Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Hari terus berlalu... Sejak teguran dingin Umma Fatimah malam itu, dan amarah Riski keesokan paginya, ada sesuatu yang retak di hati Maya. Kepercayaan murni yang dulu ia miliki terhadap keikhlasan Umma Fatimah, kini lenyap tak bersisa. Ia tidak lagi mengagumi Umma Fatimah seperti saat awal dulu, menganggapnya wanita super yang tulus berbagi suami.
Firasat Maya benar; ia yakin sekali akan hal itu. Tidak ada wanita manapun di muka bumi ini yang benar-benar ingin dimadu dengan hati yang lapang tanpa syarat. Kalaupun ada yang terlihat ikhlas, pastinya ada rahasia di balik hal tersebut, entah itu perjanjian di antara keduanya, atau kondisi tertentu yang memaksa mereka menerima takdir itu. Keramahan Umma Fatimah kini terasa sebagai topeng, sebuah sandiwara yang ia mainkan untuk menjaga citranya.
Meskipun begitu, puing-puing rasa hormat itu masih tersisa. Maya tetap menghargai Umma Fatimah sebagai kakak madunya, sebagai sosok yang lebih tua, dan sebagai ibu dari anak-anak Riski. Ia memilih untuk tidak memperkeruh suasana, menjaga sikapnya tetap santun, meskipun hatinya kini dipenuhi oleh rasa sakit, kekecewaan, dan kewaspadaan yang baru.
Sejak saat itu juga, sejak hatinya retak dan kepercayaannya luntur, Maya mengambil sebuah keputusan besar: ia memilih untuk menjaga hatinya sendiri. Alih-alih mengeluh dan menuntut keadilannya yang terasa mustahil didapat, Maya memilih untuk menciptakan damai untuk dirinya sendiri, sebuah benteng pertahanan emosional.
Ia mulai menerapkan strategi menghindar. Saat Riski sedang bersamanya—di kontrakan sunyi itu, di waktu yang seharusnya menjadi giliran utuhnya—dan terlihat sibuk dengan ponselnya, Maya tidak lagi diam mematung menahan perih. Ia akan menghindar dengan halus, bangkit dari duduknya, dan berpura-pura sibuk melakukan pekerjaan lain: melipat pakaian, atau membereskan dapur yang sebenarnya sudah bersih.
Semua itu ia lakukan semata-mata untuk menjaga hatinya sendiri, melindungi kewarasannya, dan menghindari rasa sakit hati. Maya memilih untuk menjadi air yang mengalir, menghindari batu-batu tajam, daripada terus menerjang dan terluka oleh kenyataan yang terasa pahit.
Tiga bulan berlalu. Waktu yang cukup lama untuk membuat luka mengering, meskipun bekasnya tetap ada. Setiap harinya masih saja sama, rutinitas pahit itu terus berulang, tetapi Maya mulai membiasakan dirinya. Ia mulai terbiasa dengan semua hal; ketiadaan Riski saat siang hari, kesendirian saat salat, dan obrolan manis di kursi depan mobil.
Meskipun terkadang dirinya merasakan sakit, kesepian, dan hantaman realitas yang menusuk, Maya telah berhasil menciptakan benteng pertahanan emosionalnya sendiri. Ia belajar bertahan hidup dalam sunyi.
Hari ini, rutinitas itu sedikit terpecah. Riski mengajak Maya, Umma Fatimah, dan anak-anaknya untuk pulang ke kota tempat tinggal mereka yang sebenarnya—kota transit yang dulu disinggahi sesaat. Riski mengambil cuti beberapa hari karena ada acara keluarga.
Perjalanan panjang yang memakan waktu belasan jam itu dimulai lagi, dan suasananya masih sama persis. Umma Fatimah yang selalu duduk di depan, berbagi cerita dan tawa bersama Riski, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Mereka pun telah sampai di kota tujuan. Kota yang familiar bagi Riski, tempat di mana keluarga utamanya berada. Namun, bagi Maya, kota ini terasa seperti medan ranjau emosional.
Riski menghentikan mobilnya bukan di depan rumah keluarga, melainkan di sebuah penginapan sederhana.
"Kamu di sini dulu, ya, May," ujar Riski, suaranya penuh kehati-hatian, menghindari tatapan mata Maya. "Orang tua masih belum bisa menerima kehadiran kamu. Lebih baik kamu istirahat di sini dulu."
Alasan itu menghantam Maya telak, meskipun ia sudah menduganya. Di kursi depan, Umma Fatimah hanya diam membisu, tidak berkomentar.
