Bagaimana jadinya seorang anak pelakor harus tinggal bersama dengan ibu tiri yang merupakan istri pertama dari ayahnya.
Alma selalu mengalami perbuatan yang tidak mengenakkan baik dalam fisik maupun mental, sedari kecil anak itu hidup di bawah tekanan dari ibu tirinya.
Akan tetapi Alma yang sudah remaja mulai memahami perbuatan ibu tirinya itu, mungkin dengan cara ini dia bisa puas melampiaskan kekesalannya terhadap ibunya yang sudah meninggal sedari Alma berusia 4 tahu.
Akankah Alma bisa meluluhkan dan menyadarkan hati ibu tirinya itu??
temukan jawabannya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Ameer kembali menatap layar laptopnya dengan dahi yang sedikit berkerut. Beberapa laporan dari perusahaan masih menumpuk, tapi pikirannya tak fokus. Baru saja ia selesai menerima pesan dari seseorang—pesan yang menyulut rasa kecewa yang sudah lama ia pendam. Belum sempat ia menghela napas panjang, tiba-tiba langkah kecil terdengar berlari dari arah depan.
"Oma... Opa mau ke mana?" tanya suara polos itu.
Zaidan berdiri di ambang pintu ruang tamu, matanya membulat saat melihat kakek dan neneknya berdiri di sana dengan koper besar. Di samping mereka, Om Reihan juga tampak siap pergi. Pemandangan itu membuat hati kecil Zaidan merasa cemas, seolah-olah sesuatu yang buruk sedang terjadi.
"Sayang..." sahut Sintia pelan, lalu segera menarik Zaidan ke pelukannya.
Anak kecil itu tak mengerti, tapi ia bisa merasakan pelukan neneknya yang basah karena air mata. Pelukan itu membuat dadanya ikut sesak.
"Oma, jangan menangis..." ucap Zaidan, suaranya ikut bergetar.
Sintia membenamkan wajahnya ke rambut Zaidan. Pelan, ia mulai memainkan peranannya—sebuah peran yang sudah ia rencanakan sejak lama untuk membuat cucu tirinya berpihak padanya.
"Maafkan Oma, Sayang... Oma harus pergi dari rumah ini..."
Zaidan tersentak mundur, menatap wajah neneknya. "Kenapa Oma pergi? Oma jangan tinggalin Zaidan... Zaidan gak mau!"
"Oma gak bisa tinggal di sini lagi, Nak. Papamu yang mengusir Oma..." jawab Sintia penuh sandiwara.
Zaidan membelalak, lalu dengan suara yang tinggi berkata, "Apa! Papa jahat banget sama Oma! Kenapa Papa usir Oma?!"
Sintia tersenyum samar, tangisnya tetap mengalir. "Itu semua gara-gara Mama barumu, Nak. Karena dia, Oma dan Opa harus keluar dari rumah ini."
Seketika hati Zaidan hancur. Ia memang belum sepenuhnya dekat dengan Alma, ibu sambungnya. Tidak karena Alma jahat, tapi karena sejak awal, Oma Sintia selalu menanamkan bahwa Alma adalah pengganggu di rumah mereka. Seorang wanita asing yang hanya ingin menggantikan posisi Mama kandung Zaidan.
"Oma... aku ikut Oma aja ya... aku gak mau sama Mama Alma!" rengek Zaidan sambil memeluk tubuh neneknya erat-erat.
Dari balik pintu ruang kerja, Ameer yang mendengar semua itu langsung berdiri dan melangkah cepat ke ruang tamu. Suaranya tegas dan penuh kendali.
"Zaidan, cukup!"
Semua mata menoleh ke arah Ameer. Zaidan, yang mendengar suara ayahnya, langsung menoleh. Wajahnya basah oleh air mata, tapi itu tak menghalanginya untuk memohon.
"Papa... jangan usir Oma. Zaidan gak mau mereka pergi!"
Ameer mendekat, menunduk, dan menggenggam kedua bahu putranya dengan lembut. "Sayang, Papa tidak pernah mengusir Oma. Justru Opa sendiri yang memilih pergi. Kalau kamu nggak percaya, tanya langsung ke Opa."
Zaidan memutar tubuhnya, menatap wajah sang kakek. "Opa… benar Papa gak usir Oma?"
Marcel mengangguk pelan. "Iya, Sayang. Ini keputusan Opa sendiri. Kamu tetap jadi anak baik ya, walau tanpa Opa dan Oma di rumah ini."
