Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: UJIAN TERBERAT: DOA YANG BELUM TUNTAS DITULIS
Kapal yang Melintas Lagi
Bara berhasil menenangkan dirinya setelah ancaman air pasang yang hampir menenggelamkan tempat tinggalnya. Ia telah melewati fase frustrasi dan kemarahan setelah kapal kargo kecil melintas tanpa melihatnya. Kini, ia hanya ingin kembali ke rutinitas yang telah ia tetapkan: salat, mencari makanan, dan menulis doa musafirnya di Cadas Sunyi.
Ia berjalan ke arah batu datar yang menjadi mejanya. Matanya yang cekung menatap lautan, tidak lagi dengan harapan liar, tetapi dengan kepasrahan yang kering.
Namun, lautan menantangnya lagi.
Di kejauhan, sebuah kapal melintas. Kali ini, kapal itu lebih besar daripada yang sebelumnya, sebuah kapal penangkap ikan berukuran sedang, dan ia tampak melaju lebih dekat ke batas luar pulau.
Bara hanya menatap. Ia tidak melambaikan tangan, ia tidak berteriak. Ia telah belajar dari kegagalan yang menyakitkan bahwa ikhtiar fisik sering kali berakhir dengan kekecewaan yang lebih besar daripada kelaparan. Ia berusaha keras berpegangan pada Tawakal Murni, beriman tanpa melihat hasil.
Ya Allah, jika Engkau mengizinkan, biarkan mereka melihat. Jika tidak, aku terima.
Getaran harapan kecil, yang ia sangka telah mati, kembali menghangat di dadanya. Harapan itu terasa seperti pengkhianatan kecil terhadap prinsip Tawakal yang kini ia anut. Ia membenci getaran itu, karena ia tahu, cepat atau lambat, getaran itu akan diganti dengan rasa sakit.
Kapal itu terus melaju. Begitu dekat hingga ia bisa samar-samar mendengar suara mesinnya, namun terlalu jauh untuk melihat sosok manusia di atas geladak.
Seperti kapal sebelumnya, kapal penangkap ikan itu bergerak menjauh, melewati pulaunya, semakin lama semakin mengecil, hingga akhirnya lenyap ditelan lengkungan horizon.
Bara duduk, membiarkan debu pasir halus menempel pada lukanya di telapak tangan. Pengabaian yang kedua ini terasa lebih menyiksa daripada yang pertama, karena kali ini Bara sudah tahu rasa sakitnya.
Nasihat Pedih dari Wali Allah
“Kamu berdoa untuk pulang, Bara.”
Suara itu datang tanpa peringatan, tegas, tenang, dan sangat dekat. Bara tidak terkejut, karena ia tahu siapa yang berbicara. Syeikh Tua, Wali Allah, berdiri di belakangnya. Bara tidak mendengar kedatangan Wali Allah, padahal ia telah berada dalam mode kewaspadaan penuh. Tongkat Musafir Syeikh Tua berjarak dua jengkal dari Cadas Sunyi, tidak menyentuh batu kapur sama sekali.
Bara berbalik, tangannya memegang Buku Doa Musafirnya. “Ya Syeikh. Aku tidak melambaikan tangan. Aku sudah mencoba Tawakal.”
Wali Allah tidak menatap Bara, pandangannya lurus ke arah lautan yang baru saja menelan kapal.
“Tawakal sejati bukan tentang tidak berikhtiar, Nak. Tawakal sejati adalah tentang ikhlas terhadap hasil, bahkan ketika harapan itu nyata.” Syeikh Tua memejamkan mata. “Kamu kecewa. Kamu marah. Itu berarti kamu belum mencapai ikhtiar tertinggi.”
Bara menunduk. “Lantas, apa lagi yang harus aku lakukan? Aku sudah menulis doa untuk Rina, agar ia tenang di rumah. Aku sudah menulis doa agar Arka merindukanku, dan Divine Echo terjadi. Aku bahkan sudah menulis doa terpanjang untuk Nirmala, agar ia tahu ia penting.”
“Doamu yang terpenting, sudahkah selesai ditulis?” Syeikh Tua akhirnya menatap Bara. Tatapan itu menusuk ke inti jiwanya. “Kamu belum siap menghadapi janji di rumah, Nak. Pulang adalah ujian yang lebih berat daripada tersesat di sini.”
