Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3
Di rumah,
Setelah selesai dengan semua aktivitas kerjanya, Ayana kini mengistirahatkan tubuhnya duduk di bangku luar dapur.
Ayana kembali mengingat, pada saat kejadian malam lalu, yang dimana ia diminta Suaminya untuk menandatangani surat pernyataan. Hingga kini Ayana masih penasaran, sebenarnya surat apakah yang ia tandatangani waktu lalu.
"Ya Allah, sebenarnya aku sudah menandatangani surat apa itu? Kenapa perasaanku tidak enak begini," batinya termenung.
Drttt
Ayana tersadar dari lamunannya. Wanita cantik yang memiliki bola mata bewarna kecoklatan itu segera mengambil gawai yang ia taruh di sampingnya.
Tuan Ibrahim.
'Tuan Ibrahim... Ada apa ya?' Ayana mendadak cemas, hingga ia beranikan diri untuk menerima panggilan dari mertuanya itu.
"Hallo, ada apa Tuan Ibrahim?" Tanya Ayana dengan hati-hati.
Di sana, Tuan Ibrahim merasa lega mendengar suara menantunya. Setelah itu ia membuka suara, "Hallo Aya, bagaimana kabarmu? Dimana Cucu saya?"
"Alhamdulillah, kabar saya sehat, Tuan! Zeva juga sehat. Dia sedang bermain balok susun," jawab Ayana sambil menatap Putranya dari jarak jauh.
Terdengar helaan nafas lega dari sebrang tempat Tuan Ibrahim. "Syukurlah jika kalian berdua sehat! Oh ya, Aya... Bagaimana keadaan Bu Ratih, apakah ada perubahan selama terapinya?"
"Ibu sudah bisa berbicara, Tuan. Saya mengucapkan terimakasih banyak, karena Tuan masih peduli dengan orang tua saya." Ayana merasa bersyukur memiliki mertua sebaik Tuan Ibrahim.
"Saya ikut senang, Aya. Ya sudah, kalau begitu saya matikan dulu. Tolong berikan video Zeva, jika kamu sudah tidak sibuk."
"Baik, nanti saya akan kirimkan pada Tuan Ibrahim." Jawab Ayana sembari menyimpan kembali gawainya.
Baru saja Ayana akan bangkit, lagi-lagi ada suara yang memekik telinganya.
"Ayana... Ayana, kamu dimana sih?" Teriak Bu Anita di area meja makan.
Ayana segera menghadap, tidak ingin membuat suasana lebih runyam. Dengan segan serta tertunduk, Aya bersuara, "Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Saya peringatkan sama kamu, Ayana! Jika nanti Rama mengajak kekasihnya datang, jangan pernah kamu menampakan wajahmu sebagai istrinya. Statusmu disini hanyalah PELAYAN! Tidak lebih," kecam Bu Anita sambil menunjuk wajah Ayana.
Kalimat Bu Anita bagaikan batu besar yang menghantam hati Ayana. Sejujurnya bukan hal asing. Namun entah mengapa, setiap kalimat itu keluar, seakan ranahnya disana hanyalah sebatas pelayan yang bekerja di rumah Majikannya.
"Saya tahu, Bu!"
"Bagus!"
Setelah mengatakan itu Bu Anita melenggang keluar pergi begitu saja.
Melihat Majikannya sudah pergi, seorang pelayan berusia 40 tahun itu berjalan mendekati Ayana dengan tatapan remeh. Kedua tanganya terlipat, tak lama itu membuka suara.
"Kalau aku jadi kamu ya, Aya... Aku sudah pergi jauh dari sini. Kamu itu bodoh atau o'on sih? Sudah tahu gak di sukai Den Rama, tapi masih saja kegatelan," tatapan pelayan itu sangat sinis, tertawa culas.
"Sudah, stop mengatur hidup saya, Bik! Yang lebih tahu tentang kehidupan saya itu hanya saya saja! Bibi tugasnya bekerja, ya bekerja saja... Nggak usah merecoki urusan pribadi saya!" Bantah Ayana lalu segera melenggang dari hadapan pelayan tadi.
"Dasar nggak tahu diri!" Pelayan bernama Bik Siti itu menggeram, pergi sambil menahan kesal.
*** ***
Mobil Rama baru saja berhenti di kediaman Mawar.
