NovelToon NovelToon
MANTU RAHASIA

MANTU RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Nikah Kontrak / Dokter Genius / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Mantu Rahasia

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Ayu kelihatan panik banget soal kondisi Rama. Tapi setelah Rama berusaha nenangin dan dia liat sendiri kulit Rama udah normal-normal aja, akhirnya dia bisa sedikit lega.

Sementara itu, Yuni nggak berhenti ngoceh gaya bicaranya nyindir terus, aneh dan nyebelin.

Tapi Rama dan Ayu sama sekali nggak gubris. Mereka biarin aja Yuni ngomel sendiri, nggak ada yang nanggepin.

Hal itu bikin Yuni makin kesel. Dia nahan amarah dalam hati, kayak mau meledak tapi nggak bisa ngeluarin.

Begitu mereka sampai di rumah sakit dan masuk ke bangsal tempat Heri dirawat, barulah Yuni meledak emosinya. Dia langsung lari ke pelukan seorang perempuan cantik yang lagi berdiri di depan pintu ruangan sambil nangis-nangis, “Tante… maafin aku…”

“Yang nyakitin Heri itu bukan kamu, jadi kamu nggak perlu minta maaf. Yang kami cari adalah dia.”

Tatapan si tante langsung tertuju ke Rama. Jelas dia tahu Rama lah yang bikin masalah.

“Kamu Rama, ya?”

Tiba-tiba ada seorang pria dengan sorot mata tajam ngelihatin Rama.

“Iya,” jawab Rama santai, nggak mundur sedikit pun.

“Anakku... apa dia yang kamu pukul?” tanya pria itu, serius banget.

“Bukan cuma anakmu,” jawab Rama tenang, “Tapi juga puluhan orang yang dia bawa ke KTV malam itu semuanya aku hajar sendiri.”

Mendengar itu, mata pria itu langsung menyipit tajam. Dia langsung ngerti, Rama bukan orang sembarangan.

Tapi si tante cantik yang ternyata namanya Yola Feby nggak peduli. Begitu dengar Rama ngaku, dia langsung meledak,

“Anak aku aja berani kamu sentuh?! Kalau aku nggak gebukin kamu sampai babak belur hari ini, namaku bukan Yola Feby!”

Yola langsung angkat tangan, siap buat nyerang Rama.

“Tante Yola, tolong... ayo kita bicarain baik-baik. Jangan main kekerasan,” kata Ayu cepat-cepat berdiri di antara mereka, wajahnya tegang.

“Kalau kamu nggak mau Keluarga Ningrum kena getah karena bawa-bawa pecundang ke keluarga, mending kamu minggir dan jangan ikut campur!”

Bentakan dingin Yola bikin ruangan makin panas.

“Tante, dia suamiku,” kata Ayu pelan tapi tegas. “Harga dirinya, adalah harga diriku. Kalau dia salah, biar aku yang tanggung. Tapi aku lihat sendiri yang mulai duluan itu Heri. Kalau dia nggak sok kurang ajar, Arya nggak akan pernah sentuh dia.”

Suasana makin tegang.

“Oh jadi kamu ke sini bukan buat minta maaf, malah nuduh anakku yang salah?” Yola mendengus, sinis. “Si Sidik benar-benar hebat ya, bisa punya anak kayak kamu.”

Dia lanjut, “Dengar ya, Ayu. Adikmu mau nikah sama orang dari Keluarga Jaya. Jaya Real Estate itu ada di bawah kendali Heri. Kalau Keluarga Ningrum masih mau maju, mereka nggak bisa jauh-jauh dari Jaya. Kamu yakin masih mau sok keras kepala hari ini?”

Pria tadi mengepalkan tangannya. Dari nada suaranya jelas-jelas mengandung ancaman.

Ayu sempat kelihatan ragu.

Tapi Rama langsung maju, melindungi Ayu. Dengan suara tegas dia berkata, “Aku yang mukul dia. Ini nggak ada hubungannya sama Keluarga Ningrum. Aku ke sini cuma karena orang tua Ayu maksa. Tapi dari lubuk hatiku, aku nggak akan pernah minta maaf ke Heri. Kalau Keluarga Jaya mau ngapain pun, silakan. Hadapi aku.”

“Emangnya kamu berani karena bisa sedikit bela diri?” sindir si pria sambil nyipitkan mata. “Di Negara Endonesi ini, yang bisa berantem bukan cuma kamu, tahu?”

