Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pernikahan Tanpa Kehangatan
"Jelaskan penolakanmu, Nyonya," kata-kata itu menggantung di udara, dingin dan tajam seperti pecahan es.
Hwa-young tidak gentar. Ia menatap lurus ke mata suaminya, mata yang pernah menatapnya dengan acuh tak acuh saat hidupnya direnggut. Trauma itu mencoba merayap naik, tetapi ia menekannya dengan kekuatan kehendak yang baru ditempa.
"Saya hanya mengikuti tradisi, Yang Mulia," jawabnya.
Yi Seon maju selangkah lagi. Kehadirannya terasa berat, memenuhi ruangan yang sudah terasa sesak oleh kenangan buruk. "Tradisi? Itu alasan yang kau berikan pada dayang ibuku. Aku bukan dayang."
"Tentu saja tidak," sahut Hwa-young dengan tenang. "Yang Mulia adalah Pangeran Mahkota. Justru karena itulah, saya berharap Yang Mulia akan menjadi orang pertama yang menjunjung tinggi tradisi leluhur kita."
Alis Yi Seon sedikit berkerut. Ia tidak menyukai cara wanita ini berbicara. Logis, tenang, dan sama sekali tidak terintimidasi. "Kau menuduhku tidak menjunjung tinggi tradisi?"
"Saya tidak menuduh. Saya hanya menjawab pertanyaan Anda," balas Hwa-young. Ia memberi jeda sejenak, membiarkan keheningan bekerja untuknya. "Kitab tata cara istana menyatakan dengan jelas. Cawan penyatuan harus diberikan dari tangan suami ke tangan istri. Jika tidak, itu bukanlah penyatuan, melainkan paksaan. Sebuah pertanda buruk bagi masa depan kekaisaran."
Yi Seon mendengus pelan, sebuah suara yang lebih mirip cemoohan daripada tawa. "Kau percaya pada takhayul seperti itu?"
"Saya percaya pada tatanan. Sama seperti Yang Mulia," Hwa-young membalikkan argumennya dengan mulus. "Tatananlah yang membuat Anda menjadi Pangeran Mahkota dan saya menjadi istri Anda. Mengabaikannya sama saja dengan mengundang kekacauan."
Mereka saling menatap dalam keheningan yang tegang. Lilin-lilin di sekitar mereka berkedip, melemparkan bayangan panjang yang menari-nari di dinding. Yi Seon merasa seolah sedang berhadapan dengan orang asing. Putri dari keluarga Menteri yang ia temui beberapa kali sebelum pernikahan adalah seorang gadis pemalu yang bahkan tidak berani menatap matanya. Wanita di hadapannya ini ... tatapannya setajam elang.
"Perubahan yang menarik," desis Yi Seon, matanya menyipit. "Beberapa jam yang lalu, kau adalah tikus yang gemetar. Sekarang, kau berbicara seperti seorang sarjana hukum."
Jantung Hwa-young berdebar kencang mendengar pengamatan itu. Sebuah kesalahan. Ia terlalu percaya diri. Ia harus mundur sedikit, memainkan perannya dengan lebih baik.
Ia menundukkan kepalanya, membiarkan sehelai rambut jatuh menutupi sebagian wajahnya. Ia sengaja membuat bahunya sedikit gemetar. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya ... saya hanya takut. Puan Choi datang atas nama Ibu Suri, tetapi tindakannya terasa salah. Saya tidak ingin memulai pernikahan kita dengan melanggar aturan sakral. Saya hanya ... ingin melakukan hal yang benar."
Suaranya kini dibuat lebih lembut, lebih rapuh. Topeng pengantin baru yang ketakutan kembali terpasang.
Yi Seon mengamatinya dalam diam. Ia tidak sepenuhnya percaya. Perubahan itu terlalu drastis. Namun, logikanya masuk akal. Mungkin gadis ini memang hanya seorang penganut tradisi yang taat. Atau mungkin ... ia jauh lebih pintar dari yang diperkirakan siapa pun.
"Jadi, kau akan meminumnya jika aku yang memberikannya?" tanya Yi Seon, sebuah uji coba.
Hwa-young mengangkat kepalanya. "Jika itu adalah kehendak Yang Mulia, dan jika itu sesuai dengan tradisi, maka sebagai istri Anda, saya akan patuh."
Kalimat itu sempurna. Patuh, tetapi dengan syarat. Syarat yang ia tahu tidak akan pernah dipenuhi. Yi Seon tidak akan pernah mau melakukan apa pun yang diperintahkan ibunya secara langsung. Kebenciannya pada Keluarga Kang adalah satu-satunya hal yang Hwa-young yakini tidak berubah.