Setelah menurunkan Maya dan kopernya, Riski kembali melanjutkan perjalanannya bersama Umma Fatimah dan anak-anak ke rumah mereka berdua—rumah yang seharusnya juga menjadi tempat bagi Maya.
Maya memandangi mobil itu menjauh hingga hilang dari pandangan. Air mata mengalir deras di pipinya. Rasa terluka, sakit hati, dan hampa bercampur aduk menjadi satu. Penolakan dari ibu mertuanya terasa begitu nyata, begitu menyakitkan, mengonfirmasi statusnya sebagai orang luar, sebagai sosok yang tidak diinginkan dalam keluarga besar ini.
Maya masuk ke dalam penginapan, kamar itu terasa dingin dan asing. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Bukan hanya tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang, hatinya pun juga.
Terkadang Maya ingin menyerah, ingin kembali, tapi dirinya teringat akan kata-kata teman Wawa di toko pakaian syar'i saat itu, tentang kekuatan dan keteguhan hati seorang mualaf. Dirinya juga teringat janji yang telah ia buat kepada Tuhan, janji untuk mencari ridha-Nya melalui pernikahan ini.
Maya memilih untuk tidur dan melupakan sejenak semuanya, membiarkan lelap mengambil alih rasa sakitnya.
.........
Keesokan harinya, fajar menyingsing dingin di jendela penginapan Maya. Hatinya gelisah, menantikan setitik perhatian dari Riski. Matanya terus melirik ponsel, berharap sebuah pesan atau panggilan, sebuah pengingat bahwa ia ada.
Tepat pukul 10 pagi, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Riski. Maya membukanya, jantungnya berdebar, tapi isi pesan itu laksana belati yang menghujam ulu hati:
[Dari Riski]:
Maaf May, saya nggak bisa datang. Saya lagi pergi sama Umma Fatimah ke sebuah desa wisata. Menunaikan janji lama saya sama dia sebelum menikahi kamu. Kamu istirahat aja ya.
"Menunaikan janji lama"? Hati Maya hancur berkeping-keping. Rasa sakit itu bukan lagi remasan, tapi tusukan bertubi-tubi. Janji kepada istri pertama ditepati dengan mengorbankan perasaan istri kedua yang baru dinikahi, ditinggalkan sendirian di kota asing.
Maya kembali menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar hebat. Ia menangisi nasibnya yang begitu malang.
"Mengapa aku diperlakukan seperti barang sisa?" jerit hatinya. "Bukan aku yang meminta semua ini! Mereka yang membawaku masuk, mereka yang berjanji akan adil, tapi mengapa aku yang harus menanggung semua sakit ini?"
Logikanya memberontak. Bulan madu seharusnya menjadi jatahnya, jatah pengantin baru, bukan milik masa lalu yang diulang kembali.
Tak tahan lagi menanggung beban sendiri, Maya menelepon Wawa. Di seberang sana, Wawa terkejut mendengar tangis pilu Maya. Maya menumpahkan segalanya: pengabaian di perjalanan, sandiwara di toko perabotan, hingga pil penunda kehamilan yang menjadi simbol nyata ketidakadilan juga teguran dingin umma Fatimah di malam itu. Dan realitas giliran yang terasa tidak adil.
Wawa meledak marah. Suaranya penuh kekecewaan terhadap Riski dan Umma Fatimah yang dianggapnya munafik. "Mereka itu tahu agama, May! Tapi adabnya mana? Kamu itu istrinya yang sah!"
"Astagfirullah May, mereka lebih paham agama di banding kamu, seharusnya mereka menuntun kamu, May, benar-benar bikin malu."
Wawa pun melarang keras Maya meminum pil itu lagi. "Kamu itu masih gadis, May! Bagaimana kita bisa tahu kamu subur apa nggak kalau terus dicekal begini? Berhenti minum pil itu, dan kalau Riski tanya, diam saja!"
Maya hanya bisa menangis mendengarnya. Wawa kemudian menanyakan janji sidang poligami yang tak kunjung terwujud, dan helaan napas berat Wawa terdengar, penuh rasa prihatin.
Alasan Riski masih sibuk, membuat Wawa pun tidak bisa memaksakan mereka.
Di akhir percakapan, Wawa melunak, suaranya menguatkan, "Sabar ya, May. Jika kamu mampu bersabar atas ujian Allah ini, InsyaaAllah Allah menjamin kamu dengan surga-Nya."
Maya menutup telepon. Di penginapan yang sepi itu, ia memeluk lututnya erat-erat. Kata-kata Wawa memberinya kekuatan baru, tapi rasa sakit itu masih ada. Kini ia tahu, perjuangannya baru saja dimulai, berbekal pengetahuan tentang haknya dan janji surga sebagai tujuannya.
Bersambung...