Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.20 : Permintaan Sri Lestari
"Aden ! Aden! Buka pintunya!," bi Mirna mengetuk-ngetuk pintu Cakra.
Cakra samar-samar mendengar ketukan itu. Matanya perlahan terbuka. Rasa kantuknya masuk terasa.
Dengan langkah malas, Cakra membuka pintunya,
"Ada apa Bi?,"
"Aden.. Ibu..," bi Mirna tersekak
"Kenapa ibu?,"
"Itu.. Ibu... Itu...," Cakra mengernyitkan keningnya. Lama menunggu bi Mirna bicara, Cakra keluar dari kamar menuju kamar ibunya.
"Astagfirullah, ibu!," Cakra membuka lebar pintu kamar ibunya.
Sri Lestari di atas tempat tidur dengan tangan yang terkulai berdarah.
"Bi..panggil mantri. Bi..mantri, Bi.. teriak Cakra.
Cakra menepuk-nepuk pipi ibunya,
"Bu..bangun.. Ibu....kenapa harus begini, Bu...,"
Wajah Sri Lestari pucat pasi.
**
Dhyas perlahan membuka matanya. Matahari pagi yang menembus ventilasi kamarnya membangunkannya pagi itu. Semalam dia demam tinggi. Namun tidak berlangsung lama. Ilmu Kanuragan yang dimilikinya membuat sistem imunnya kebal terhadap radang. Kalau pun demam, itu hanya beberapa saat saja.
"Eh, sudah bangun. Ibu baru mau bangunkan loh," Nyai Rindi masuk membawa sepiring bubur dengan sebutir telur ayam kampung, "Makan dulu lalu minum obat,"
"Aku sudah sembuh, Bu. Semalam itu radang biasa," Dhyas bangun dan duduk di ranjangnya.
"Yas, tolong dengar ibu. Untuk hari ini istirahat dulu. Jangan dulu ke mana-mana. Ayah dan ibu belum mengizinkan kamu keluar dulu apalagi beraktivitas di padepokan,"
Dhyas melenguh.
**
Mantri memberi perban melingari pergelangan tangan Sri Lestari,
"Jangan dulu kena air hingga lukanya kering. Perbannya diganti dua hari sekali supaya tidak infeksi," ucap Mantri.
"Baik, mantri," Cakra sedari tadi berdiri di samping ranjang ibunya.
Sri Lestari sudah sadar tapi tatapannya kosong. Wajahnya lesu.
"Saya pamit dulu. Nanti kalau sebentar demam, dosis obat antibiotik nya di kali dua saja," pungkas mantri.
Cakra mengangguk.
Setelah memastikan mantri sudah pergi, Cakra mendekati ibunya. Dia duduk di tepi ranjang ibunya,
"Kenapa harus begini, Bu," Cakra menatap ibunya yang membuka matanya tapi entah menatap apa.
"Ibu benar-benar hanya memikirkan diri sendiri. Bunuh diri bukan jalan keluar terbaik. Ibu tidak bisa lari dari masalah," keluh Cakra.
"Ibu tidak mau miskin. Ibu tidak mau menderita," Sri Lestari mulai terisak, "Tidak ada yang sayang ibu lagi. Ayah kamu, kamu, tidak pernah benar-benar menyayangi ibu.
Cakra mendengus.
"Kalian tidak sayang ibu. Biar ibu mati saja. Kalian tidak tahu betapa kesepiannya ibu. Dan sekarang ibu harus menerima kenyataan ibu harus hidup miskin. Ibu pilih mati. Mati. Mati saja," Sri Lestari memukul-mukul ranjangnya dengan tangan yang tidak luka.
"Ibu, hentikan. Jangan begini," Cakra mengusap wajahnya dengan kasar, "Apa maunya ibu?,"
"Ibu hanya minta kamu ke Belanda. Ikuti permintaan ayahmu untuk sekolah perwira. Lakukan pendekatan langsung pada ayah agar dia tidak menceraikan ibu,"
Cakra memejamkan matanya sesaat. Kehabisan kata-kata menghadapi ibunya.