Yi Seon tidak menjawab. Ia berjalan melewati Hwa-young, menuju meja tempat cawan sialan itu seharusnya berada. Tentu saja, cawan itu sudah tidak ada. Puan Choi telah membawanya pergi.
"Sayang sekali," kata Yi Seon dengan nada sarkasme yang tipis. "Kesempatanmu untuk patuh telah hilang."
"Mungkin ini pertanda dari para dewa," balas Hwa-young pelan.
Yi Seon berbalik menghadapnya lagi. "Atau mungkin ini adalah deklarasi perang pertamamu terhadap ibuku."
"Saya tidak punya keinginan untuk berperang dengan siapa pun," dusta Hwa-young. "Saya hanya ingin hidup dengan damai sebagai istri Anda."
"Damai?" Yi Seon tertawa, kali ini lebih keras. Tawa itu terdengar pahit dan kosong. "Tidak ada kedamaian di istana ini, Nyonya. Terutama tidak untukmu, sekarang. Kau baru saja menampar wajah wanita paling berkuasa di kekaisaran ini. Kau pikir itu akan berakhir begitu saja?"
"Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar."
"Benar?" Yi Seon melangkah mendekat, auranya menjadi lebih mengancam. "Biar kuberitahu apa yang benar di sini. Yang benar adalah apa pun yang dikatakan Keluarga Kang. Kau telah membuat kesalahan besar."
Napas Hwa-young tercekat saat Yi Seon berhenti tepat di depannya. Aroma cendana samar menguar dari jubahnya, aroma yang sama yang menghantuinya dalam mimpi buruk. Ia memaksa dirinya untuk tidak mundur.
"Jika membela tradisi kekaisaran adalah sebuah kesalahan," bisik Hwa-young, matanya menantang, "maka itu adalah kesalahan yang akan saya tanggung."
Yi Seon tertegun sejenak oleh keberaniannya. Ia menatap wajah wanita itu, mencari tanda-tanda kebohongan atau kepura-puraan. Yang ia temukan hanyalah keteguhan hati yang membingungkan. Siapa sebenarnya wanita ini? Apakah keluarganya yang telah jatuh mengirimnya dengan agenda tersembunyi?
"Aku akan mengawasimu," kata Yi Seon akhirnya, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Setiap gerakanmu. Setiap katamu. Jika aku menemukan bahwa kau adalah pion dari faksi lain ... ."
"Saya bukan pion siapa pun," potong Hwa-young. "Saya adalah Putri Mahkota Joseon. Dan istri Anda."
Penegasan itu membuat Yi Seon terdiam. Untuk pertama kalinya malam itu, ia tidak tahu harus berkata apa. Wanita ini telah mengambil alih kendali percakapan, menggunakan status dan aturan untuk memojokkannya.
Ketegangan di antara mereka begitu kental hingga terasa bisa diiris dengan pisau. Malam pernikahan seharusnya diisi dengan kehangatan dan janji, tetapi paviliun ini terasa lebih dingin daripada ruang bawah tanah.
Akhirnya, Hwa-young memecah keheningan. "Malam sudah larut, Yang Mulia. Anda pasti lelah."
Itu adalah sebuah usiran yang sopan. Sebuah cara untuk mengakhiri konfrontasi tanpa ada yang kalah atau menang.
Yi Seon menatapnya lama, seolah mencoba mengukir setiap detail wajahnya dalam ingatan. "Benar," katanya singkat.
Ia berbalik dan berjalan menuju ranjang pernikahan besar yang dilapisi sutra merah.
Namun, Yi Seon hanya duduk di tepi ranjang, punggungnya menghadap Hwa-young. "Kau bisa tidur di sofa panjang itu," katanya tanpa menoleh. "Jangan mengeluarkan suara."
"Terima kasih, Yang Mulia," bisiknya.
Tidak ada yang tidur.
Hwa-young bisa merasakan tatapan Yi Seon di punggungnya, menusuk dan penuh selidik. Ia bisa mendengar setiap napas pria itu, setiap desiran kain saat ia bergerak gelisah di atas ranjang. Di sisi lain, Yi Seon sama waspadanya. Ia mendengarkan napas Hwa-young, mencoba menangkap isak tangis ketakutan atau tanda-tanda lain dari kelemahan. Ia tidak menemukan apa pun. Hanya napas yang teratur dan tenang. Seolah wanita itu benar-benar sedang beristirahat dengan damai.
