---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19- TANGAN KEDUA
Pagi itu rumah keluarga Raka terasa sunyi namun bukan ketenangan yang menenangkan — melainkan hening yang menekan dada.
Udara masih lembap oleh sisa hujan semalam. Tirai tipis di ruang tengah bergoyang pelan, menimbulkan bayangan bergerak di dinding seperti hantu masa lalu yang enggan pergi.
Bu Ratna duduk di kursi rotan, di depannya sebuah meja kecil dengan amplop cokelat tebal di atasnya. Tangan tuanya menyentuh perlahan permukaannya — bukan sekadar uang, tapi sesuatu yang berat, seperti beban tak kasatmata yang menuntut keputusan.
Dari arah kamar tawa kecil Arkana, cucu kesayangannya, yang sedang bermain mobil-mobilan di lantai.
Widuri sudah berangkat ke pasar sejak subuh, sementara Raka masih di kantor ia mendapat shift malam
Hanya Bu Ratna dan cucu kecil itu yang mengisi rumah sederhana itu… sampai suara ketukan di pintu terdengar.
Tok… tok… tok…
“Bu, ini aku, Siska.”
Bu Ratna segera berdiri dan membuka pintu. Di ambang, tampak Siska, adik Raka, berdiri dengan wajah letih. Rambutnya yang sedikit kusut menandakan pagi yang tergesa-gesa. Di tangannya, satu anak perempuan kecil menggenggam erat — dan dari luar pagar, suara klakson mobil antar jemput sekolah terdengar.
Anak sulungnya baru saja dijemput untuk berangkat sekolah.
“Masuk, Nak. Biar anakmu main sama Arkana dulu,” ujar Bu Ratna lembut.
Siska menaruh tas belanja di meja, pandangannya segera jatuh pada amplop besar di depan ibunya.
Warna cokelat tua itu begitu kontras di meja putih — mencolok, mengundang tanya.
“Bu, ini uang apa?” tanyanya dengan alis berkerut.
Tangannya hampir menyentuh, tapi seolah ada sesuatu yang menahannya.
Ada hawa aneh di ruangan itu — antara penasaran dan firasat buruk.
Bu Ratna tersenyum tipis. “Pegang saja dulu, Nak. Anggap untuk jajan cucu-cucu Ibu.”
Nada suaranya datar tapi terukur, seperti seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu di balik kata manis.
Siska menatap lebih lama. “Tapi, Bu… ini banyak banget. Bukan uang kecil. Dari mana Ibu dapat?”
Keheningan sejenak mengisi udara.
Suara jam dinding berdetak lambat — tik… tak… tik… tak…
Bu Ratna menghela napas panjang, menatap jendela, seolah berbicara pada diri sendiri sebelum akhirnya berkata pelan tapi pasti,
“Ibu cuma ingin bantu Raka. Hidupnya makin berat. Widuri juga nggak kerja,
Arkana masih kecil. Ibu… Ibu cuma ingin masa depan yang lebih baik untuk mereka.”
Siska menatap tak mengerti. “Tapi, uang sebanyak ini—”
“Ibu dapat dari seseorang,” potong Bu Ratna cepat, suaranya nyaris berbisik.
“Nyonya Cassandra… ibunya Nona Rianty.”
Nama itu langsung membuat jantung Siska berdebar. Ia tahu siapa Rianty — perempuan kaya, anggun, dan dulu sempat dekat dengan Raka sebelum menikah dengan Widuri.
Namun kalimat selanjutnya dari bibir Bu Ratna membuat darahnya seakan berhenti mengalir.
“Mereka ingin Raka menikah dengan Rianty,” ucap Bu Ratna tenang, “sebagai istri kedua.”
Siska tertegun. Matanya membesar, suaranya tercekat.
“Bu… Ibu sadar apa yang Ibu bilang barusan?”
Bu Ratna menatapnya tanpa gentar. “Sadar, Nak. Ibu sudah pikirkan matang-matang. Ini bukan hal buruk. Raka akan tetap jadi suami Widuri, tapi juga bisa bahagiakan keluarga yang lain. Dan dengan bantuan dari keluarga Cassandra, mereka semua nggak akan hidup susah lagi.”