Disana Rama di sambut baik oleh kedua orang tau Mawar yang juga baru saja tiba dari Italy 3 hari yang lalu. Kepulangan Tuan Anderson beserta keluarganya, karena semata-mata ingin menyaksikan langsung acara pertunangan putri bungsunya.
"Rama, kamu duduk dulu ya! Aku mau ke atas ganti baju dulu." Mawar meninggalkan kecupan singkat pada wajah Rama, lalu bergegas naik ke lantai 2.
Kling!
Satu notif pesan masuk dalam gawai Rama. Pria itu segera membuka, ternyata sang Ayah lah yang mengirimkan pesan itu.
"Sudah hampir tanggal tua. Jangan sampai uang nafkah untuk istrimu telat, Rama!"
Dan benar saja, Rama hampir lupa membei jatah bulanan untuk Ayana. Dan memang, Rama tidak pernah memberi uang nafkah kepada Ayana selain uang gaji para pelayan itu, termasuk Ayana sendiri.
'Ayana pasti mengadukan itu pada Papah... Ah, sial!' batin Rama menggeram.
Tap!
Tap!
Mawar menghentikan langkahnya sejenak. Matanya menyipit dari atas tangga, melihat perubahan wajah Rama yang berubah lebih kesal.
"Rama... Kamu baik-baik saja 'kan? Apa ada sesuatu?"
Melihat Mawar sudah siap dan rapi, Rama segera bangkit mengubah ekspresi wajanya. Sampai-sampai ia melupakan pesan sang Ayah tadi.
"Nggak, aku nggak papa kok! Oh ya, kamu sudah siap? Kita pergi sekarang saja," Rama tersenyum hangat melonggarkan lengannya untuk Mawar gapai.
Nyonya Imelda baru saja keluar dari dapur. "Loh, kok buru-buru? Mau kemana lagi?"
"Mah, Mawar sama Rama mau fitting cincin buat lamaran kita nanti," jawab Mawar tersenyum begitu manis.
"Oh, ya sudah kalian hati-hati." Nyonya Imelda kembali mengimbuhkan, "Oh ya, Rama... Mamah kamu tahu 'kan kalau nanti malam kami mau ke rumah untuk membicarakan lamaran kalian."
Rama mengangguk, mengulas senyum lebar, "Tante tenang saja, Mamah selalu siap kapan pun waktunya."
Nyonya Imelda hanya mengangguk lemah.
"Ya udah, Mawar berangkat dulu ya, Mah."
Perjalanan mereka kali ini menuju Mall terbesar di kotanya, menuju galeri perhiasan berlian yang sebelumnya sudah menjadi langganan perhiasan oleh Bu Anita.
Selang menempuh perjalanan Setengah jam, mobil Rama memasuki pusat perbelanjaan itu.
Greend Mall Jakarta Pusat.
Kedua pasangan itu sudah berjalan masuk menuju galeri yang mereka tuju. Akan tetapi, dari arah belakang, ada seseorang yang memanggil Rama hingga membuat langkah keduanya menggantung.
"Rama!"
Rama menoleh begitu Mawar.
Pria tadi berjalan mendekat, lalu merengkuh pundak Rama sekilas dengan senyum bangganya. Namanya Devan, teman Rama sewaktu kuliah.
Devan juga sudah tahu dengan Mawar, karena memang sejak dulu Rama menjalin kasih sedari bangku Fakultas.
"Devan, wah... makin gagah saja!" Rama melonggarkan pelukanya sambil menepuk bahu Devan.
Devan terkekeh, "Kamu bisa saja, Ram! Oh ya... Kamu masih dengan Mawar?"
"Seperti yang kamu lihat, Dev... Hubunganku dengan Rama semakin erat hingga kini," Mawar menyahuti.
Rama juga tidak hanya diam. Ia kembali melontarkan kalimatnya, "Kamu sendiri? Jangan bilang masih nge jomblo," tebak Rama tertawa pecah.
Devan menghela nafas lirih. "Ya... Masih menikamti masa single era, sampai ketemu bidadari, Ram. Hahaha...."
Pertemuan tanpa di sengaja itu membuat kedekatan mereka bertiga lebih erat. Namun obrolan mereka terpaksa berakhir, ketika Devan menerima telfon dari seseorang.
"Buat kalian berdua, semoga di lancarkan menuju hari bahagianya. Aku harus pergi, sudah jam terapi pasien," kata Devan sambil menepuk bahu Rama.
