Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teknik Terlarang
...The Last Shinobi vs The Prince of Light from Elf Kingdom...
...#4...
“Sepertinya serangan biasa tak berpengaruh padanya…” gumam Hayama pelan.
Matanya tajam, menelusuri setiap gerak kecil Caelendir di altar kristal yang memantulkan cahaya dari segala arah. Tanpa bayangan. Tanpa tempat bersembunyi. Hanya dirinya. Manusia di tengah samudra cahaya.
Syal merah di lehernya berkibar ditiup angin hangat Colosseum, sementara kedua matanya tak pernah lepas dari sosok sang Pangeran Cahaya.
Ia menarik napas pelan, menenangkan detak jantungnya, lalu meraih beberapa bom asap kecil dari sabuknya dan menjepitnya di antara jari-jari.
Melihat benda itu, Caelendir sempat tertegun.
Ada perubahan di matanya. Bukan terkejut, melainkan kewaspadaan. Ia tahu, serangan berikutnya tak bisa diremehkan.
“Ninpou: Kirigakure no Jutsu.”
“Kirigakure?” decak Caelendir, menegakkan tubuhnya.
Hayama melemparkan seluruh bom asap itu bersamaan. Ledakan lembut terjadi.
Phhff!
Dan seketika, badai kabut kelabu menggulung, menyelimuti seluruh arena. Cahaya altar mulai tertelan kabut, seperti langit pagi yang kehilangan mataharinya.
“Mencari tempat bersembunyi di antara asap, hah?”sinis Caelendir, sambil memperkokoh kudanya. Ia menutup mata, mengandalkan pendengarannya untuk menangkap langkah Hayama.
Namun dari bawah kakinya, bayangan lain tiba-tiba muncul. Sesuatu yang tak mungkin ada di tempat penuh cahaya ini. Caelendir mendongak cepat.
“Shuriken no Maki!”
Dari kabut yang berputar, ratusan shuriken meluncur deras bagai hujan paku. Deru logamnya mengiris udara, menghujani area tempat Caelendir berdiri. Setiap bilah memantulkan cahaya sebelum menghantam tanah — tink! tink! tink! — bagaikan badai baja.
“Boleh juga…” Caelendir masih tenang,
senyum angkuhnya sama sekali belum pudar. Pedang jarum di tangannya mulai memancarkan cahaya emas menyilaukan.
“Sol Invictus!”
Tebasan pertamanya membelah kabut, lalu yang kedua dan ketiga membentuk gelombang cahaya memutar. Dalam sekejap, seluruh hujan shuriken itu terpental, meledak jadi percikan api kecil yang lenyap di udara.
Ia menangkis tanpa melihat, mendengarkan arah suara baja yang datang, seolah setiap gesekan udara adalah irama yang menuntunnya.
Beberapa menit berlalu.
Kabut perlahan menipis.
Caelendir berdiri di tengah puing logam yang berasap, masih tegak, masih bersinar.
“Asap mulai memudar,” gumamnya pelan.
“Aku harus sesegera mungkin beranjak dari sini…”
Namun di langit, bayangan hitam tampak melayang perlahan di antara celah cahaya.
Caelendir mendongak, memperkirakan jarak, bersiap melompat untuk menjemput arah terbangnya Hayama.
Tapi saat itu juga, dari bawah, terdengar gesekan cepat antara marmer dan tubuh manusia. Refleks Caelendir menoleh ke bawah.
Terlambat.
Sosok hitam sudah meluncur dari bawah kakinya, menukik deras.
“Tch—!”
Brakk!
Tendangan telak menghantam dagunya. Tubuh Caelendir terangkat tinggi ke udara, pedang jarumnya terlepas, berputar jauh sebelum menghantam tanah.
Belum sempat ia menyeimbangkan diri, Hayama sudah bergerak lagi. Dari pergelangan tangannya, benang kawat meluncur cepat, melingkari tubuh sang Elf yang melayang tak berdaya. Benang itu semakin menyempit, membelit ketat seperti jaring laba-laba yang menjerat serangga bersayap.
