NovelToon NovelToon
Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Mata-mata/Agen / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural / Trauma masa lalu / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan

Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.

Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.

“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.

Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Mantra Terlarang, Terpaksa ia Lantunkan.

***

"Astaga!!! Ada apa ini?!"

Kekacauan pecah di lorong rumah sakit militer. Suara Dokter Elibrech menggema, memecah kesunyian, yang di penuhi ketegangan. Untuk kedua kalinya dalam minggu yang sama, Lanang—atau tubuh Ad yang kini ditempatinya—harus dilarikan ke rumah sakit Ayah Baptisnya bertugas.

Dua brankar meluncur cepat, roda-rodanya bergemuruh di atas lantai marmer yang dingin. Di bawah sorot lampu neon yang silau, wajah Adam tampak pucat dan basah oleh darah yang masih mengalir dari kedua telinganya. Ia hanya setengah sadar, dunia di sekelilingnya berputar cepat.

“Code Red Trauma! Dua pasien! Diduga perdarahan dalam!” teriak salah satu paramedis ke arah interkom, suaranya memicu respons instan.

Pintu ganda menuju ruang gawat darurat terbuka dengan hentakan. Tim dokter dan perawat yang sudah siaga langsung menyambut, bergerak dengan gesit dan terlatih bak sebuah tim operasi.

“Pasien pertama, laki-laki, perdarahan dari kedua telinga, pingsan. Tekanan darah turun drastis, 80/60!”

“Pasien kedua,laki-laki, usia sebaya, perdarahan lebih hebat, napasnya pendek dan tidak teratur!”

“Siapkan alat suction! Panggil radiologi untuk CT-Scan segera!” perintah Dokter Elibrech. Wajahnya berkerut profesional, namun sorot matanya yang sesekali melirik ke arah anak baptisnya itu menyimpan seribu kecemasan yang tak terucap.

Jarum infus menembus kulit Adam, menghantarkan cairan dingin yang perlahan mengalir. Suster Mikha memegangi lengannya dengan kuat namun penuh hati-hati, sementara yang lain menempelkan elektroda di dadanya. Beep-beep-beep—monitor memantau detak jantungnya yang tak beraturan, terlalu cepat dan mengkhawatirkan.

“Detak jantungnya tidak stabil… kita harus stabilkan! Jangan sampai kolaps,” seru seorang dokter muda.

Adam mengerang lemah, matanya terbuka setengah. Dunia terlihat samar dan dipenuhi warna kemerahan. Suara mesin, instruksi yang saling bersahutan, dan bau antiseptik yang menusuk menyatu memenuhi indranya.

“Bryan…” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

Di brankar sebelah, tubuh Bryan mendadak kejang. Seorang perawat segera menahannya. “Saturasi oksigennya turun hingga 70%!” “Intubasi!Segera!”

Selang bantuan napas secepatnya dimasukkan, diiringi suara 'wosssshhh... dari mesin ventilator. Napas Bryan perlahan mulai stabil, meski darah masih terus merembes dari telinga dan hidungnya.

Dokter Elibrech mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Kedua pasien ini mengalami cedera otak akibat gelombang kejut hebat. Bukan cedera fisik biasa. Perdarahan dari telinga mengindikasikan kemungkinan ruptur gendang telinga dan peningkatan tekanan di dalam tengkorak. Kita harus bersiap untuk operasi dekompresi. Jika tidak… salah satu dari mereka bisa gagal napas dalam hitungan jam.”

Ruangan berubah menjadi arena pertempuran melawan waktu. Setiap petugas medis bergerak dengan presisi, bagai sebuah mesin yang terlatih. Satu menahan kepala pasien, yang lain dengan cekatan memasang selang bantuan napas, sementara seorang lagi bersiap dengan defibrillator, jaga-jaga jika jantung pasien berhenti berdetak.

Dokter Elibrech menatap layar monitor, rahangnya mengeras menahan tensi. “Dicurigai ada perdarahan dalam tengkorak. Koordinasi dengan bedah saraf, sekarang!!” perintahnya singkat dan cepat.