“Bu! Itu sama aja Ibu menghancurkan rumah tangga Kak Raka!”
Suara Siska meninggi, nadanya gemetar antara marah dan takut.
“Widuri itu baik banget, Bu! Aku sering lihat sendiri — dia sabar, nggak pernah ngeluh, kerja keras ngurus rumah dan anak. Kok Ibu tega?”
Bu Ratna terdiam lama. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja pelan, seperti sedang menghitung detik sebelum menjawab.
“Kadang, Siska…” katanya akhirnya, lirih tapi tajam, “cinta dan kenyataan nggak selalu bisa jalan bareng.
Kalau Raka terus idealis, hidupnya nggak akan berubah. Ibu cuma mau bantu dia… keluar dari lingkaran susah.”
Siska menggeleng kuat, tapi air matanya mulai berkaca. “Tapi caranya salah, Bu…”
Bu Ratna menatapnya tajam kali ini, wajahnya berubah dari lembut menjadi tegas dan menekan.
“Salah menurut siapa? Kalau akhirnya semua orang bahagia, apa masih bisa dibilang salah?”
Hening menggantung. Di luar, angin meniup tirai hingga bergerak liar.
Arkana tertawa kecil, tidak tahu apa-apa — justru tawa polosnya terasa menohok, seperti ironi kecil di tengah percakapan gelap.
Bu Ratna mencondongkan tubuhnya, suaranya pelan tapi penuh tekanan,
“Siska… kamu tahu sendiri ekonomi kamu juga lagi sulit. Uang ini bisa bantu banyak hal. Kamu tinggal bicara baik-baik ke Widuri, arahkan pikirannya pelan-pelan. Katakan padanya bahwa poligami itu bukan akhir dari dunia.”
Siska menunduk. Jantungnya berdegup keras.
Kata-kata ibunya berputar di kepala — antara kebutuhan, moral, dan ketakutan.
Uang itu seperti menariknya masuk, memerangkapnya dalam dilema.
“Bu… kalau Widuri tahu aku ikut campur, aku bisa kehilangan dia. Aku nggak mau dosa ini,” katanya serak.
Bu Ratna mengulurkan tangan, menggenggam jemari Siska dengan lembut namun kuat.
" Nak… untuk kebaikan keluarga, kita harus berani jadi orang jahat sementara waktu.”
Kata-kata itu seperti racun yang dibungkus madu.
Menyakitkan, tapi terlalu manis untuk langsung ditolak.
Siska menggigit bibir, tubuhnya gemetar. Ia tahu ibunya salah, tapi ia juga tahu — di dunia nyata, uang sering kali bicara lebih keras daripada hati nurani.
Ia menatap amplop di meja, lalu menatap wajah ibunya. Di sana, bukan lagi wajah lembut seorang ibu, tapi bayangan seseorang yang sudah terlalu lama berjuang hingga rela mengorbankan apa pun.
Akhirnya, dengan napas berat dan air mata yang jatuh diam-diam, ia meraih amplop itu.
“Baik, Bu… tapi tolong jangan libatkan aku lebih jauh. Aku nggak mau Widuri sampai tahu.”
Senyum puas perlahan merekah di wajah Bu Ratna.
“Terima kasih, Siska. Ibu tahu kamu anak yang bisa diandalkan. Ibu lakukan semua ini demi kalian juga.”
Siska berdiri perlahan, menggenggam amplop itu erat — seolah memegang bara api yang siap membakar siapa saja.
Saat melangkah keluar rumah, langkahnya terasa berat, seolah lantai di bawahnya berubah menjadi pasir isap.
Dari belakang, suara lembut Bu Ratna terdengar lagi, menembus udara yang dingin:
“Kadang kebaikan itu tak selalu terlihat indah, Nak. Tapi nanti, kamu akan paham.”
Siska tak menjawab.
Ia hanya menatap amplop itu sekali lagi — dan tahu, mulai hari itu, ketenangan dalam keluarganya takkan pernah kembali seperti dulu.
#tbc
Selamat pagi
jangan lupa like and komen nya.