Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konfrontasi identitas
Malam itu, setelah seluruh karyawan pulang dan gedung Adhitama Group kembali sunyi, Devan masih terjaga di ruang kerjanya. Lampu kota berpendar dari balik jendela kaca besar, menambah kesan dingin pada ruangan yang didominasi warna abu-abu dan hitam. Namun, tidak ada yang lebih dingin daripada pikirannya sendiri.
Ia menutup laptopnya dengan kasar.
Percakapannya dengan Arash sore tadi terus mengganggu.
Gadis itu berbicara dengan suara mantap, tanpa keraguan sedikit pun ketika mengatakan bahwa ia tidak akan menyerah—bahwa ia harus bertahan agar tidak dikeluarkan dari kampus, agar listrik kosnya tidak kembali mati, agar utang pada Devan segera lunas. Semakin Devan memikirkannya, semakin ia tidak menerima jawaban itu.
“Kau terlalu keras kepala untuk alasan sesederhana itu, Maulidia…” gumamnya pelan.
Ia menekan tombol pada keyboardnya dan kembali membuka file rahasia yang telah ia lihat berkali-kali dalam sebulan terakhir. File itu berisi nama lengkap Arash dan asal-usul keluarganya, lengkap dengan sejarah perusahaan ayahnya yang dulu menjadi rival halus Adhitama Group.
Data intelijen itu tidak pernah salah.
Semua itu membuat Devan semakin tidak tenang.
Jika Arash memang berasal dari keluarga konglomerat, kenapa hidupnya berantakan? Kenapa menunggak listrik? Kenapa mau menjadi asistennya dan bekerja seperti karyawan biasa?
Ada sesuatu yang harus ia pecahkan.
Dan Devan Adhitama tidak pernah suka teka-teki yang belum selesai.
......................
Keesokan harinya, ketika langit mulai berubah oranye menjelang senja, Devan akhirnya memutuskan untuk menguji Arash secara langsung. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah terlalu lama menekan kepalanya. Ia harus memastikan dengan caranya sendiri.
Ia menekan tombol interkom.
“Arash ke ruangan saya.”
Tak lama kemudian, pintu diketuk.
“Masuk,” perintahnya.
Arash masuk sambil membawa file laporan harian. Jilbabnya sedikit berantakan karena seharian sibuk bolak-balik ke divisi keuangan dan legal. Meski wajahnya tampak lelah, langkahnya tetap mantap seperti biasa. Gadis itu menaruh file di meja Devan.
“Ini laporan yang Bapak minta.”
Devan menutup file itu dengan satu jari.
“Duduk, Maulidia.”
Arash menuruti, meski wajahnya sedikit bingung. Ia tidak terbiasa dipanggil masuk tanpa ada permintaan pekerjaan baru. Biasanya Devan hanya mengucapkan perintah tanpa banyak bicara.
“Saya punya tugas baru untukmu,” Devan memulai. Suaranya datar, tapi jelas menyembunyikan sesuatu yang lebih berat. “Tugas ini sensitif. Sangat sensitif. Dan hanya bisa saya titipkan pada orang yang integritasnya bisa dipastikan.”
Arash menelan ludah. “Tugas apa, Pak?”
Alih-alih menjawab, Devan membuka laci meja dan mengambil sebuah map cokelat tua. Map itu tampak lebih tua dari kebanyakan dokumen lain di ruangan itu dan jelas bukan file kerja biasa.
Ia meletakkannya di meja, lalu membuka halaman pertama dengan sengaja—perlahan, menghitung reaksi Arash.
“Adiguna Wiratama,” Devan membaca lantang.
“Pendiri Wiratama Group. Fatimah Wiratama. Dan…” Ia menatap Arash tepat di mata.
“Anak bungsu mereka, Arash Maulidia Wiratama.”
Tubuh Arash langsung menegang. Napasnya tertahan. Tangannya mengepal di atas pangkuan.
Ekspresi terkejutnya tidak bisa ia sembunyikan, meski ia berusaha keras.
Devan tersenyum tipis—sebuah senyum yang tidak pernah menunjukkan kehangatan. “Kenapa kau terlihat terpukul, Maulidia?” tanyanya perlahan. “Kau pikir saya tidak akan tahu siapa kau sebenarnya?”
Arash mengembuskan napas panjang, memejamkan mata sejenak sebelum berkata, “Kenapa… kenapa Bapak tahu? Dan kenapa Bapak diam selama ini?”
Devan bersandar santai di kursinya, kedua tangannya terlipat di dada. Sikapnya tenang, tetapi tatapannya menusuk.
“Saya tahu segalanya tentang orang yang bekerja dengan saya. Termasuk kau, keluargamu, dan alasan kenapa kau menyembunyikan identitasmu untuk… hidup mandiri, bukan?”
Nada sarkastik pada dua kata terakhir membuat pipi Arash memanas.
“Pak, saya memang tidak ingin bergantung pada siapa pun,” jawab Arash pelan namun mantap. “Saya ingin membangun hidup saya sendiri.”
Devan mengetuk meja dua kali.
“Terlalu mulia untuk gadis konglomerat yang menunggak listrik,” sindirnya.
Arash menunduk malu, tapi tidak membalas.
Ia tahu tidak ada gunanya membela diri.
Devan melanjutkan, suaranya kini lebih rendah—lebih berbahaya.
“Saya tidak peduli kau anak konglomerat atau office boy. Selama kau berutang pada saya, kau akan bekerja sampai lunas.”
Matanya menyipit.
“Tapi ada satu aturan, dan ini tidak bisa dinegosiasikan.”
Arash mendongak.
“Jika Ayahmu atau kakakmu—Aldrich Wiratama—berusaha ikut campur sedikit saja, saya akan mempublikasikan semuanya ke media.”
Arash membeku.
“Mulai dari insiden mobil, hutangmu, sampai identitasmu yang kau sembunyikan. Nama keluargamu akan tercoreng.”
Arash membuka mulut, tapi kata-kata tertahan. Ia memejamkan mata, menahan rasa takut dan marah yang bercampur.
“Saya… paham, Pak,” akhirnya ia berkata dengan suara gemetar. “Keluarga saya tidak akan ikut campur. Saya akan selesaikan semuanya sendiri.”
Devan mengangguk puas.
“Bagus.”
Ia menutup map itu dengan pelan, lalu mendorongnya ke samping.
“Sekarang dengar ini,” lanjutnya dengan nada berbeda—lebih resmi, tapi tetap tajam. “Saya punya tugas di luar kantor untukmu. Tugas penting. Dan… kau tidak boleh menolak.”
Arash mengangkat wajahnya, bingung dan tegang.
“Tugas apa, Pak?”
Devan mengambil secarik kertas dari folder lain.
Namun sebelum memberikannya, ia menatap Arash dalam-dalam, seakan menilai kesiapan gadis itu dari cara ia bernapas.
“Tugas ini akan membuktikan apakah kau benar-benar pantas mendapatkan kepercayaan saya atau tidak, Maulidia.”
Arash menggenggam kakinya kuat-kuat.
“Saya siap, Pak.”
Devan tersenyum tipis—senyum licin yang mengisyaratkan bahwa bab baru antara mereka baru saja dibuka.
“Baik,” katanya. “Tugas mu akan dimulai malam ini.”