"Makasih, hati-hati Dev!"
Setelah kepergian Devan, Rama kembali melanjutkan jalannya menuju Galery perhiasan.
*
*
Setengah jam lalu, Ayana baru saja menitipkan Zeva putranya kepada Bik Sumi, sebab ia harus mengantarkan Ibunya terapi ke rumah sakit.
Dan disinilah, seminggu dua kali Ayana menemani Bu Ratih terapi, demi pemulihan dari stroke yang di derita Ibunya waktu lalu.
Rumah Sakit Berkasih, pukul 12.30 wib.
Dengan penampilan apa adanya, Ayana masih terlihat cantik meskipun tanpa riasan apapun. Aya hanya memakai pelembah wajah, lipstik nude, dan rambut yang ia kuncir kuda. Meskipun begitu, hal tersebut tak mengurangi kecantikan Ayana.
Wanita berusia 22 tahun itu mendorong kursi roda ibunya, duduk menunggu di ruangan khusus untuk terapi.
"Kok tumben lama ya," gelisah Bu Ratih sudah merasa lelah.
Ayana mengusap pungung Ibunya. Lalu berkata, "Sabar ya, Bu! Kata suster, Dokter Haedar sedang cuti karena istrinya melahirkan. Jadi, nanti Ibu akan di terapi sama Dokter baru."
Bu Ratih menggut-manggut saja.
Dan tak lama itu, suster datang bersama seorang pria muda dengan wajah tampannya. Memakai jas Dokter, pria tadi menyapa pasiennya dengan hangat.
"Silahkan, Dok! Ini pasiennya. Namanya Bu Ratih." Suter tadi memperkenalkan pasiennya kepada Dokter muda tadi.
Ayana bangkit, menunduk segan.
"Bu Ratih, perkenalkan dulu ya... Saya Dokter Devan, untuk sementara yang akan menerapi Anda." Dan rupanya dokter tadi adalah Devan.
Devan memang dokter spesialis tulang, dan baru saja di pindahkan ke Rumah Sakit Berkasih, setelah mengemban pendidikan di Australia.
Dan pada saat ingin mendorong kursi roda Bu Ratih, spontan saja tangan Ayana dan Devan saling bersentuhan. Dan hal itu membuat Aya merasa segan, hingga langsung melepaskan genggaman dari besi kursi tersebut.
"Maaf, saya tidak sengaja!" Devan merasa salah tingkah sendiri.
Ayana hanya mampu mengangguk, membiarkan Dokter muda tadi membawa ibunya masuk ke dalam.
"Mbak Ayana tunggu di sini dulu, ya. Saya masuk dulu," ucap Suster tadi yang sudah mengenal Ayana.
"Baik, tidak apa-apa, Sus!"
Ayana duduk menunggu, sambil sesekali mengotak atik gawainya agar tidak bosan. Dari pukul 13.00-14.30 Bu Ratih baru saja keluar dari ruang terapinya.
"Terimakasih ya, Dok... Suster!" Ucap Bu Ratih tersenyum.
Dokter Devan mengulas senyum hangat, "Semoga lekas sembuh ya, Bu!"
"Kalau begitu kami permisi dulu, Dok... Suster," Ayana tertunduk segan lalu mengambil alih pegangan kursi roda Ibunya.
Selepas kepergian Ayana, Dokter Devan masih mengulas senyum hangat menatap wanita cantik tadi hingga benar-benar menghilang dibalik pintu lobi.
"Dokter, setelah ini akan ada pasien, tapi masih dalam perjalanan. Sembari menunggu, Anda ingin di buatkan apa, Dok?" Suster sampai menyipitkan mata menoleh ke arah sang Dokter.
Sementara yang di tatap malah masih tersenyum tidak jelas.
'Wanita tadi begitu lain dari yang lain. Aku sampai lupa menanyakan siapa namanya.'
"Dokter....?"
Dokter Devan menoleh terkejut, "Oh ya... Ada apa, Sus?"
"Dok, nanti ada pasien satu lagi, tapi masih dalam perjalanan. Sembari menunggu, Anda ingin di buatkan apa?" Suster terpaksa mengulang kembali kalimatnya.
"Oh ya, ya... Satu americano saja, Sus. Tolong nanti kasih es batu sedikit."