“Ujian apa?” Bara bertanya, suaranya serak. “Aku hanya ingin kembali dan memeluk mereka.”
“Pulang adalah ketika kamu harus menjelaskan mengapa kamu pergi, mengapa kamu gagal menjadi pelindung. Kamu harus menjelaskan trauma yang kamu bawa, dan mengapa doamu terasa lebih nyata daripada kehadiranmu. Kamu belum siap,” jawab Syeikh Tua. “Jika kamu pulang sekarang, kamu akan membawa kehancuran yang lebih besar.”
Nasihat ini menghancurkan sisa-sisa harapan fisik Bara. Ia menyadari ujiannya belum selesai karena ia belum mencapai tingkat Ikhlas Tertinggi. Ia masih bersembunyi di balik Tawakal untuk menghindari tanggung jawab emosional yang menantinya di rumah.
Syeikh Tua melanjutkan, suaranya kini melunak. “Doa untuk Nirmala. Apakah itu sudah sempurna?”
Kertas Kosong dan Pensil Habis
Pertanyaan Wali Allah memicu Bara. Ia harus kembali menulis. Doa untuk Nirmala adalah yang terpanjang dan terpenting, yang ia tulis setelah ia menyadari luka batin putrinya, yaitu perasaan tidak penting.
Bara mengambil pensilnya. Pensil itu kini terlalu pendek. Hanya menyisakan beberapa milimeter ujung grafit yang tajam. Saat ia mencoba menulis, ujungnya patah, menghasilkan bunyi krak yang memekakkan di tengah keheningan pulau.
“Tidak,” bisik Bara, panik.
Ia memeriksa seluruh kantong kemejanya yang robek. Ia mengobrak-abrik Buku Doa Musafirnya. Beberapa lembar kertas telah rusak karena air laut, ia sudah menulis berulang kali di halaman yang tersisa. Tapi kini, tidak ada lagi kertas kosong yang utuh. Kantongnya kosong, tidak ada pensil lain, tidak ada pena, tidak ada batu tulis, tidak ada apa-apa.
Inilah krisis Bara yang sesungguhnya. Ia mencapai Titik Nol Alat Tulis.
“Kau telah diuji oleh lapar, oleh haus, oleh bahaya laut. Kini, kamu diuji oleh ketiadaan sarana,” kata Syeikh Tua, yang masih berdiri di sana, seperti Patung Tawakal. “Lalu, apa ikhtiar terakhirmu? Apakah Tawakalmu akan berhenti hanya karena pensil patah?”
“Aku harus menulis doa itu!” Bara memohon. “Doa itu harus sampai, agar ia tahu aku mencintainya!”
“Lalu apa ikhtiarmu, Musafir?” Wali Allah mengulangi.
Bara menatap Buku Doa Musafirnya, lalu menatap telapak tangannya yang terluka dan baru saja kering setelah pendarahan kecil karena ia memukul cadas sebelumnya.
Tinta. Aku butuh tinta.
Mimpi Buruk dan Pilihan Logis Rina
Sementara Bara berjuang melawan Titik Nol Alat Tulis, ribuan kilometer jauhnya, Rina sedang berjuang melawan Titik Nol Finansial.
Malam itu, Bara tertidur dalam keputusasaan singkat, di ambang pingsan karena kelelahan emosional. Ia mengalami mimpi buruk. Ia tidak melihat dirinya sendiri, ia hanya melihat air laut. Air laut yang gelap, dingin, dan menyeret Rina ke dalam kegelapan. Ia berteriak dalam tidur, tetapi tidak ada suara yang keluar. Itu adalah manifestasi ketakutan terbesarnya: ketidakberdayaan total untuk melindungi keluarganya.
Di rumah, Rina terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdebar kencang, ia merasakan dingin yang aneh, diikuti oleh rasa takut yang mencekik, seolah ia baru saja lolos dari bahaya air. Ia melihat Mala tidur dengan tenang di kamar sebelah.
Ia turun ke dapur dan mematikan lampu. Rumah terasa terlalu sunyi.