“Kage Buyou!”
Hayama melompat tinggi, menjemput Caelendir di udara. Tubuh mereka bertemu dalam formasi kunci maut. Dengan kekuatan penuh, Hayama menariknya turun dan menukik seperti elang hitam yang menyambar mangsa emas di bawahnya.
Kecepatan mereka gila. Angin berdesing keras, rambut Caelendir terhempas ke belakang. Dari tribun, semua mata menatap ngeri. Manusia dan mitologi sama-sama membisu.
Beberapa inci sebelum menyentuh lantai, Hayama melepaskan kunci tubuhnya dan melompat menjauh.
Sementara Caelendir… terhempas keras menghantam marmer altar. Ledakan dahsyat menggema, menyapu kabut sisa dan debu bercahaya memenuhi udara.
Boom!
Suara itu menggema hingga ke ujung tribun.
Getaran membuat sebagian kristal altar retak.
Presiden berdiri dari singgasananya, wajahnya tegang. Johan menatap ke bawah, tak berkedip.
Hayama berdiri di tengah kabut sisa, napasnya tersengal, tangan kirinya sedikit gemetar menahan sakit akibat benturan sebelumnya. Namun matanya tetap fokus ke arah kepulan debu tempat Caelendir jatuh.
“Sudah berakhir,” katanya pelan, dengan suara berat namun yakin.
Kubu manusia terpaku. Tak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara setelah dentuman itu bergema memantul di antara pilar-pilar kristal.
“Kakek? Jurus itu kan?” bisik seorang samurai muda yang duduk di barisan depan. Suaranya bergetar antara kagum dan cemas.
Samurai tua di sampingnya membuka mata yang sedari tadi terpejam, menatap arena dengan tatapan berat. Tangannya bersedakap di dada, napasnya panjang, seperti mencoba menenangkan sesuatu dalam dirinya.
“Benar,” ujarnya lirih. “Itu teknik Omote Rengge… Tapi—” ia berhenti sejenak, menatap asap yang mulai menghilang. “Dia… menyempurnakan jurus itu.”
Satu helaan napas berat keluar dari bibirnya, samar disertai nada prihatin.
“Hayama, sejak kapan kau belajar itu? Bukankah aku sudah melarangnya? Bukan karena jurusnya berbahaya… tapi karena gaya serangan itu menyeret penggunanya ke ambang maut. Jika terlambat sepersekian detik saja…”
Ia mengatupkan rahangnya. “Kau juga bisa mati.”
Dari singgasana barat, Presiden menunduk sedikit ke depan. Tangannya mengepal di atas lutut, kerut wajahnya dalam, antara bangga dan takut.
Johan, di sisinya, hampir saja bersorak. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya condong ke depan seolah ingin ikut berlari ke tengah arena.
Tapi ia menahan diri. Wajahnya tegang, tapi di matanya tersimpan sedikit cahaya harapan yang nyaris padam sejak dua kekalahan sebelumnya.
Sang Virgo, dari tempatnya, menatap arena dengan ekspresi datar tapi matanya bergetar sedikit, menandakan keterkejutan yang nyaris tersembunyi.
“Teknik yang mengorbankan tubuh sendiri demi peluang kemenangan… manusia ini, sungguh nekat,” gumamnya pelan, cukup untuk didengar angin.
Sementara itu, The Ancient One menyipitkan mata. Sayap emasnya bergeming pelan. Ia menegakkan tubuh dan melirik Presiden dengan senyum miring.
“Menarik,” katanya dingin. “Manusia kalian berani menantang dewa cahaya dengan tubuh fana. Tapi berapa lama dia bisa bertahan setelah itu, hm?”
Presiden tak menjawab. Ia hanya menatap asap yang mulai terurai, berharap tubuh sang Shinobi masih tegak di sana.
Hening menyelimuti seluruh tribun, hingga hanya suara batu-batu marmer retak dan sisa asap yang menguap ke langit terdengar.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !