NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:315
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Melanjutkan Perjalanan Menuju Bukit Arga Dipa

Tapi tangan Raka mendadak terlepas sendiri—seperti ada kekuatan tak terlihat yang menarik Nando menjauh.

Tubuh Nando kini berdiri di tengah hujan deras, bajunya basah kuyup, namun ia terus menari mengikuti alunan gamelan yang hanya ia sendiri yang bisa dengar.

Matanya kini terbuka penuh, menatap kosong ke arah gelap hutan, dan dari arah sana samar-samar terlihat sosok wanita bergaun putih yang tadi ia lihat—juga menari, menirukan setiap gerakan Nando dengan sempurna.

“Nando! Nando!!” teriak Raka dari tenda, suaranya hampir tenggelam oleh petir yang menyambar.

Namun Nando tak menggubris.

Langkahnya perlahan mendekati tepi jurang kecil di belakang pos pendakian.

Raka berusaha mengejar Nando walaupun ia mulai kedinginan saat mendekati Nando Raka terkejut melihat mata Nando gelap tanpa kelopak.

Raka menahan napasnya seketika.

Kilatan petir di langit memperjelas pandangannya — mata Nando kini sepenuhnya hitam, tanpa kelopak, tanpa putih mata, seperti dua lubang gelap yang tak berdasar.

Tubuh Raka merinding seketika, tapi ia tetap melangkah maju sambil berteriak,

“Nando! Sadar, Ndo! Ini gue, Raka!”

Namun Nando hanya berdiri diam, wajahnya menunduk, air hujan menetes dari rambutnya yang menutupi sebagian muka. Tubuhnya kaku seperti patung.

Raka ragu sejenak, lalu memberanikan diri untuk memegang bahu Nando. Begitu tangannya menyentuh, kulit Nando terasa dingin sekali — bukan dingin biasa, tapi seperti es.

Tiba-tiba Nando mengangkat wajahnya perlahan.

Raka yang mulai gemetar karena takut akhirnya memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Dalam hatinya ia membaca pelan,

“A’udzubillahi minasy syaithonir rojim…”

Tangannya masih menempel di bahu Nando.

Petir kembali menyambar, menerangi wajah Nando yang pucat, matanya masih gelap. Tapi di detik berikutnya, begitu Raka melanjutkan bacaannya,

“Bismillahirrahmanirrahim…”

— tubuh Nando tiba-tiba terhuyung mundur, seperti tersadar dari mimpi buruk. Ia menarik napas keras-keras dan menatap sekeliling dengan bingung.

“Ra… Raka? Gue kenapa?” katanya dengan suara serak.

Raka langsung menariknya menjauh dari tepi jurang, lalu menepuk pipi Nando ringan.

“Lu tadi kayak kesurupan, Ndo! Mata lu item semua! Gila, gue kira lu bakal jatuh!”

Nando masih tampak linglung, kedua tangannya gemetar.

“Gue… gue denger suara gamelan, Ra. Terus ada cewek… pake baju putih, dia nyanyi sambil manggil gue. Kayak… kayak gue gak bisa nolak.”

Raka menatapnya serius.

“Udah, jangan ngomong aneh-aneh. Kita balik ke tenda sekarang. Gue gak mau kejadian barusan terulang.”

Nando mengangguk pelan, masih lemah.

Mereka berdua pun berjalan kembali dengan langkah cepat menembus hujan, sementara di kejauhan — di antara kabut — terdengar tawa lirih perempuan yang perlahan menghilang bersama deru angin gunung.

...****************...

Malam itu hujan turun tanpa jeda, menimpa atap tenda dengan suara deras yang seolah tak pernah berhenti. Gemuruh petir sesekali mengguncang udara, membuat setiap orang di dalam tenda saling berpandangan dalam diam.

Raka berbaring sambil menatap langit-langit tenda yang sesekali bocor di sudut kecil, menetes perlahan ke tanah.

Nando sudah tertidur, tapi wajahnya masih tampak pucat. Sesekali ia menggigil dan bergumam tak jelas.

Lala memeluk jaketnya erat.

“Untung air gak masuk, ya,” bisiknya pelan.

Citra menjawab dari ujung tenda,

“Iya, tapi kalau hujan terus gini, besok jalannya pasti makin berat. Tanahnya becek semua.”

Tak ada yang menimpali. Semua hanya bisa mendengarkan bunyi hujan dan angin yang seperti menari di antara pepohonan.

Keesokan paginya, hujan sudah mulai reda, hanya tersisa rintik halus yang turun pelan di antara kabut tipis. Udara terasa dingin dan segar, sementara aroma tanah basah memenuhi sekitar.

