NovelToon NovelToon
Lentera Jelita

Lentera Jelita

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Romansa / Penyelamat
Popularitas:679
Nilai: 5
Nama Author: Alfianita

Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?


Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.


“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”


“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”

Ahtar tersenyum, lalu...

“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”


Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?


#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hadir Sesaat

...Mata yang indah dengan bulu mata yang lentik. Wajah yang cantik dengan kulit putih bersinar. Biarpun aku hanya menatapnya di galeri ponsel tetapi entah kenapa aku merasa... Kagum....

...****************...

Langkah kaki yang tadinya diambil cepat kini perlahan melambat. Ada rasa yang membuat Akhtar ragu untuk masuk ke ruang Jasmin.

"Tunggu sebentar, Suster Talia." Akhtar berdiri membelakangi pintu ruangan itu.

"Ada apa, Dok? Apa ada yang tertinggall?" tanya suster Talia sambil menautkan alisnya.

"Ah, tidak. Hanya saja saya sedikit... Nervous."

Akhtar merogoh saku snellinya dan mengambil ponselnya itu. Akhtar memeriksa penampilannya melalui pantulan kaca layar ponselnya.

'Ya Allah... Ternyata Dokter Akhtar begini amat ya.' Suster Talia mengangkat tangannya lalu menutup mulutnya dan menahan tawa.

...****************...

Akhtar duduk di ruangannya, sesekali dia menghela napas karena sudah bekerja semaksimal mungkin di hari pertamanya. Tak hentinya rasa syukur diucapkan, karena di hari pertama bekerja tidak ada kendala apapun. Berkomunikasi dengan pasien membuat Akhtar merasa tidak canggung lagi, bahkan beberapa pasien yang ditangani Akhtar merasa nyaman saat berkonsultasi maupun berobat.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga. Sekarang waktunya pulang," ujar Akhtar diakhiri senyuman yang mengembang.

Akhtar menutup laptopnya, setelahnya dia melepas snelli yang dikenakan selama bekerja tadi dan dia letakkan di lemari kerjanya. Setelah beranjak dari duduknya Akhtar menenteng tas kerjanya, lalu keluar dari ruangannya dan menuju ke tempat parkir.

“Dokter Akhtar sudah mau pulang sekarang?” tanya suster Talia.

“Iya,” jawab Akhtar dengan senyuman. “Suster Talia juga harus pulang sekarang. Jaga kesehatan itu penting, jangan terlalu berlebihan dalam memporsir pekerjaan. Kerjakan semampunya, saya sebagai dokter juga tidak menekan Suster Talia dalam bekerja. Kirimkan data pasien untuk besok lewat e-mail saya. Jadi sekarang siap-siap gih, pulang.”

“Ok, fine. Terima kasih sudah memberikan kerenggangan waktu untuk saya rileks, Dokter Akhtar.”

Suster Talia merasa senang menjadi asisten pribadi Akhtar. Selain kerja Akhtar yang cekatan dan profesional dalam operasi maupun hal lainnya, Akhtar juga baik hati.

Akhtar selalu menebar senyum saat bertemu pasien yang lainnya, petugas rumah sakit atau pengunjung rumah sakit yang kebetulan menunggu keluarga mereka.Bersikap ramah adalah sikap yang diterapkan Akhtar sebagai seorang dokter.

"Masih jam empat sore," ucap Akhtar sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Mampir sebentar ah ke pantai Portobello."

Akhtar memakai helm full face nya. Dengan kecepatan sedang dia melajukan motornya menuju ke pantai Portobello. Pantai yang terkenal akan pasir dengan warna keemasannya dan jalan panjang yang dipenuhi bangunan-bangunan tradisional bergaya victoria. Tempatnya pun tidak jauh dari pusat kota Edinburgh, hanya empat mil dari pusat kota.

Setelah sampai di pantai Akhtar berjalan menyusuri pesisir pantai, lalu dia berdiri di bibir pantai untuk menikmati senja sore itu.

'Aku harap Allah mempertemukan kita disini... Wahai jodoh. Seperti beberapa tahun lalu, hanya melalui kertas itu kamu menuliskan pesan untukku, dan kamu hadir walau sesaat.'

Senyum mempesona dari seorang Akhtar kembali mengembang. Sesaat ia merasa bahagia saat mengingat notes dari entah siapa yang berani menegurnya beberapa tahun lalu. Namun, detik berikutnya Akhtar merasa dilema.

"Tapi, siapa sebenarnya jodohku? Pemain biola itu..."

"Mata yang indah dengan bulu mata yang lentik. Wajah yang cantik dengan kulit putih bersinar. Biarpun aku hanya menatapnya di galeri ponsel tetapi entah kenapa aku merasa... Kagum.”

"Humaira... Sebenarnya dia wanita yang cantik. Tapi, hatiku menolak untuknya."

"Lalu... pemilik notes? Siapa dia? Perempuan atau laki-laki?"

Akhtar menghela napas berat, rasanya sulit disaat jodohnya belum terlihat akan hilalnya. Karena sudah semakin sore Akhtar memutuskan untuk pulang. Akhtar mengendarai motornya dengan kecepatan sedang sambil menikmati waktu bersantai dan melihat pemandangan sore kala itu.

****************

Akhtar tertegun sesaat. Setibanya di rumah dia melihat satu mobil yang tak asing baginya.

“Ini... Mobil Om Tristan.”

