#ruang ajaib
Cinta antara dunia tidak terpisahkan.
Ketika Xiao Kim tersedot melalui mesin cucinya ke era Dinasti kuno, ia bertemu dengan Jenderal Xian yang terluka, 'Dewa Perang' yang kejam.
Dengan berbekal sebotol antibiotik dan cermin yang menunjukkan masa depan, yang tidak sengaja dia bawa ditangannya saat itu, gadis laundry ini menjadi mata rahasia sang jenderal.
Namun, intrik di istana jauh lebih mematikan daripada medan perang. Mampukah seorang gadis dari masa depan melawan ambisi permaisuri dan bangsawan untuk mengamankan kekasihnya dan seluruh kekaisaran, sebelum Mesin Cuci Ajaib itu menariknya kembali untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Memasuki Dunia Tirani Harem
“Xian!” teriak Kim, sementara Bibi Wu bergerak siap menyerang. Tubuhnya membeku di balik pohon magnolia di halaman tersembunyi Paviliun Cuci Istana—jantungnya berdetak liar di bawah lapisan sutra yang kotor dan berbau cuka. Dia melihat bayangan Bibi Wu, pemimpin senior Paviliun Cuci, mengendap dari celah tirai basah untuk menyergapnya.
“TENANG!” seruan berat Jenderal Xian terdengar dari balik dinding. Xian telah tiba sesuai janji rahasia, terlindungi oleh kegelapan, dan tidak menduga serangan kejutan Bibi Wu. Wanita itu kaget dan membeku—tidak berani melawan otoritas Dewa Perang yang mutlak menggetarkan Paviliun itu. Dia mundur, takut, dan menghilang ke bayangan.
Kim memanfaatkan detik ketegangan itu, menenangkan dirinya sebelum berlari tanpa suara ke tumpukan cucian. Ia berlutut, bersembunyi, lalu meraih cermin saku ajaibnya sambil membungkuk penuh hormat pada Xian. “Tuan Jenderal, hamba telah menunggu di sayap timur laut—tempat paling aman. Bibi Wu telah melihat tindakan hamba, jadi kita wajib pindah ke lokasi pertemuan darurat.” Ia memikul Tas Mesin Ajaib yang disamarkan dalam lipatan sutra.
Xian berjalan tanpa suara ke tempat persembunyian, di mana ia meninggalkan kudanya. Napasnya berat—ia pasti baru saja tiba dari acara formal Istana. “Kau wajib mengambilnya sekarang, Kim—jantungku hampir terhenti. Bagaimana berani memanggil namaku di hadapan Bibi Wu? Dia sangat brutal, dan kau terlihat begitu kaku.” Xian menarik tubuh Kim, melihat pakaiannya yang sedikit robek dan lukanya yang terbuka.
“Bibi Wu adalah utusan Putri Yong Lan dan Permaisuri Hwang—mereka sudah bersekutu untuk menggerogoti Istana dari belakang!” ujar Kim dengan suara serak. “Hamba mendengar bisikan dari pelayan Harem Putra Mahkota tentang racun baru. Hamba juga diserang oleh Jenderal Lei yang mencuri Giok Naga Keluarga.”
Xian kaku, zirah sutra mahalnya terlihat kusut. Tangannya dingin menangkup pipi Kim. “Hwang? Konspirasinya telah mencapaiku! Aku menduga Perdana Menteri Yong, bukan Bibi Wu. Apa bisikan yang engkau dengar? Apakah mereka meracunimu? Sudah disiksa?”
“Penyiksaan mental dan fisik—tanganku lecet karena gesekan kain kasar. Tapi hamba tahu rencana Yong Lan untuk menghancurkan nyawa hamba!” Kim menjelaskan, penuh amarah. Xian meraba tangannya—melepuh merah yang terlihat bukan hanya luka, melainkan trauma kulit mutlak. Ia menarik Kim lebih dalam ke kegelapan.
“Berikan seluruh rincian, Gadis Laundry,” pinta Xian, memberikan cokelat dan air modern yang Kim minum dengan rakus. “Kami wajib memulainya dengan Selir Yen—istri kedua Pangeran Mahkota Hao yang paling agung. Dia sering sakit, dan semua tabib Istana gagal mendiagnosanya. Bibi Wu menyebarkan bisikan bahwa Yen tidak dapat hamil, sehingga tahta Hao akan lemah di hadapan Hwang.”
“Permaisuri Hwang menginginkan putranya sendiri, Pangeran Wong, menjadi penerus mutlak! Dia tidak menyukai keanggunan Hao. Hwang, Yong, dan Yong Lan adalah tiga kekuatan kotor yang terpadu di Istana!” lanjut Kim. “Hamba wajib membantu Yen bertahan—hanya dia yang dapat menjamin kestabilan Dinasti. Racunnya, yakin hamba, ada di pakaian sutranya.”
Xian mengangguk, tidak asing dengan kebusukan harem. Kakaknya, Hao, adalah sosok baik namun naif terhadap intrik. “Harem itu adalah racun sejati—bukan sekadar politik. Apakah Yen diracuni? Itu adalah kejahatan! Engkau adalah petugas laundry yang berhasil mengamati rahasia yang aku tidak dapat akses. Apa yang bisa kita lakukan tanpa otoritas suci?”
