Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berubah Bijaksana
Usai menghadapi Eleanor, Nateya melangkah masuk ke rumahnya sembari menghela napas panjang. Tujuan pertamanya adalah menuju ke kamar si kembar, untuk mendengar penjelasan dari Julian.
Begitu pintu terbuka, ia melihat Julian yang sedang berganti baju. Menyadari siapa yang datang, wajah bocah itu mendadak pucat. Jemarinya yang semula sibuk mengancingkan baju, berhenti.
“Nyonya…,” bisiknya gugup, lalu tubuh mungilnya menegang.
Nateya mendekat, menatapnya lekat-lekat. “Julian, katakan padaku dengan jujur. Apa benar kau memukul Andrew hingga hidungnya memar dan lengannya terkilir?”
Pertanyaan itu meluncur tegas, tetapi nada suara Nateya tetap tenang. Tidak menunjukkan prasangka maupun kemarahan yang meledak-ledak.
Alih-alih menjawab, Julian tiba-tiba jatuh berlutut. Ia bersimpuh di hadapan Nateya, kedua tangannya terulur ke depan. Mata kecilnya menatap tanpa gentar, meski tubuhnya bergetar halus.
“Kalau Nyonya ingin menghukum, aku sudah siap. Rotan itu, silakan jatuhkan padaku,” ucapnya lantang, seolah sudah pasrah.
Nateya terhenyak. Seluruh tubuhnya membeku, dan tenggorokannya terasa perih. Baru kini ia menyadari betapa dalamnya luka yang telah ditorehkan Seruni, hingga anak sekecil ini tumbuh dengan ketakutan yang mendarah daging. Bahwa setiap kali ibunya datang, yang ia pikirkan hanya siksaan.
“Julian, aku ke sini bukan untuk menghukummu,” bisiknya serak, matanya basah. Ia berjongkok, berusaha menyamai tinggi sang putra.
“Aku ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Kau tidak mungkin memukul teman sekolahmu tanpa alasan."
Julian terdiam, bibirnya terkatup rapat. Ada keinginan untuk percaya, tetapi bayangan masa lalu membuatnya bungkam.
Saat itulah Anelis maju perlahan. Gadis kecil itu memandang Nateya dengan ketakutan bercampur keberanian. Tanpa suara, ia mulai menggerakkan tangannya, menyampaikan pembelaan untuk sang kakak dengan bahasa isyarat sederhana.
Anelis menunjuk lututnya yang penuh goresan, lalu menunjuk ke arah Julian. Ia juga memperagakan perbuatan anak lain yang mendorongnya dari belakang.
Nateya mengerutkan kening, mencoba memahami. Ia mengulang dalam hati, lalu menatap Anelis.
“Jadi, Julian memukul Andrew karena membelamu?”
Anelis mengangguk cepat, matanya berbinar meski menahan air mata. Ia menambahkan gerakan kecil dengan jarinya di udara, menandakan kata iya yang lebih tegas.
Nateya menoleh pada Julian dengan mata yang lembut, nyaris tak percaya.
“Kau berusaha melindungi adikmu?”
Julian menggigit bibirnya, menunduk. Bahunya tegang.
“Aku tidak mau Anelis terus disakiti. Andrew selalu mengejeknya karena dia bisu. Hari ini, dia mendorongnya hingga jatuh. Aku tidak tahan lagi, Nyonya."
Melihat sorot putus asa di mata bocah lelaki itu, hati Nateya serasa diremas-remas. Perlahan, ia meraih bahu mungil Julian.
“Kau tidak salah karena membela adikmu, tapi caramu salah,” ujarnya penuh kasih. “Mulai sekarang, kau tidak perlu takut padaku. Aku bukan lagi ibu yang hanya tahu menghukum. Aku akan melindungimu selalu, kalian berdua.”
Julian menatap ibunya dengan ragu, seolah ingin percaya tetapi takut dikhianati. Sedangkan Anelis, tanpa ragu, meraih tangan Nateya dan menggenggamnya erat. Senyum kecil merekah di wajah mungilnya yang pucat.
