Lyra tak pernah menyangka bahwa orang yang paling ia percayai telah mengkhianatinya sebulan sebelum pernikahannya.
Alih-alih membelanya, ibu tirinya justru memilih untuk menikahkan tunangannya dengan kakaknya sendiri dan menjodohkannya dengan Adrian— seorang pria yang tak pernah ia tahu.
Namun, di tengah huru hara itu Adrian justru menawarkan padanya sebuah kontrak pernikahan yang menguntungkan keduanya. Apakah Lyra dan Adrian akan selamanya terjebak dalam kontrak pernikahan itu? Atau salah satunya akan luluh dan melanggar kontrak yang telah mereka setujui?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rheaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Adrian telah berdiri di sana, napasnya memburu, keringat terus mengucur dari keningnya. "Apa yang ingin kau perbuat pada istriku?" tanya Adrian pelan, nyaris tidak terdengar
Dahi Juan berkerut, tangannya menghentak kencang hingga genggaman Adrian terlepas. "Jangan asal menuduhku," jawab Juan kembali mengulurkan tangannya, meraih pengisi daya miliknya lalu menatap sinis Adrian sebelum akhirnya pergi.
Adrian membalas tatapannya, bibirnya terkatup rapat. "Sejak kapan aku menjadi posesif seperti ini?" pikirnya sambil menggeleng pelan.
Dalam sekejap, pandangannya tertuju pada Lyra yang tengah tertidur. Tanpa perintah, pria itu langsung melepas jas yang ia kenakan dan menutupi tubuh Lyra dan menjatuhkan tubuhnya pada kursi di samping wanita itu.
Seolah kehilangan kendali atas dirinya sendiri, tangannya tiba-tiba terulur meraih beberapa helai rambut yang menutupi wajah Lyra dan mengaitkannya ke kuping. Derit pintu terbuka membuatnya terperanjat, ia lalu bangkit dari duduknya kemudian berjalan cepat ke depan.
"Pak Adrian? Saya tidak tahu bapak ada di sini," ucap seorang satpam dengan kunci di tangannya.
"Tolong jangan berisik, istri saya sedang tertidur di dalam. Berikan kuncinya, aya yang akan mengunci ruangan ini," bisik Adrian, sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Tidak masalah, Pak. Jika istri anda sudah bangun, laporkan saja pada pos satpam. Saya akan menguncinya segera," ucapnya lagi sebelum akhirnya kembali ke pos.
Setelah perbincangan singkat itu, Adrian kembali masuk ke dalam. Satu jam berlalu, Lyra merasakan pegal di beberapa bagian tubuhnya. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya, kesadarannya perlahan terkumpul. "Adrian?" gumam Lyra seraya menggosok kedua matanya.
Pria itu tengah tertidur di kursi sebelah, dengan tangan menyilang di dada. "Jas? Pasti ini miliknya. Apa dia tertidur karena menungguku terbangun?" pikir wanita berambut panjang itu menyadari ada sebuah kain menggantung di punggungnya.
Ia berusaha berdiri dari kursi, tapi begitu kakinya menapak ke lantai rasa kesemutan secara spontan menjalari kakinya membuat langkahnya terhuyung. Tanpa sempat menahan diri, tubuhnya jatuh luruh ke depan. Tubuhnya mendarat tepat dalam pelukan pria itu, membiarkan kepalanya bertumpu pada dada bidang Adrian yang hangat. Lyra sedikit meringis merasakan kesemutan di kakinya.
Sementara itu, Adrian mengerjapkan matanya. Tangannya meraba-raba meja di sampingnya— mencari kacamata yang sebelumnya ia letakkan di sana. "Kumohon, jangan bergerak," ucap wanita itu sambil menutup erat matanya.
Adrian menyipitkan kedua matanya karena silau lampu, "Hm? Aku tidak tahu kalau kau akan seagresif ini."
"Diam! Kakiku kesemutan," ucap Lyra sambil menutup mulut Adrian dengan tangannya. Wajahnya mulai memerah, detak jantung keduanya semakin cepat.
Adrian memandangi wajah Lyra dengan ekspresi datar, namun debaran di dadanya tak kunjung stabil. Alisnya bertaut samar, menciptakan kerutan kecil di dahinya.
"Cepatlah hilang ... dadaku rasanya akan meledak sedikit lagi," batin wanita itu dengan tangan yang masih menempel pada mulut suaminya.
Setelah beberapa menit terjebak dalam situasi yang canggung, keduanya akhirnya keluar dari kantor. "Ma–maaf atas kejadian tadi. Aku janji hal itu tidak akan terulang."
"Tidak masalah. Lagi pula kau adalah istriku—"
"Tidak bukan itu! Bagaimana kalau ada yang melihatnya? Lalu menyebarkan rumor karena kejadian tadi?"
Adrian terkekeh, "Sudah kubilang aku akan langsung memecat orang yang menyebarkan rumor," ucapnya. Tanpa sadar tangannya terulur, mengusap puncak kepala Lyra dengan lembut.
Dahi Lyra mengerut, alisnya bertaut tajam melihat tingkah aneh Adrian. "Ma–maaf," ujarnya singkat lalu menarik tangannya secepat kilat.
"Ada apa dengannya hari ini?" pikir Lyra seraya menyipitkan kedua matanya.
"Apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini? Rasanya setelah menikah tubuhku sering kali bertindak sesuka hati," batin pria itu sambil berjalan menuju mobilnya di susul oleh Lyra yang berjalan di belakangnya.
Sebelum pergi, Adrian menghentikan mobilnya tepat di depan pos satpam dan melapor kalau mereka akan segera pulang. Lyra juga turun dan meminta maaf karena ketiduran dan membuat mereka terlambat untuk pulang sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju apartemen mereka.
Di perjalanan, keheningan menyelimuti Adrian dan Lyra. Bayang-bayang soal kejadian barusan masih membekas di pikiran keduanya.
Setibanya di apartemen, seperti biasa Adrian langsung mengunci diri di kamar masing-masing. Setelah membersihkan diri, Lyra langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Saat matanya hampir tertutup, dering notifikasi pesan dari ponselnya berbunyi dan mencuri perhatiannya.
Bu Sintia : Sayang, kau punya rencana akhir pekan besok?
Lyra : Tidak ada, Ma.
Bu Sintia : Bagus, datanglah ke rumah bersama Adrian. Kita makan malam bersama.
Lyra : Baiklah. Kami akan hadir besok.
"Hhh ... makan malam bersama, ya?" gumam wanita itu sambil menatap langit-langit kamarnya. Refleks ia bangkir dari ranjangnya, berjalan menuju kamar Adrian.
"Adrian ... kau di dalam? Ada yang ingin kubicarakan," ucap Lyra seraya terus mengetuk pintu kamar suaminya.
"Adrian?" sahutnya lagi, tapi masih tak ada jawaban.
Tangannya meraih gagang pintu perlahan, "Tidak terkunci?!"