Akhtar berjalan gontai dan masuk ke dalam rumah. Tidak lupa dia mengucapkan salam.

“Assalamu'alaikum,” ucap Akhtar saat berada di ambang pintu.

“Wa'alaikumussalam.” Terdengar balasan dari dalam rumah, terdengar tidak jauh dari arah pintu.

Akhtar tersenyum ramah saat berada di ruang tamu. Akhtar langsung menyalami kedua orang tuanya, Om Tristan dan Tante Arumi.

‘Ternyata benar ada Om Tristan dan Tante Arumi. Tapi ada apa ya kok tumben bener sore begini bertamu. Apa...’ Akhtar bermonolog dalam hati.

“Bagaimana, Akhtar kerjanya hari ini?” tanya Om Tristan dan seketika membuyarkan lamunan Akhtar.

“Alhamdulillah, Om. Hari ini Allah memberikan kelancaran untuk Akhtar. Dan pasiennya juga tak rewel,” canda Akhtar diakhiri cengiran.

“Ya alhamdulillah, kalau kamu bisa beradaptasi dengan warga disini. Dan pastinya itu juga tidak mudah bagi kamu, yang tadinya ada di Medan terus berpindah ke Korea dan sekarang justru memilih bekerja di Edinburgh.”

“Ya begitulah, Om. Namanya juga hidup di negeri orang, pasti tidak lah mudah. Asalkan kita tetap bersuara, pasti ada jalan. Seperti kata pepatah. Lebih baik bertanya daripada sesat di jalan,” ucap Akhtar yang diselingi dengan candaan.

“Tapi ada yang kurang, Akhtar. Ca... Lon istri.”

Deg!

Sejenak jantung Akhtar seakan berhenti berdetak, tapi dengan kewarasannya dia mengalihkan obrolan itu.

“Ha... Ha... Ha...” Akhtar tertawa. “Masalah jodoh itu bisa diatur nanti, Om. Pernikahan itu ibadah terpanjang, jadi Akhtar tidak mau bermain-main dengan pernikahan. Ya sudah, Om. Akhtar mau mandi dulu, gerah ini bau obat pula.”

Tanpa mengurangi rasa sopan Akhtar undur diri dari obrolan itu.

...****************...

Akhtar meletakkan tas kerjanya di meja belajar yang ada di kamarnya. Setelah itu dia melepas seluruh pakaiannya dan langsung menuju ke kamar mandi.

Di bawah kucuran air yang membasahi seluruh tubuhnya Akhtar kembali mengingat obrolan saat di ruang tamu tadi.

“Jangan sampai Om Tristan dan Abi membicarakan perjodohan antara aku dengan Humaira. Sungguh... itu menyiksa kewarasan ku.”

“Lagipula aku tak mau menikah tanpa ada rasa cinta yang membuatku salah langkah. Dan aku juga tidak merasakan debar cinta saat pertama kali bertemu dengan Humaira. Kecuali saat aku menatap gadis pemain biola itu, ada rasa... yang tak nyata. Tapi... bikin nagih.”

Setelah selesai mandi Akhtar hanya memakai kaos oblong dan celana kolor saja. Pakaian santai yang biasa dia pakai hanya di rumah saja.

Saat keluar dari kamar tanpa sengaja Akhtar bertemu dengan Abinya yang akan pergi ke kamar Arjuna.

“Abi, mau kemana?” tanya Akhtar basa-basi.

Bukannya menjawab pertanyaan Akhtar Abinya itu justru memberikan pelototan saat melihat penampilan Akhtar.

“Masuk kamar lagi dan ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan. Cepat!” titah Abi Yulian.

“Lah memangnya kenapa? Percaya saja Bi, Bunda sama Mbak Cahaya tidak akan tergoda. Santai...” ucap Akhtar diakhiri cengiran.

“Iya, Abi percaya jika Bunda dan Mbak mu itu tidak akan tergoda. Tapi... Ada Humaira.”

Akhtar terdiam, pikirannya seakan tidak bisa fokus.

“Maaf, ada siapa tadi kata Abi?” tanya Akhtar meminta Abinya untuk mengulang nama yang disebut tadi.

“Ada... Hu... Ma... Ira. Masih muda kok budek. Dokter pula.”

Hik's!

Akhtar meraba dadanya mendengar ucapan Abinya yang tak sopan sudah mengatai putranya sendiri.

Entah ada apa dengan Akhtar, antara tidak fokus atau budek seakan tak ada bedanya.

Akhtar masuk lagi ke kamarnya dan memakai sarung, hanya sarung saja yang dianggap sopan. Biarkan kaos oblong menjadi pakaian casualnya di dalam rumah.

Mendengar nama Humaira membuat Akhtar mendadak malas keluar dari kamarnya. Dia pun hanya memilih untuk membuka handphone nya dan menekan galeri. Dibuka nya foto gadis pemain biola itu.

“Aku nggak tahu apa yang membuatku merasa betah memandangi fotomu wahai gadis asing. Dan ya... Aku juga tahu jika memikirkanmu akan membuatku masuk dalam jurang zina hati dan zina mata. Maka dari itu aku berdo'a kepada Allah agar menghadirkan mu dalam mimpi walau hadir sesaat.”

“Dan jika kita bertemu di dunia nyata, aku akan segera melakukan khitbah untukmu. Karena aku yakin jantungku yang berdetak saat pertama kali melihat fotomu itu sebagai tanda kalau kita... berjodoh.”

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!