Zaidan menangis lebih keras. Ia tak ingin perpisahan ini terjadi. Tak tahu bahwa semua ini bukan karena Alma, bukan karena wanita yang selama ini dia abaikan. Tapi karena luka masa lalu yang belum disembuhkan oleh siapa pun.
"Oma... jangan pergi, please..." ucap Zaidan di sela tangisnya.
"Oma juga gak mau, Sayang... tapi semuanya karena Mama barumu," ulang Sintia, mempermainkan emosi anak kecil itu.
Ameer menghela napas. Lalu Alma datang dari arah dapur dengan wajah cemas. Ia berdiri cukup jauh, tidak ingin menginterupsi, tapi Zaidan melihatnya.
Seketika, anak itu berteriak, "Ini semua gara-gara Mama Alma! Zaidan benci Mama!"
Alma terdiam. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air matanya jatuh. Di depan umum, terutama di depan Zaidan, ia tak ingin terlihat lemah. Tapi tuduhan itu seperti belati yang menancap di dada.
Ameer langsung berdiri, menatap anaknya dengan tatapan kecewa.
"Zaidan!" serunya.
Tapi Alma melangkah maju dan menggenggam tangan Ameer. "Sudah... biar aku saja, Mas."
Wanita itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan Zaidan. Senyum lembut terukir di wajahnya meski hatinya remuk.
"Zaidan... Mama tahu kamu belum bisa terima Mama. Tapi Mama sayang sama kamu. Mama gak pernah mau kamu kehilangan siapa pun, apalagi Oma dan Opa. Tapi Papa kamu sedang berusaha menjaga kamu dari orang-orang yang mungkin bisa menyakitimu..."
Zaidan menoleh, bingung. Ia tidak mengerti. Baginya, Alma tetap orang asing.
"Tidak, Mama bohong... semua bohong..." ucapnya lalu memeluk Sintia lagi.
Ameer menatap Alma dengan perasaan bersalah. Wanita itu terlalu sering disalahkan atas luka yang tidak pernah ia ciptakan.
Marcel yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. "Sudah, Sin... hentikan semua ini. Kita sudah buat cukup kerusakan. Zaidan tidak seharusnya jadi alat permainan."
Sintia memalingkan wajahnya. Air matanya sudah bukan lagi tangis duka, tapi luka yang dicampur amarah.
"Kamu memang lemah, Mar..." gumamnya lirih.
Marcel menatap menantunya. "Ameer... jaga istrimu. Dia wanita baik. Dan Zaidan... akan tahu itu suatu hari nanti."
Ameer mengangguk. Ia menatap Alma penuh haru. Dalam diam ia berjanji, akan membuat putranya menyadari, bahwa ibunya yang sekarang... adalah satu-satunya orang yang tak pernah berhenti mencintai meski terus disalahkan.
*******
Saat ini Alma berusaha untuk mendekati Zaidan yang sedang duduk di kursi tamu, bocah kecil itu masih berlarut dalam kesedihannya, meskipun anak kecil itu masih bersikeras tidak mau menerima kehadirannya akan tetapi Alma berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan hati anak sambungnya itu.
"Zay, Mama boleh duduk di sini," ucap Alma tiba-tiba.
"Heeeeemb," sahut anak itu.
Alma pun mulai duduk di samping Zaidan, lalu Zaidan mulai menatap wajah ibu sambungnya itu dengan tatapan sedikit menohok.
"Ngapain sih, bukannya Mama itu jahat, kenapa Mama usir Oma," ucap anak itu.
"Sayang, Mama tidak pernah usir Oma dan Opa, mereka sendiri yang ingin keluar dari rumah ini, lagian kan Mama Alma di sini kan baru mana mungkin Mama berani mengusir Oma dan Opa," jelas Alma.
Seketika anak kecil itu mulai menatap Alma dengan penuh ketidak percayaan.
"Tapi kenapa kata Oma tadi Mama yang usir meraka?" tanya Zaidan.
"Mama juga gak tahu kenapa Oma bilang seperti itu, tapi percayalah Nak, Mama Alma tidak pernah usir siapapun," jelas Alma sedangkan anak sambungnya itu masih tetap tidak mau menatap wajahnya.
Bersambung ...
kalau sampai kecolongan ya ttnda global 😂😂😂😂 ya kan thor
ibu ga da otak,, segampang itu ninggalin anaknya segampang itu minta peluk
keren Alma good girl,,smart juga tuan Ammer
itu ibu turu perlu di kasih pelajaran yg sadis bisa Thor,,ku rasa ga yah is ok yg lain aja yg bikin dia sengsara