Lanang, memang tak mengerti dengan istilah-istilah medis itu, tapi dari keadaan yang sebegini gawat, ia sadar kemungkinan nyawa Bryan sedang berada di ujung tanduk. Dan semua itu gara-gara ulahnya yang sembarangan bertindak.

'Tidak! Aku tak boleh membuat kesalahan sama yang kedua kalinya. Aku tak boleh membuat temanku mati gara-gara aku.'

batin Lanang mengeluh frustasi.

Lalu tanpa pikir panjang, akhirnya ia memutuskan harus melakukan sesuatu. Dalam keadaan hampir sekarat, ia pun memejamkan mata, bersiap untuk melakukan ritual paling terlarang.

Dan, tiba-tiba...

"Zein Thasarn—Shanu-shanu Kayastarm!"

Suara aneh itu pelan-pelan terdengar di seluruh koridor rumah sakit, tapi juga seolah muncul dari ruang hampa.

"Dayast Karastarm!"

Suaranya tidak seperti berasal dari mulut manusia manapun. Ia seolah merembes dari celah-celah dinding, dari lantai, bahkan dari udara yang mereka hirup, lalu menyusup masuk lewat pori-pori.

Namun, tak seorang pun sempat mempedulikannya. Kekacauan kembali memuncak. Roda brankar Bryan berderit keras menyusuri koridor rumah sakit yang sempit. Ia meronta-ronta di atas tandu, tubuhnya diguncang kejang, sambil berteriak-teriak.. "Panas! Panas! Lepaskan aku!!! Lepaskan kami berdua!"

Tubuhnya basah kuyup oleh darah dan keringat dingin.

“Ruang operasi kedua siap! Segera bawa dia masuk!” teriak Dokter Elibrech mendorong brankar Bryan lebih cepat. Wajahnya tak hanya tegang melihat kondisi Bryan, tapi juga menyimpan ketakutan lain—akan suara aneh yang tiba-tiba memenuhi lorong itu.

"Sswahhh!!!"

Dan suara batin itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan menusuk. Beberapa perawat saling memandang dengan wajah pucat.Mereka semua mendengarnya. Ini lebih jelas dari sebelumnya, berarti bukan halusinasi.

“Barusan… suara apa itu?” bisik Suster Mikha, suaranya parau. Tangannya masih erat mencengkeram brankar, meski jantungnya berdebar kencang.

Tak ada yang bisa menjawab. Mereka semua sama-sama kebingungan.

Dan pelakunya? Justru terbaring lemah di brankar belakang mereka, yaitu Lanang.

Mulutnya memang terkunci rapat, namun air mata menggenang di sudut matanya. Jemarinya mencengkeram kain brankar hingga berkerut. Dalam keputusasaan, hanya satu jalan yang ia tahu untuk menyelamatkan Bryan: membuat perjanjian baru dengan Entitas lama yang seharusnya tak pernah lagi ia jamah. Dengan berat hati, ia pun memaksakan diri merapal mantra terlarang itu.

"...Aku Lanang Jagad Segara. Putra Bumi Lapis ke Tujuh. Dengarlah panggilan darahmu ini..." Suara batinnya bergema,kali ini lebih dalam dan bergetar, menyebut namanya sendiri penuh beban.

"...Masuklah ke dalam lukaku. Jilatlah nanahnya, hisaplah demamnya, kunyahlah rasa sakitnya! Bersatu dengan dagingku, dan tukarlah penderitaan ini dengan kekuatan-Mu yang kelam dan abadi!"

Dokter Elibrech tiba-tiba berhenti mendorong, lehernya menegak seolah mendengar sesuatu dari kejauhan.

‘Drrrtt... Trank!!!’

Lampu neon di atas kepala mereka berkedip-kedip liar tanpa pola.Udara di sekeliling mereka juga bergetar, kaca jendela berdesis panjang. Beberapa perawat terjatuh sambil menutupi telinga mereka, ketakutan.