Tekanan finansial ekstrem menimpa Rina setelah ia menghabiskan sisa uangnya untuk kebutuhan Arka dan membayar sebagian kecil tagihan yang tertunda (setelah menerima bantuan anonim sebelumnya). Ia harus mengambil keputusan logis yang sudah lama ia hindari: menjual mobil mereka.
Rina menatap kunci mobil di meja. Itu adalah warisan terakhir yang ditinggalkan Bara.
Aku tidak bisa, Bara. Rina menangis tanpa suara, memeluk dirinya sendiri di kegelapan dapur. Aku tidak bisa memotong tali terakhir yang menghubungkan kita.
Beberapa jam kemudian, saat matahari terbit, Rina menelepon Bapak Herman, saudaranya, untuk meminta saran.
“Herman, aku harus menjual mobil,” kata Rina dengan suara datar. Ia tidak ingin lagi terlihat lemah.
“Akhirnya kau waras, Rina. Kenapa tidak dari dulu?” tanya Herman di seberang telepon. “Kau hanya menunda-nunda kerugian. Aku punya pembeli. Dia mau melihat mobilnya hari ini.”
“Jangan bicara seolah aku menjual Bara, Herman. Aku hanya mencoba bertahan demi anak-anak,” balas Rina, suaranya tajam.
“Ya. Bertahan dengan logika. Keajaiban tidak membayar utangmu, Rina. Ingat Bunda Ida? Dia benar. Kau fokus pada ‘mukjizat’ Arka, tapi uangmu habis,” Herman menekankan.
Titik Nol Alat Tulis
Setelah panggilan telepon yang menyakitkan dengan Herman, Rina merasa seperti seluruh energi spiritualnya terkuras. Ia sudah melewati batas kewarasan dan kini hanya ingin menyerah pada fakta yang keras: Bara mungkin tidak akan kembali, dan ia harus mengurus dirinya sendiri.
Rina mengemudi dalam keheningan menuju pusat kota untuk bertemu dengan calon pembeli mobil. Tekanan di dadanya tidak tertahankan.
Tuhan, jika Engkau memang ingin Bara pulang, Engkau tidak akan biarkan aku menjual mobil ini.
Kalimat itu terulang di benaknya. Ia tidak lagi berdoa dengan Tawakal, melainkan menantang takdir, meminta bukti nyata karena ia sudah lelah berpegangan pada gema samar dan keajaiban mikro.
Di saat yang sama, Bara masih duduk di Cadas Sunyi. Ia mendengar semua yang dikatakan Syeikh Tua. Pensilnya patah, kertasnya habis. Ia memiliki doa terpenting yang harus diselesaikan untuk menyembuhkan luka Nirmala, tetapi ia tidak memiliki sarana fisik.
Ia mencoba menggoreskan ujung batu karang yang runcing ke halaman kosong di Buku Doa Musafirnya. Goresan itu hanya menghasilkan serbuk kapur putih. Tidak permanen. Tidak cukup kuat.
Bara merasa frustrasi hingga air matanya mengering. Ia kembali menatap lautan. Kini, ia sudah sepenuhnya sendiri. Wali Allah telah menghilang setelah menyampaikan nasihat pedihnya.
Apa ikhtiar terakhirmu? Apakah Tawakalmu akan berhenti hanya karena pensil patah?
Kata-kata Wali Allah bergema. Bara tahu, ikhtiar tertingginya bukanlah membangun rakit, bukan mencari sinyal, dan bukan menunggu kapal melintas. Ikhtiar tertingginya adalah menyelesaikan doa untuk Mala.
Ia menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam. Bara mengingat doa yang ia harus tulis: “Ya Allah, jangan biarkan Nirmala merasa sendirian. Izinkan ia tahu, ia adalah prioritas di tengah badai ini.”
Doa ini adalah janji terberatnya, penebusan rasa bersalahnya karena terlalu fokus pada perjuangan Arka di masa lalu.
Tawakal Murni menuntut lebih. Ia harus melepaskan ketergantungan pada sarana duniawi sepenuhnya.
Bara melihat telapak tangannya yang terluka akibat pukulan frustrasi pada cadas sebelumnya. Lukanya telah mengering, tetapi ia bisa memaksanya terbuka.