Ini aneh. Semuanya aneh. Pengantin baru mana pun akan menangis dalam situasi seperti ini. Ditolak, diancam, dan dipaksa tidur di sofa pada malam pernikahannya. Namun, Hwa-young tidak menunjukkan emosi apa pun. Anomali. Kata itu terus berputar di benak Yi Seon. Wanita ini adalah sebuah anomali yang berbahaya.
Saat cahaya fajar pertama menyelinap melalui celah jendela kertas, Yi Seon bangkit dari ranjang. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya merapikan jubahnya dan berjalan keluar dari paviliun, meninggalkan Hwa-young sendirian dalam keheningan pagi yang dingin.
Pintu bergeser tertutup dengan suara pelan.
Hwa-young menunggu beberapa saat, memastikan pria itu benar-benar pergi. Kemudian, ia mengeluarkan napas panjang yang telah ia tahan semalaman. Tubuhnya terasa sakit dan kaku, tetapi pikirannya tajam. Ia telah selamat.
Ia bangkit perlahan, gaunnya yang kusut terasa seperti beban timah. Ia berjalan ke arah meja rias kayu hitam, tangannya gemetar karena kelelahan dan ketegangan. Ia menatap bayangannya di cermin perunggu. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyala dengan api kemenangan.
Ia berhasil menanam benih keraguan pertama di benak Yi Seon. Pria itu tidak lagi melihatnya sebagai pion yang penurut. Ia melihatnya sebagai teka-teki, sebuah ancaman potensial. Itu bagus. Kecurigaan lebih baik daripada pengabaian. Kecurigaan bisa dimanipulasi.
Tangannya menopang tubuhnya di tepi meja rias yang dingin. Jemarinya tanpa sadar menelusuri ukiran bunga plum yang rumit di sepanjang sisinya. Pola yang sama ... pola yang sering ia lihat saat ibunya duduk di meja rias yang sama persis di kediaman mereka.
Sebuah ingatan melintas di benaknya, begitu tiba-tiba dan begitu jelas hingga membuatnya terkesiap.
“Dengar, Hwa-young,” bisik ibunya suatu sore, jemarinya menuntun tangan kecil Hwa-young di sepanjang ukiran meja. “Di dunia ini, pesan terpenting sering kali tidak tertulis di atas kertas. Terkadang, pesan itu tersembunyi di tempat yang paling biasa. Di balik bunga kelima dari kiri, jika kau menekannya dengan benar ... .”
Itu adalah salah satu pelajaran aneh dari ibunya, pelajaran tentang kode dan rahasia yang Hwa-young kecil anggap sebagai permainan. Chungmae. Jaringan ibunya. Di kehidupan sebelumnya, ia tidak pernah mengingat pelajaran ini sampai semuanya terlambat.
Dengan jantung berdebar kencang, Hwa-young berlutut. Tangannya yang gemetar bergerak di sepanjang tepi bawah meja rias, melewati ukiran bunga plum satu per satu. Satu, dua, tiga, empat ... lima.
Jari telunjuknya menekan kelopak bunga kelima yang terukir itu. Tidak ada apa-apa. Ia mencoba lagi, menekan lebih keras pada sudut yang berbeda. Sebuah klik yang hampir tak terdengar bergema di ruangan yang sunyi, dan sebuah panel kayu kecil yang tersembunyi di bawah meja bergeser terbuka, hanya selebar satu jari.
Napasnya tercekat. Itu nyata.
Dengan penuh antisipasi, ia merogoh celah sempit itu. Ia tidak merasakan gulungan kertas atau lempengan kayu. Jari-jarinya hanya menyentuh permukaan kayu yang kasar di bagian dalam.
Kekecewaan melandanya sesaat. Apakah ia salah ingat? Apakah tidak ada apa-apa di sana?
Ia tidak menyerah. Ia menarik tangannya keluar dan mengintip ke dalam celah gelap itu. Matanya butuh beberapa saat untuk beradaptasi dengan kegelapan. Dan kemudian, ia melihatnya.
Bukan pesan. Bukan peta.
Di sana, di permukaan kayu bagian dalam yang tersembunyi, dioleskan dengan hati-hati agar menyatu dengan serat kayu.
Setitik noda tinta hitam yang mengering. Bentuknya tidak acak. Itu adalah sebuah simbol. Simbol burung layang-layang dengan satu sayap terlipat. Kode pertama. Sinyal untuk mengaktifkan kontak pertamanya.