“Apa yang mau aku bilang, udah aku bilang. Mau kalian gimana, aku siap,” kata Rama dingin. Nggak ada takut-takutnya sedikit pun.

“Rama!! Dasar brengsek! Kamu udah bikin pacarku kayak gitu, aku sumpahin kamu mati konyol!” teriak Yuni.

Mata Rama langsung menyipit. Tatapannya tajam ngarah ke Yuni, bikin dia langsung ciut.

“Jaga mulutmu,” kata Rama pelan tapi mengancam.

Yuni langsung diam, jantungnya berdebar kayak abis ditatap hewan buas dalam gelap.

“Apa? Kamu juga mau pukul calon menantu ku?” Yola mendesis. “Bagus. Karena kamu udah dateng ke sini, jangan harap bisa pulang dengan kaki sendiri. Tama, telepon sekarang juga. aku pengen lihat, sehebat apa anak ini bisa bertarung.”

Begitu mendengar ucapan itu, Ayu langsung panik.

Dia masih ingat betul gimana Rama menunjukkan kemampuan bertarungnya di KTV lawan segambreng dilibas sendirian. Tapi ya tetap aja, Rama juga terluka parah, badannya penuh perban.

Kalau sampai kejadian lagi sekarang, bisa berabe banget.

Dengan cepat, Ayu buru-buru berkata, “Tante, maaf ya. Aku minta maaf atas nama suamiku. Kami benar-benar minta maaf.”

“Terlambat. Anak ini harus bayar mahal hari ini. Tama, kamu tunggu apa lagi? Cepat lakukan sesuatu!” desak Yola galak.

“Oke,” jawab Tama sambil langsung mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang.

Ayu makin panik. Dia sempat kepikiran buat hubungi polisi. Tapi sebelum sempat ambil ponsel dari tasnya, Yuni udah duluan nyamber.

“Kak, stop deh bela-bela dia terus. Percuma. Sekalian aja kita kasih pelajaran biar dia ngerti gimana kerasnya hidup. Tenang aja, aku nggak akan bunuh dia kok, cuma kasih sedikit... pengalaman pahit.”

Yuni ngomong sambil mengepal tangan, matanya dingin banget.

“Kembalikan ponselku!” seru Ayu cemas.

“Nanti. Setelah semuanya kelar,” jawab Yuni santai.

“Kamu”

“Ayu, santai aja. Gak usah takut,” potong Rama tenang. “Biarin aja mereka telpon siapa pun yang mereka mau. Aku juga pengen lihat sekuat apa sih Keluarga Jaya ini.”

Meski kondisinya penuh luka, Rama tetap tenang dan nggak kelihatan gentar sedikit pun.

Uang? Kekuasaan? Dia nggak punya itu semua.

Tapi kalau soal kemampuan bertarung, Rama nggak takut siapa pun.

“Hah, baiklah. Karena ucapanmu barusan, kalau kamu bisa bertahan dari semua ini, aku anggap masalahmu udah selesai. Tapi kalau kamu gagal... yah, siap-siap aja habisin sisa hidupmu di ranjang. Dan aku pengen lihat, masih setia nggak tuh istrimu yang manis itu? Atau dia bakal langsung cari suami baru.”

Ucapan Yola tajam banget.

“Bagus,” jawab Rama pendek tapi tegas. Dia sama sekali nggak mundur.

Ayu yang berdiri di sebelahnya cuma bisa menggigit bibir, hatinya was-was tapi nggak bisa berbuat banyak.

Tiba-tiba, dari luar terdengar suara keras.

“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di rumah sakit?”

Semua orang langsung noleh. Tama dan istrinya pun kaget begitu lihat siapa yang datang.

“Kakek Adi!” seru Tama langsung nyamperin sambil membungkuk hormat. “Saya nggak nyangka Anda mau datang lihat anak saya. Ini kehormatan besar buat keluarga kami!”

“Ah, kamu terlalu memuji. Aku cuma datang karena eh, Tuan Rama...”

Kakek Adi tiba-tiba terhenti saat lihat sosok Rama.

Dia jelas mengenali Rama, dan hampir saja menyebutnya dengan julukan aslinya: Tabib Sakti.

“Kakek Adi , Anda kenal... anak ini?” tanya Tama agak bingung.

Plak!!

“Berani-beraninya kamu!” Wajah Kakek Adi langsung berubah dingin, dan tanpa banyak omong dia menampar wajah Tama keras-keras.

“Gimana bisa kamu bersikap nggak hormat pada Tuan Rama?”

