya hanya menunjukkan bahwa dunia tidak lagi melihat saya seperti cara Anda melihat saya."

Tuan Hardi berbalik perlahan. Matanya merah, bukan hanya karena marah, tapi ada gurat kelelahan dan keterkejutan di sana. "Kenapa kamu kembali, Rian? Dengan ijazah London itu, kamu bisa bekerja di mana saja. Kamu bisa hidup tenang dan kaya di Eropa. Kenapa kamu memilih kembali ke tempat yang pernah menghancurkanmu?"

Rian menatap lurus mata pria yang pernah menghinanya itu. "Karena di London yang dingin, batin saya tetap tertinggal di sini. Saya kembali karena saya berjanji pada Naya—dan pada diri saya sendiri—bahwa saya tidak akan membiarkan cinta kami mati hanya karena saya tidak punya harta."

Tuan Hardi terdiam. Ia teringat bagaimana Naya menolak semua pria pilihan ayahnya selama dua tahun terakhir ini, bagaimana putrinya itu hidup seperti mayat hidup yang hanya patuh demi kewajiban. Ia menyadari bahwa ia telah memisahkan dua jiwa yang "sama-sama kacau karena merindu".

"Investor-investor itu memujimu," ujar Tuan Hardi, suaranya kini sedikit melemah. "Mereka bilang, jika aku melepaskanmu, mereka akan membawa proyek ini ke Singapura. Kamu benar, Rian. Secara bisnis, aku tidak bisa menyentuhmu sekarang."

Tuan Hardi berdiri, berjalan mendekati Rian. Jarak mereka kini hanya satu meter.

"Tapi sebagai seorang Ayah, aku masih tidak menyukaimu," bisik Hardi tajam. "Namun, aku juga tidak ingin melihat putriku mati perlahan karena rindu. Maka, inilah tantanganku: Selesaikan proyek galeri ini. Jadikan itu bangunan terbaik di Asia Tenggara. Jika dunia mengakuinya sebagai mahakarya, maka aku akan membiarkanmu berdiri di samping Naya secara resmi. Bukan sebagai staf katering, tapi sebagai pria yang layak."

Jantung Rian berdegup kencang. Ini adalah pintu yang selama ini ia perjuangkan dengan darah dan air mata di London.

"Saya terima tantangan Anda, Tuan," jawab Rian mantap.

Malam itu, Rian keluar dari gedung Hardi Group dengan perasaan yang tak menentu. Di lobi yang sepi, ia melihat Naya sedang berdiri di dekat mobilnya, dikawal oleh Pak Satrio. Naya melihat Rian dan segera berlari mendekat, mengabaikan seruan Pak Satrio.

Mereka berhenti tepat di depan satu sama lain. Di bawah rintik hujan Jakarta yang mulai turun, Naya menyentuh wajah Rian.

"Apa yang dikatakan Ayah?" bisik Naya cemas.

Rian tersenyum, senyum yang paling puitis dan melankolis yang pernah Naya lihat. Ia meraih tangan Naya dan mengecupnya di depan mata Pak Satrio.

"Dia memberikan tantangan terakhir, Naya," bisik Rian. "Dia membiarkan kita terbang, asalkan sayap kita cukup kuat untuk membawa dunia bersamanya. Kita tidak perlu lagi memeluk batin dalam diam. Sedikit lagi, Kupu-kupuku. Sedikit lagi."

Naya menangis haru, memeluk Rian di bawah lampu jalan yang temaram. Mereka tidak tahu bahwa di kejauhan, Bram masih mengawasi dengan dendam yang belum padam. Namun malam itu, melodi Butterfly terasa lebih manis daripada sebelumnya—sebuah janji bahwa sang kupu-kupu akan benar-benar terbang bebas.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!