Ia mencengkeram buku itu, Pandangannya tertuju pada halaman kosong terakhir. Aku harus menulis dengan tinta yang tidak akan pernah hilang.
Negosiasi Terakhir dengan Logika
Rina tiba di tempat pertemuan. Pembeli mobil itu adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan lugas, ditemani Bapak Herman.
“Mobil ini dirawat dengan baik, Pak,” kata Herman, mengambil alih pembicaraan. “Tinggal Ibu Rina mau melepas harga saja.”
“Harga sudah saya tentukan, Herman,” potong Rina, ia ingin segera mengakhiri drama ini.
Pembeli itu, Bapak Wijaya, menatap Rina. “Saya mengerti Bu, ini bukan hanya soal harga. Ini soal kenangan. Tapi kenyataan finansial menuntut pilihan logis.”
Rina merasakan Bapak Wijaya berbicara menggunakan logika Bunda Ida, menguji seluruh kepercayaannya pada sesuatu yang tak kasat mata.
“Kenyataan logis saya adalah: saya punya dua anak. Saya tidak punya suami, dan saya tidak punya uang lagi,” ujar Rina, jujur hingga terasa menyakitkan. “Saya menjual mobil ini untuk membayar tagihan rumah sakit Arka yang tertunda dan menghindari tuntutan Bapak Harjo.”
Herman menghela napas. “Rina, jangan terlalu emosional. Ini bisnis.”
“Ini bukan bisnis, Herman! Ini adalah menyerah!” Rina membalas, suaranya bergetar. “Saya menunda menjual ini karena saya merasa, jika mobil ini pergi, Bara benar-benar tidak akan pernah pulang.”
Bapak Wijaya diam sejenak, menatap mobil itu, lalu kembali menatap Rina. “Jika memang takdirnya mobil ini harus dijual, Bu, itu tidak akan mengubah takdir suami Anda untuk pulang. Logika dan takdir tidak selalu bertentangan. Kadang, logika adalah ikhtiar yang harus kita tempuh agar takdir bisa bergerak.”
Kata-kata Bapak Wijaya—bahwa logika dan takdir tidak selalu bertentangan—adalah tamparan keras. Rina menyadari ia telah menggunakan Tawakal untuk menghindari tanggung jawab logisnya.
“Baik, saya setuju dengan harga yang Anda tawarkan,” kata Rina, mengangguk pasrah. “Saya akan menjualnya besok pagi. Hari ini, saya butuh satu malam lagi untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Herman mengangguk puas. Bapak Wijaya pamit, memberi Rina waktu.
Rina berjalan kembali ke mobilnya, ia duduk di kursi kemudi dan memeluk setirnya. Ia menangis, tetapi kali ini, tangisnya adalah tangisan kelegaan karena telah membuat keputusan sulit, meskipun menyakitkan. Ia siap menyerah pada logika.
Rina mengemudi pulang. Ia siap menghubungi pembeli untuk menyelesaikan transaksi penjualan keesokan harinya. Ia berpikir, “Tuhan, jika Engkau memang ingin Bara pulang, Engkau tidak akan biarkan aku menjual mobil ini.”
Tepat saat Rina menutup telepon setelah memastikan janji temu besok pagi, di pulau yang jauh, Bara menyelesaikan persiapannya.
Ia menatap langit, mengambil napas, dan menusuk lukanya yang kering dengan kuku, memaksanya terbuka. Darah kental dan hangat menetes ke ujung jarinya.
Bara melihat ke halaman kosong terakhir Buku Doa Musafirnya. Doa Mala harus ditulis sekarang. Inilah Titik Nol Takdir Bara yang sesungguhnya: keikhlasan tertinggi yang menuntut darah sebagai tinta.
“Ya Allah, jangan biarkan Nirmala merasa sendirian. Izinkan ia tahu, ia adalah prioritas di tengah badai ini.”
Bara mulai menulis doa itu, menorehkan tinta merahnya di kertas yang lembap. Ia tidak tahu, ikhtiar tertingginya ini akan segera disinkronisasikan sebagai Divine Echo terkuat bagi Rina.