“Ah?! Kakek, ada apa ini?” Tama menutup pipinya yang memerah, benar-benar bingung dan syok berat.

Di sampingnya, Yola juga bengong. Dia yang tadi sombong dan galak, sekarang cuma bisa diam. Aura arogannya lenyap begitu saja.

Pak Tua Adi bukan orang sembarangan di Kota Dakarta. Nama dan pengaruhnya tersebar ke mana-mana. Siapa pun yang tahu siapa dia, pasti gak bakal berani main-main.

Dengan sorotan tajam, Kakek Adi menyapu pandangannya ke arah Tama dan istrinya. Suaranya berat dan tegas, “Coba, jelaskan. Sebenarnya ada masalah apa di sini?”

“Ini... ini...” Tama mulai tergagap, jelas takut banget.

“Pak Tua, biar istriku aja yang jelasin,” kata Rama sambil tersenyum santai.

“Istrimu? Tuan Rama, jadi wanita ini istrimu?”

Kakek Adi memandang ke arah Ayu.

“Iya. Namanya Ayu Ningrum,” Rama mengangguk ringan.

Ayu tampak kaget, dan wajahnya sedikit memerah. Begitu Kakek Adi menatapnya, dia langsung membungkuk sopan.

“Salam kenal, Pak Tua Adi. Saya Ayu Ningrum.”

“Kecantikan yang luar biasa, berdiri di samping Tuan Rama... Kalian berdua benar-benar pasangan serasi, seperti emas dan permata. Hebat, hebat,” ucap Kakek Adi sambil tersenyum bijak. “Kalau begitu, silakan ceritakan detail kejadiannya.”

“Baik, Pak Tua.”

Ayu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Setelah pikirannya lebih tenang, ia mulai menceritakan semuanya dari awal dari peristiwa di KTV sampai keributan di rumah sakit ini.

Kakek Adi mendengarkan dengan seksama. Alisnya sempat berkedut beberapa kali, jelas dia mulai marah.

Begitu cerita selesai, dia langsung berbalik. Tatapannya berubah tajam dan menusuk saat mengarah ke Tama yang kini berdiri kaku seperti patung.

“Tama,” suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Kau pikir Jaya Real Estate punyamu di Kota Dakarta udah cukup besar sampai bisa mengabaikan keberadaanku, Adi Hartono?”

Deg.

Tama pucat seketika dan langsung jatuh berlutut.

“Kakek Adi! Sumpah demi langit dan bumi, saya gak pernah punya pikiran macam itu! Saya benar-benar gak berani!”

Kakek Adi melangkah maju, suaranya dingin. “Dan kamu memperlakukan Tuan Rama seperti itu? Suruh orang buat hajar dia? Apa kamu sadar itu sama aja kayak menampar wajahku di depan umum?”

“Kakek Adi! Saya sadar saya salah!” Tama hampir menangis. “Tuan Rama, saya minta maaf... Itu semua karena kebodohan saya. Maaf! Maaf!”

Kakek Adi lalu menoleh ke Rama, dan dengan nada serius berkata, “Tuan Rama, soal orang ini... Anda ingin menyimpannya hidup-hidup atau saya langsung bersihkan sekarang juga? Satu kata dari Anda, saya akan atur semuanya.”

Ayu terkejut dengan betapa seriusnya ucapan itu. Beberapa orang yang ikut menonton dari kejauhan juga mulai ketakutan, sadar situasinya gak main-main.

Rama memandang Tama yang sekarang gemetar di lantai, wajahnya pucat seperti kain.

Dia diam sebentar. Matanya tenang tapi dingin.

“Aku enggak butuh darah di tangan orang lain hari ini,” ucap Rama akhirnya. “Tapi... biarkan dia tahu apa rasanya kehilangan segalanya.”

Kakek Adi mengangguk pelan. “Saya paham. Jaya Real Estate akan lenyap dari Kota Dakarta malam ini juga.”

Tama jatuh terduduk, wajahnya benar-benar hancur. Dia tahu, itu bukan sekadar ancaman. Begitu Pak Tua bicara, semuanya selesai.

Yola di sampingnya juga sudah kehilangan kata-kata. Wajahnya pucat pasi, tak berani mengangkat kepala.

Rama pun membalikkan badan, menatap Ayu.

“Ayok, kita pulang,” ucapnya lembut.

Ayu menggenggam tangannya, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia bisa bernapas lega.

Mereka berjalan keluar ruangan rumah sakit, meninggalkan Tama Jaya dan istrinya dalam diam penuh kehancuran.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!