"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Weekend
Weekend kali ini menjadi yang paling ditunggu Javas. Bukan lagi tentang rebahan di kasur seharian, melainkan rencana kecil yang sejak kemarin sudah berputar di kepalanya. Pria tampan itu berdiri di depan cermin dalam kamarnya, mengenakan pakaian kasual yang pas di tubuhnya. Sebuah kamera kecil milik pribadinya juga diselipkan ke dalam tas, seolah menjadi bagian penting dari hari ini.
Motor Beat yang selama ini setia menemaninya saat hidup di luar rumah sudah terparkir rapi di depan kos. Sebelum melangkah keluar, Javas bersiul ringan, menyemprotkan sedikit minyak wangi ke lehernya, lalu merapikan anak rambut yang jatuh ke dahi. Senyum kecil tersungging di wajahnya, tanda antusias yang bahkan tidak ia sadari.
Dia keluar, menghampiri motornya, lalu bersiap menuju rumah Selena untuk menjemput dua perempuannya itu. Motor melaju cukup cepat, menembus jalanan yang masih lengang. Javas sudah tidak sabar menyambut kebersamaan hari ini.
Tak butuh waktu lama, dia tiba di depan rumah Selena, bahkan lebih cepat dari biasanya. Sebelum turun, Javas sempat meneliti penampilannya lewat kaca spion.
“Perfect… very very handsome,” gumamnya pelan sambil menggigit bibir bawah, menahan salah tingkah oleh kalimatnya sendiri.
Di dalam rumah, Selena dan Lala sudah menunggu sejak tadi. Dua perempuan itu bersiap dengan pakaian santai, namun tetap serasi dan mengimbangi gaya berpakaian Javas.
Javas mengetuk pintu. Tak lama, Selena dan Lala muncul bersamaan menyambutnya. Pria itu sempat terdiam beberapa detik, matanya menelusuri keduanya yang sudah siap pergi.
“Cantik,” gumam Javas tanpa sadar.
“Kamu sudah datang, Jav? Langsung pergi atau mau masuk dulu?” tanya Selena.
“Kalian sudah siap, kan? Kita langsung berangkat saja. Tidak apa-apa pakai motor, ya?”
“Pakai motor!” pekik Lala cepat, dan itu mutlak. Selena tak bisa lagi menawar dengan mobilnya. Lagi pula, memilih motor sepertinya memang bukan pilihan yang buruk.
“Baiklah, sayang. Go,” ujar Javas sembari menggenggam tangan Lala. Selena mengekor dari belakang, membawa tas kecil berisi minuman.
“Aku di depan Papi saja, Mami,” ucap Lala penuh semangat.
Selena yang hendak menggendong tubuh kecil itu untuk duduk di tengah-tengah mereka langsung terdiam. “La, di depan nanti dingin. Kamu di tengah saja, sini. Biar Mami peluk,” tukasnya.
“Kalau Mami mau peluk, peluk Papi saja, gampang,” jawab Lala santai. Seolah paham betul isi hati Javas, dan entah kenapa selalu berpihak pada pria itu.
Javas tersenyum tipis, jelas menikmati situasi.
“Kalau istriku mau peluk, peluk pinggang suaminya saja ya,” tambahnya tanpa rasa bersalah.
Lala mengangguk setuju.
Sementara Selena hanya mendengus kesal, sebelum akhirnya naik dan duduk di belakang, tangannya di letakkan di atas paha, enggan memeluk pinggang Javas.
“Sudah, ayo,” ujarnya santai.
Namun motor Javas tak kunjung berjalan.
“Jav, jadi nggak ini perginya?” tanya Selena heran. "saya sudah duduk kok.”
“Iya jadi,” jawab Javas cepat.
“Terus kenapa belum jalan? Saya sudah aman ini.”
“Aman gimana,” sahut Javas ringan. “Nanti kamu jatuh, kan ribet. Jadi sebelum itu terjadi, mending begini.” Tanpa memberi waktu Selena bereaksi, Javas menarik tangan wanita itu dan melingkarkannya ke perutnya.
Deg.
Wajah Selena langsung memerah, telinganya terasa panas. Ia berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Javas lebih kuat menahannya, seolah sudah siap dengan penolakannya.
“Sudah,” ujar Javas dengan senyum puas. “Ayo kita berangkat.”
...****************...
Motor Javas melaju pelan dan sangat hati-hati. Perjalanan yang hampir lima belas menit itu membuat Selena terus bertanya-tanya dalam hati ke mana pria itu akan membawa mereka. Untuk bertanya langsung, Selena sudah bosan, karena sejak tadi jawaban Javas selalu sama, nanti juga tau.
Sesekali tangan Selena terlepas, namun tanpa rasa bersalah Javas kembali menariknya, melingkarkannya ke perutnya. Seolah itu posisi paling aman menurut versinya sendiri.