Julian menunduk, wajahnya setengah gelisah setelah mengaku. Namun, ia menatap ibunya lagi dengan kesungguhan.
“Aku hanya memukul wajah Andrew, sama sekali tidak memelintir tangannya.”
Nateya menatapnya dalam-dalam, mencari kebenaran di balik sorot mata anak lelakinya. Hatinya merasakan kejujuran itu.
“Kalau begitu, jangan takut. Besok, aku sendiri yang akan pergi ke sekolah dan menyelidiki semuanya. Bila perlu, aku akan berdiri membela kalian berdua.”
Kata-kata itu membuat Julian dan Anelis saling pandang. Mereka terkejut, bahkan seolah tidak percaya dengan telinga mereka sendiri. Seumur hidup, mereka tidak pernah membayangkan ibunya akan bicara seperti itu.
Nateya kemudian tersenyum, mengusap lembut punggung Julian, lalu meraih jemari kecil Anelis.
“Cukup. Tidak usah dipikirkan lagi untuk hari ini. Lebih baik sekarang kita makan siang. Pasti kalian lapar.”
Julian hanya bisa mengangguk pelan, masih diliputi rasa heran. Sementara Anelis menggenggam tangan Nateya erat-erat, enggan melepas.
Bersama-sama, mereka digandeng menuju meja makan yang panjang, di ruang tengah yang berhias taplak putih dan porselen.
“Bi Warti!” panggil Nateya lantang. “Siapkan makan siang untuk anak-anak.”
Tak lama, Bi Warti muncul bersama dua pelayan lain, membawa nampan besar berisi hidangan. Seperti biasa, mereka langsung mendekat pada Seruni, bersiap menyajikan lebih dulu untuk sang nyonya yang selalu menuntut porsi paling besar.
Di luar dugaan, Nateya justru menolak.
“Tidak. Julian dan Anelis dulu,” tegas Natey. “Aku belakangan saja."
Tiga pasang mata pelayan itu langsung melebar. Bi Warti pun tertegun, bahkan hampir menjatuhkan sendok dari tangannya. Sementara Julian membeku, dan Anelis menatap ibunya dengan mata membulat.
“Ba-baik, Nyonya,” jawab Bi Warti ragu, lalu segera menyajikan hidangan untuk si kembar.
Julian menunduk, menatap piringnya, tak yakin harus berkata apa. Ia terbiasa melihat ibunya melahap makanan dengan rakus, mendahului siapapun. Namun, hari ini ibunya mendahulukan mereka.
Nateya menatap deretan hidangan yang tersaji di meja—daging panggang berlumur saus jamur, roti, keju, sup kentang kental, serta berbagai lauk berlemak. Perutnya yang terjebak di tubuh Seruni terasa muak melihat jumlahnya. Ia pun menghela napas panjang.
“Mulai besok, kurangi makanan di meja,” ucapnya tiba-tiba.
Bi Warti menoleh cepat, wajahnya penuh kebingungan. “Maksudnya saya harus mengurangi jumlah lauknya, Nyonya?”
Nateya mengangguk mantap. “Iya. Kita tidak butuh sebanyak ini. Sisa bahan makanan bisa dibagikan kepada penduduk pribumi di kampung yang kekurangan makan, atau desa-desa yang sedang kelaparan.”
Ruangan mendadak hening. Angin yang masuk dari jendela bahkan terdengar jelas.
“Nyonya yakin akan membagikan bahan makanan?” tanya Bi Warti lagi, suaranya nyaris berbisik.
Nateya menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk sekali.
“Benar. Bila perlu, besok setelah aku menyelesaikan urusan di sekolah, aku akan berkeliling. Aku ingin melihat langsung kondisi penduduk pribumi.”
Kali ini, Bi Warti tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Matanya memantulkan rasa tak percaya, seolah mendengar sesuatu yang mustahil keluar dari mulut Seruni. Pelayan-pelayan lain saling pandang, sementara Julian dan Anelis hanya bisa terdiam, antara bingung dan takjub.
Bagi mereka, ibunya seakan telah berubah menjadi sosok lain yang belum pernah mereka kenal.