Wati seorang istri yang diperlakukan seperti babu dirumah mertuanya hanya karena dia miskin dan tidak bekerja.
Gaji suaminya semua dipegang mertuanya dan untuk uang jajannya Wati hanya diberi uang 200ribu saja oleh mertuanya.
Diam-diam Wati menulis novel di beberapa platform dan dia hanya menyimpan gajinya untuk dirinya sendiri.
Saat melahirkan tiba kandungan Wati bermasalah sehingga harus melahirkan secara Caesar. ibu mertua Wati marah besar karena anaknya harus berhutang sama sini untuk melunasi biaya operasi Caesar nya.
Suaminya tidak menjemputnya dari rumah sakit. saat Wati tiba dirumah mertuanya dia malah diusir dan suaminya hanya terdiam melihat istrinya pergi dengan membawa bayinya.
Bagaimana nasib Wati dan bayinya? Akankah mereka terlantar dijalanan ataukah ada seseorang yang menolong mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Satria dan nenek tidur berdua dikamar Satria. Mereka begitu pulas tidurnya hingga tidak menyadari kalau ayah dan ibu sudah pulang dari kantor. Mereka menengok ke kamar Satria dan terkejut menemui nenek sedang tidur dengan Satria. Sepasang suami istri itu saling menatap. Tapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Tono menggamit istrinya untuk keluar dari kamar anak mereka.
“Ton bagaimana ini? Pasti tadi Satria pulang ke rumah neneknya.” Kata Fitri cemas.
“Kita hadapi sama-sama yang jelas pasti akan ada badai amukan dari ibumu.” Jawab suaminya.
Sore hari nenek dan Satria terbangun dari tidurnya. Untuk sejenak nenek merasa seperti sedang bermimpi. Dia lupa kalau sedang berada di rumah Tono.
Mereka berdua keluar dari kamar dan melihat Tono dan istrinya sedang minum teh sore sambil menikmati kue-kue yang dibeli Fitri di toko roti untuk cemilan anaknya.
“Halo ibu. Akhirnya menemukan rumah kami. Ayo silahkan diminum tehnya.” Kata Tono. Sementara Fitri menuangkan teh di cangkir untuk ibunya.
Nenek duduk dan menatap keduanya. “Apa kalian sudah ketularan Dony meninggalkan kami hidup diluar?”
“Saya rasa tidak ada yang salah bu, anak kalau sudah menikah wajib mengikuti suaminya.” Kata Tono.
“Jangan kuatir bu, jatah uang belanja ibu tetap tidak berkurang sama sekali. Saya rasa itu cukup untuk hidup berdua saja sama bapak. Tolong hargai keputusan kami. Maafkan kami yang terkesan mbulet tidak berterus terang. Kami mengatakan yang sebenarnya ibu marah-marah tidak ada habisnya di handphone. Setelah kami bilang hanya prank dan mengajak anak liburan baru diam.” Tono menjelaskan detail kepada mertuanya sementara istrinya mukanya sudah masam saja.
“Ya sudahlah rumah ini sangat bagus dan mewah pasti Fitri sudah tidak sudi lagi dipaksa tinggal dirumah orang tuanya sendiri.” ketus ibu.
“Kami akan sesekali main ke rumah ibu atau ibu kan bisa menemani Satria biar dia tidak kesepian.” Jawab Fitri.
“Iya benar nek, kalau Satria ingin ditemani nenek pulang sekolah Satria akan menjemput nenek.” Sahut Satria sambil mencomot kue yang dibeli ibunya.
“Baiklah kalau begitu terserah kalian saja.” Akhirnya nenek mengalah dan setelah makan malam Tono, Fitri dan Satria mengantar mertuanya pulang.
Kita kembali pada kisah Wati dan Dony. Setelah sekian jam penerbangan akhirnya mereka tiba di kampung halaman Wati. Di bandara mereka sudah dijemput oleh keluarga Wati.
Selama ini Dony tidak begitu mengenal keluarga Wati. Saat menikah hanya diwakili oleh kakaknya karena masalah kesehatan pada orang tuanya.
Dony masih mengenali kakak Wati. Dia menyalaminya. Wati memeluk erat kakaknya yang kemudian menggendong Panji. Panji langsung menangis karena belum mengenal pamannya.
Mereka naik mobil kakaknya Wati menuju rumah orangtua mereka.
Sesampainya di rumah mereka disambut oleh wanita tua. Wati langsung menghambur ke pelukannya dan menangis.
“Ibu…Wati kangen sekali. Sudah lama Wati tidak pulang.” Kata Wati.
Ibunya Wati mengelus rambut anaknya. Dan kemudian melepas pelukannya lalu mengamati wajah Wati.
“Kau tambah cantik nak. Ibu senang kau sehat dan dalam keadaan baik-baik saja.” Kata ibu Wati.
Dony melakukan takzim kepada mertuanya.
“Ayo masuk kalian pasti sudah lapar. Ayo makan dulu.” Ajak ibunya Wati
Mereka masuk ke dalam dan meletakkan koper-koper di ruang tamu yang cukup luas. Dony agak kaget ternyata orang tuanya Wati adalah orang yang cukup kaya. Rumahnya bagus dan rapi juga ada beberapa art di rumahnya.
Ibunya Wati mengambil alih gendongan cucunya dan menciumi wajah Panji. Sambil mengajak anak dan menantunya menuju meja makan. Lalu meninggalkan mereka untuk makan siang.
Selesai makan siang ibu dan kakaknya sudah menunggu di ruang tamu.
Wati bertanya “mana ayah Bu?”
“Ayahmu jam segini masih tidur siang, nanti kalau ayah sudah bangun juga pasti ketemu” jawab ibunya.
“Maafkan ibu Wati kalian kami paksa pulang. Ayah dan ibu ingin sekali ketemu cucu dari mu. Tapi kondisi ayah tidak memungkinkan melakukan perjalanan.” Kata ibu.
“Tidak apa-apa bu, kalau kami tidak dipaksa begini ya belum tentu kami menyempatkan pulang.” Jawab Wati.
"Iya benar saya senang bisa liburan ke sini, tapi sayang liburannya pendek. Hari Minggu kami harus sudah kembali ke Jakarta karena Senin saya harus masuk kerja bu." kata Dony.
"Tidak apa-apa yang penting Wati sempat pulang dan kami bisa ketemu cucu itu sudah cukup." kata Ibu mertua Dony.
"Besok kau ikut kakak keliling melihat kebun dek. Sudah lama kebun tidak kau lihat." kata kakak Wati.
"Iya mas sudah lama sekali Wati meninggalkan kebun. Apa mata air di sungai itu masih ada mas?" tanya Wati.
"Masih lah sekarang mas sudah membangun tempat istirahat di dekat sungai kecil yang dialiri air dari mata air itu. Airnya juga masih jernih." katanya lagi.
"Wati kalau mau istirahat kamarmu sudah ibu siapkan. Beristirahatlah di kamarmu yang dulu." kata ibu sambil memberikan cucunya ke ibunya karena bayi itu sudah mulai rewel.
"Sepertinya Panji ngantuk minta susu. Saya akan menidurkan Panji dulu bu." kata Wati.
"Iya beristirahatlah kalian." kata ibu.
Akhirnya bisa damai