“He harus tetap tenang—hamba tidak ingin menyebarkan keanehan pada dia. Hamba butuh surat perintah umum dari Kediaman untuk membersihkan pakaian di Sayap Putra Mahkota Hao—untuk mendapatkan otoritas tertinggi di antara Bibi dan selir.” Xian menghela napas. “Surat itu mustahil didapatkan secara legal—Hao tidak mengizinkannya. Ini adalah zona terlarang. Aku akan merobek semua zirah Hwang!”
“Tidak! Hamba hanya butuh surat bodoh yang diselipkan di bawah Tudung Naga Kaisar. Tuan harus menuruti permintaanku—perang laundry terbaik adalah perang tanpa darah dan zirah!” Xian menyerah, mengetahui Kim sangat pragmatis. Ia menarik pistol obat bius dari zirah sutra.
“Aku akan menugaskan tugas rahasia kepadamu—kita bertemu di sini dalam tujuh hari. Jika tidak ada sandi melalui Jemala-ku, aku akan datang dengan pasukan kavaleri. Jaga luka mu—aku akan mengirim krim salep modern.” Xian meraih tangan Kim, memaksanya menyentuh cincin berlian di jarinya. Mereka berciuman—ciuman perpisahan di antara dinding kotor dan pohon magnolia.
Xian harus kembali untuk menanggapi kekacauan Lei dan intrik Yong. Ia menunggangi kudanya, berseru: “Aku akan mengakhiri pekerjaan kotor itu—aku tidak akan menikah, hanya memiliki engkau!” lalu pergi tanpa jejak. Kim tahu ia aman hanya selama Xian mencintainya.
Ia berjalan cepat ke gudang cuci yang kini terasa menakutkan. Bibi Wu kembali dengan tatapan tajam. Kim berakting lemah dan patuh. “Gadis Laundry! Engkau berani melarikan diri, menyentuh barang terlarang, dan menguping bisikan suci kami! Tunjukkan keahlianmu!” seru Bibi Wu, mengarah pada tumpukan sutra Harem yang sudah Kim sucihkan.
Kim menunduk. “Hamba sudah menyelesaikan semua—semua sutra disucikan dengan metode terbaik.” Bibi Wu mendekati, mencium bau yang terlampau harum dan segar. Mustahil dia menghasilkan cuci sebersih itu tanpa residu kimia. Ia melihat tangan Kim yang lecet—harga mati yang dia senangi.
“Engkau mencucinya tanpa air hangat—kebodohan! Sutra terbaik harus dicuci dengan air mata perawan! Kamu akan menghancurkannya—bersihkan lagi! Aku menolak keahlian kotor ini!” Bibi Wu menyerangnya dengan amarah, karena strateginya melihat Kim menderita gagal. Kim terlalu pandai mencuci.
Kim menahan rasa sakit, menyadari kekejaman Bibi Wu lebih mental daripada fisik. Ia kembali ke Ruang Ajaib untuk mengambil Sabun Nano super konsentrat. “Saya akan menyucikan seluruh kebodohan Istana—tidak ada kata menyerah! Xian menungguku!”
Malam demi malam, Kim disiksa fisik—tangan dan kulitnya menjadi merah, lepuh bertambah. Namun ia terus bekerja, membersihkan dan mengamati. Setiap cucian dari sayap Selir Yen memiliki ciri aneh: pakaian dalam Yen berbau bunga manis dan pahit—bau racun yang Kim pernah cium di Gudang M19.
Cho, pelayan tua, mendekati dengan rasa iba dan kekaguman. “Tuan membuat kami mengagumimu—stamina brutalmu luar biasa. Bibi Wu menunggumu berbuat kebodohan untuk memotong lidahmu. Dia bekerja untuk Hwang, yang menyusun skema menghancurkan garis keturunan Kaisar.”
Kim menghela napas—sudah tahu Hwang juga terlibat dalam permainan harem yang kotor. Ia menyelinap ke Tas Mesin Ajaib untuk mengambil Salep Steril Anti-Bengkak dari dunia modern, mengoleskannya di tangannya sehingga rasa sakit lenyap. “Perjuangan belum selesai,” bisiknya, siap dengan misi utamanya: mengungkap racun dan menghancurkan Bibi Wu.
Kim melihat tumpukan cucian Selir Yen—bau parfumnya tajam dan manis. Ia yakin itu adalah Racun Kesuburan yang Hwang sebarkan agar Hao tidak memiliki penerus. Ia mengambil pipet dan bubuk natrium hidrogen fosfat dari Tas Mesin Ajaib untuk mengujinya. “Kami akan menang, Xian—hanya tinggal mencari tahu di mana Bibi Wu menempatkannya!”
Tepat ketika Kim meraih pipet, ia berbalik—melihat Bibi Wu berdiri tegak di ambang pintu, wajahnya penuh amarah mutlak. Tongkatnya di udara, mata menunjukkan janji. “KIM! KAMU AKAN DIBUNUH SEKARANG!” serunya, lalu meraih belati tipis di bawah pakaiannya.
Kim tersentak—Bibi Wu adalah pembunuh bayaran, bukan pelayan biasa! Wanita itu melompat, mengarahkan belati ke jantungnya. Kim tidak sempat bergerak. “Xian! Sembuhkan lukaku! Butuh bantuan Abad 21—sekarang!” jeritnya, sementara cincin berlian di tangannya terasa sangat dingin. Belati itu sudah dekat di kulitnya.