"Kenapa tidak ibu saja? Ibu kan istrinya ayah. Kenapa harus aku yang ke sana,"
"Kamu memang benar-benar tidak sayang ibu. Kamu mau menjerumuskan ibu di jurang? Ibu ke sana dan harus bertemu istri pertama ayahmu, begitu?," suara Sri Lestari bergetar.
Cakra mendengus lagi. Situasi yang tidak mengenakan sama sekali.
"Kalau memang kamu tidak mau ke sana. Tidak usah. Percuma juga memaksamu. Tapi jangan sesali kalau ini adalah kali terakhir kamu bicara pada ibu," Sri Lestari mulai mencoba membuka perban tangannya.
"Eh, ibu.. apa-apaan," Cakra menahan tangan ibunya, "Kenapa sih harus begini," suaranya bergetar.
"Biarkan ibu mati! Kamu tidak sayang ibu! Kamu tidak mau melakukan hal semudah ini untuk ibu!,"
"Bukan begitu, Bu. Tapi...,"
"Iya, begitu. Kamu tidak sayang ibu!,"
"Bukan, Bu,"
"Iya. Kamu tidak peduli ibu mati atau hidup!,"
"Bukan, Bu....,"
"Iya. Ibu tidak penting bagi kamu!,"
"Baik, aku pergi!," Cakra berteriak putus asa.
Sri Lestari terdiam sejenak,
"Apa katamu?,"
"Aku pergi. Aku pergi. Puas Ibu?," Cakra berdiri dari ranjang ibunya dan berlari keluar.
Bi Mirna mengucapkan istighfar di dalam hatinya. Tidak pernah sehari pun dia melihat ibu dan anak ini tanpa perdebatan.
**
Cakra meninju udara dengan kepalan tangan. Dia bingung harus bagaimana. Hatinya benar-benar kalut. Pergi ke Belanda adalah hal yang tidak ingin dia lakukan. Tapi menghadapi ibunya dia bisa apa.
Bi Mirna menemui Cakra di halaman belakang itu.
"Aden..," panggil bi pelan.
Cakra menoleh. Ujung matanya basah tapi dia berusaha agar air matanya tidak jatuh.
"Aden baik, kan? Bibi buatkan teh manis? Aden belum sarapan," tanya bi Mirna lembut.
"Tidak usah, Bi. Aku hanya butuh udara. Aku hanya ingin bernapas,"
Bi Mirna menunduk,
"Bibi tahu ini berat untuk aden. Andai bibi menggantikan aden ke Belanda akan bibi lakukan,"
"Aku tidak minta dilahirkan, Bi. Kalau bisa memilih, aku tidak akan memilih ibu untuk jadi ibuku," perkataan yang keluar dengan nada yang begitu lirih.
Bibi menyentuh lengan Cakra,
"Bibi tahu, aden. Bibi tahu aden sayang sama ibu. Kadang kita sebagai anak harus melakukan permintaan orang tua atas apa yang kita tidak suka dan itu menyakitkan,"
Bi Mirna menjeda,
"Tapi... Allah itu adil. Dia tidak hanya berpihak pada orang tua. Dia juga menyayangi anak-anak. Saat aden melakukan ini meskipun terpaksa, Allah memperhitungkan nya. Allah melihat aden,"
Satu bulir air mata Cakra jatuh di pipi.
"Allah sayang aku, bi? Kenapa hidupku akhir-akhir ini berat?,"
"Aden, bibi tidak pandai menafsir Al-Qur'an. Yang bibi tahu, ujian hidup itu membuat kita kuat. Bukan untuk menghancurkan kita. Jika Allah menguji kita berarti Allah sedang memperkuat hidup kita. Itu yang bibi tahu,"
Cakra menatap bi Mirna,
"Bi..aku bisa peluk?," suaranya lirih.
Bi Mirna membuka kedua tangannya. Cakra langsung memeluk Bi Mirna. Tangisan pelannya pecah di sana.