"...Sembuhkan bukan untuk kemurnian, tapi untuk kelanjutan. Pulihkan bukan untuk kehidupan, tapi untuk pelayanan. Aku adalah wadah-Mu yang rela, jadikan aku alat kehendak gelap-Mu di dunia yang fana ini!"

Di depan pintu masuk ruang operasi, brankar Bryan makin bergetar hebat. Tapi tubuhnya yang semula kejang-kejang tiba-tiba membeku kaku, seolah disentuh oleh suatu kekuatan yang sama sekali asing.

Suara mantra itu kembali menggema, melengking dan penuh teror, seakan menolak untuk berakhir:

"Aku bukan memohon, aku menagih janji Sang Purbakala! Dengan daging yang terluka ini sebagai persembahan, dengan nyawa yang merintih ini sebagai umpan!"

Lalu...

'Buffttt!'

Dari tubuh Lanang, mendadak mengepul asap tipis berwarna kehitaman. Asap itu merembes ke lantai, menyebarkan bau anyir tanah basah yang tercampur darah. Tapi tak ada satupun yang menyadari keganjilan itu. Karena suara selanjutnya terdengar lagi sebagai penutup yang lebih mencekam.

"Shanu-shanu Kayastarm! Dayast Karastarm!"

 "Sswahhh!"

Dentuman terakhir menghentak ruangan, cukup kuat hingga membuat plester dinding retak kecil.

TAR!

Dan salah satu lampu neon di atas kepala mereka pecah berantakan. Tapi seketika... Keheningan yang menyergap. Lampu yang tersisa kembali menyala normal.

Alarm darurat yang tadinya meraung-raung pun tiba-tiba berhenti.

Suasana sunyi yang mencekam menguasai lorong itu.

“A... Apa... sudah selesai?” Suster Mikha berbisik parau, buku-buku jarinya memutih karena mencengkeram gagang brankar terlalu kuat.

“Sepertinya... iya,” sahut seorang perawat muda di belakangnya, suaranya masih bergetar ketakutan. Tangannya refleks menutup mulutnya.

“Tadi itu suara apa?” tanya seorang perawat laki-laki lain. Tapi tak ada yang bisa menjawab, karena semua mata justru mengarah pada satu titik, yaitu brankar Bryan.

“Hah...? Dia... dia sudah bangun?” seru Mikha dengan wajah pucat penuh keheranan.

Di atas brankarnya, Bryan sudah duduk tegak, entah sejak kapan. Matanya terbuka lebar, namun tatapannya kosong dan hampa. Ia tidak memandang siapa pun, seolah sedang melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain.

***

N/B

Penulis ingin mengatakan sesuatu:

"Jangan. pernah praktikan, atau membaca mantra ini secara lantang. Sesungguhnya hanya hasil imajinasi murni dari penulis.

Tapi karena isinya terlalu kelam, di takutkan akan mempengaruhi tindakan, maka tidak di anjurkan untuk di praktikan secara langsung. Anggap saja sebagai Metafora dan bumbu pelengkap cerita ini. Terimakasih atas perhatiannya...."

1
Nana Colen
lanjut thooooor aku suka 😍😍😍😍😍
Yuni_Hasibuan: Sabar kakak...
OTW... Bruuummmmm...
total 1 replies
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤🥰🥰
Yuni_Hasibuan: Terimakasih udah mau mampir kakak 🥰🥰🥰
total 1 replies
Maulana Alfauzi
Belanda memang licik
Yuni_Hasibuan: Liciknya kebangetan Bang.
total 1 replies
Maulana Alfauzi
hmm...
seru dan menyeramkan.
tapi suka
Maulana Alfauzi
Aku suka aja sama novel fantasi begini.
Maulana Alfauzi
Makasih up nya Thor.
semakin seru ceritanya
Yuni_Hasibuan: Makasih udah Mampir Bag.../Pray/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!