Hingga laju motor perlahan melambat saat mereka mendekati sebuah playground.
Suara tawa anak-anak terdengar riuh, bercampur dengan derit ayunan dan langkah-langkah kecil yang berlarian. Beberapa orang dewasa tampak mengawasi dari bangku taman, sebagian ikut bermain menemani putra-putri mereka. Pemandangan itu membuat wajah Lala di depan berseri seketika.
“Wah, Papi bawa Lala ke tempat bermain?” teriak gadis kecil itu kegirangan.
Sementara Selena terdiam. Dadanya terasa hangat, terlalu penuh sampai-sampai matanya menggenang tanpa dia sadari.
Ia tak pernah benar-benar terpikir datang ke tempat seperti ini. Jujur saja, Selena sangat jarang, bahkan mungkin belum pernah, mengajak Lala ke taman bermain anak-anak. Bukan karena tidak mau, tapi karena hidupnya terlalu dipenuhi kewajiban dan rasa takut kehilangan waktu.
Tapi Javas berbeda. Pria itu justru memikirkan hal sederhana yang luput dari benaknya. Bukan tempat yang identik dengan orang muda kebanyakan, bukan juga sesuatu yang berlebihan. Hanya sebuah taman bermain, namun cukup untuk membuat hati Selena bergetar pelan.
“Lala senang?” tanya Javas sembari menurunkan tubuh kecil itu dari motor.
“Senang, Papi… senang bangetttt…” seru Lala antusias, nyaris melompat kegirangan.
Sudut bibir Javas terangkat. Melihat kebahagiaan polos di wajah Lala membuat dadanya terasa ringan. Perasaan itu sederhana, tapi entah kenapa begitu memuaskan.
Dan Selena, lagi-lagi hanya bisa memperhatikan dari dekat. Interaksi kecil itu membuat dadanya menghangat perlahan. Ada sesuatu yang selama ini kosong, kini terasa terisi, meski hanya sedikit.
Ia ikut turun dari motor, lalu menggenggam tangan Lala. Bersama, mereka melangkah masuk ke dalam area playground, diiringi suara tawa anak-anak yang seolah menyambut kedatangan mereka.
“Lala mau naik wahana itu, boleh ya…” gadis kecil itu menunjuk beberapa permainan yang tampak menarik perhatiannya.
“Boleh, sayang,” jawab Selena tanpa ragu. Selama Lala bahagia, hari ini memang sepenuhnya milik putrinya.
Namun di balik senyum itu, ada rasa bersalah yang menyelinap pelan. Selena baru menyadari betapa sederhananya kebahagiaan anak kecil, dan betapa lama dirinya terlalu sibuk hingga lupa bahwa Lala juga butuh ruang untuk bermain, bukan hanya rumah dan rutinitas.
Mereka menuntun Lala dari satu wahana ke wahana lain. Kadang Javas yang menemani, kadang Selena. Bergantian, tanpa keluhan, hanya tawa dan celoteh Lala yang tak ada habisnya.
“Mau di situ juga…” ujar gadis kecil itu lagi, energinya seolah tak pernah surut.
“Boleh, Mami dulu yang temanin ya,” ucap Javas sambil menoleh ke Selena.
Selena mengangguk sambil tersenyum kecil.
Saat Selena dan Lala menaiki wahana itu, Javas berdiri tak jauh dari sana. Kamera kecil di tangannya terus bekerja, mengabadikan setiap momen sederhana yang terasa begitu spesial. Senyum Lala, tawa Selena, dan kebahagiaan kecil yang tanpa sadar memenuhi hari itu.
...----------------...
“Sebentar… bukankah itu Javas?”
Seorang wanita cantik yang baru saja tiba di playground itu mengerutkan kening. Tatapannya terpaku ke satu titik, ke arah sosok pria yang jelas-jelas tidak seharusnya berada di tempat seperti itu—setidaknya menurut pemahamannya.
Sera, yang datang menemani Keano bersama kakaknya, refleks menghentikan langkah. Rasa heran langsung memenuhi benaknya. Dari kejauhan, ia tak lagi memperhatikan kakaknya, melainkan fokus pada Javas yang terlihat di depan sana.
Pria itu tertawa kecil, kamera di tangannya sesekali terangkat, mengabadikan kebahagiaan yang tampak begitu nyata.
“Dan itu…” Sera menyipitkan mata, “kayak familiar. Siapa wanita itu?”
Langkahnya maju perlahan, rasa penasaran kian menghantui pikirannya. Namun semakin ia mendekat, jarak itu justru terasa semakin menjauh. Javas, Selena, dan gadis kecil itu terus berjalan bersama, diselimuti tawa ringan, seolah dunia mereka berdiri sendiri.
"Mbak Selena bukan ya?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...