Raka terbangun lebih dulu. Ia mengucek mata, menatap sekeliling tenda yang kini terasa lebih terang. Tapi begitu menyadari satu hal, jantungnya langsung berdegup cepat —

“Lho… Nando mana?”

Ia cepat bangkit, memeriksa luar tenda dengan wajah cemas.

Kabut masih cukup tebal, embun menetes dari dedaunan, tapi tak jauh dari sana, terdengar suara gemericik air mendidih.

Begitu Raka melangkah keluar, ia melihat Nando duduk jongkok di depan kompor kecil, sedang merebus air di panci kaleng, mengenakan jaket tebal dan tampak santai.

“Woy, gue kira lu ke mana, Ndo! Gue hampir jantungan tahu!”

Nando menoleh sambil tersenyum kecil, matanya terlihat agak sembab tapi ekspresinya lebih tenang.

“Hehe… maaf, Rak. Gue cuma mau bikin air panas, biar kita bisa minum yang anget. Semalaman gue gak bisa tidur.”

Nando menoleh sambil tersenyum kecil, matanya terlihat agak sembab tapi ekspresinya lebih tenang.

“Hehe… maaf, Rak. Gue cuma mau bikin air panas, biar kita bisa minum yang anget. Semalaman gue gak bisa tidur.”

Raka mendekat dan duduk di sampingnya.

“Lu masih kepikiran semalam ya?”

Nando menatap panci yang mulai beruap.

“Sedikit. Tapi gue gak mau ngomongin lagi, Rak. Yang penting sekarang kita turun aja cepet-cepet.”

Raka mengangguk pelan, meski masih ada rasa penasaran.

Perlahan, teman-teman lain juga mulai keluar dari tenda, menggeliat dan mengeluh kedinginan. Suasana pagi itu terasa tenang, tapi burung-burung tak bersuara sama sekali — seolah seluruh hutan masih menyimpan sesuatu dari malam sebelumnya.

Para peserta KKN satu per satu keluar dari tenda, wajah mereka masih setengah mengantuk dan rambut acak-acakan karena semalaman diguyur hujan. Begitu mencium aroma teh hangat yang mengepul dari panci kaleng di depan Nando, mereka langsung duduk melingkar di sekitarnya.

Lala tersenyum sambil menggosok tangannya yang dingin,

“Wahh, makasih banget, Ndo! Pas banget lagi dingin gini, lu udah buatin teh aja.”

Citra ikut menimpali sambil tertawa kecil,

“Iya, sumpah ini niat banget. Gue kira lu masih tidur kayak batu, ternyata udah bangun duluan.”

Nando hanya tersenyum, menatap air yang hampir mendidih.

“Hehe, ya gue juga gak bisa tidur. Daripada bengong, mending bikin sesuatu yang bisa bikin badan anget, kan?”

Dimas meraih salah satu gelas plastik dan menuang teh dari panci. Uapnya langsung menyentuh wajahnya.

“Mantap. Ini baru namanya ketua tim yang perhatian.”

Nando tertawa kecil, tapi matanya sesekali menatap ke arah hutan di belakang mereka — diam, tapi penuh waspada. Seolah ada sesuatu di sana yang membuatnya tidak bisa benar-benar tenang.

Novi menatap satu persatu teman-temannya dan bertanya

"Jadi gimana rencana perjalanan kita hari ini?" Kita mau lanjut ke puncak gunung Arga Dipa atau gimana?"

Nando mengalihkan pandangannya dari hutan dan mencoba tersenyum seperti biasa.

“Hmm… iya, bener juga. Hari ini sesuai rencana awal, kan? Harusnya kita lanjut ke puncak Arga Dipa.”

Raka yang duduk di sebelahnya langsung menimpali sambil meniup uap teh di gelasnya,

“Iya, tapi kalau lihat kondisi begini, jalannya pasti licin banget. Semalam hujan deras, bisa-bisa kita kepleset sebelum nyampe setengah perjalanan.”

Lala mengangguk pelan sambil menatap tanah becek di depan tenda.

“Aku juga agak khawatir, sih. Soalnya pas kita lewat jalur itu kemarin aja udah lumayan curam, apalagi sekarang.”

Novi memandangi peta kecil yang digelar di atas alas makan, mencoba berpikir.

“Kalau kita gak lanjut ke puncak hari ini, berarti jadwal kita mundur. Tapi kalau dipaksain juga, bisa bahaya.”

Nando terdiam sesaat, lalu menjawab pelan,

“Kita lihat aja nanti siang. Kalau cuaca mulai cerah

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!