Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Tiba-Tiba
"Saat kontrak berakhir, kita akan resmi menjadi suami istri yang sesungguhnya, Vy." Noah menatap sang istri yang kini duduk di hadapannya.
Ivy tersenyum lembut. Jari mereka saling bertautan.Ivy masih bungkam dan perlahan menarik napas panjang.
"No, aku mengambil keputusan ini bukan tanpa alasan. Bagaimanapun kita harus menyelesaikan kontrak. Semua berawal karena bisnis. Ada tanda tangan di atas materai, aku hanya tidak ingin suatu hari tiba-tiba kamu menuntutku." Ivy terkekeh kemudian masuk ke dalam pelukan Noah.
"Ayolah! Aku tidak akan menuntutku, Vy. Hal itu tidak menguntungkan untukku." Noah tersenyum, kemudian mendaratkan kecupan pada puncak kepala sang istri.
"Hati manusia selalu berubah, No. Kita nggak akan tahu bagaimana ke depannya." Ivy tersenyum lembut sambil mendongak menatap Noah.
"Baiklah, aku menghargai keputusanmu." Noah kembali mengecup puncak kepala Ivy.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Ivy seraya menatap mata Noah.
Noah mengangguk, lalu melepaskan pelukannya. Ivy pun berdiri, menyambar tasnya. Dia mengulurkan tangan dan langsung diraih oleh Noah.
Keduanya pun berjalan bergandengan tangan keluar dari rumah. Sepanjang perjalanan menuju kantor, tautan jemari mereka tak lepas. Ivy dan Noah seakan enggan dipisahkan.
Semua karyawan yang melihat tampak tersenyum. Keduanya terlihat begitu harmonis dan serasi. Namun, ketenangan mereka berubah ketika pintu kantor Noah terbuka lebar.
"Ngapain kamu ke sini?" Suara Noah begitu dingin ketika mendapati Gendis ada di dalam ruangannya.
Gendis tersenyum lembut. Dia berjalan mendekati Noah dan Ivy sambil memeluk sebuah map berisi berkas. Perempuan tersebut tersenyum tipis sambil menatap tautan tangan Ivy yang tak lepas dari Noah.
"Saya di sini buat kerja, Pak. Saya ditugaskan Bu Mentari menggantikan Rachel yang mendadak mengundurkan diri."
Ivy tersenyum miring. Tatapannya tak lepas dari Gendis yang terlihat profesional. Akan tetapi, tetap saja Ivy menaruh curiga.
"Baiklah, Bu Gendis. Mohon bantuannya untuk pekerjaan suami saya. Saya yakin Anda yang sangat profesional dan disiplin. Saya menyerahkan urusan pekerjaan kepada Anda. Tapi ...." Ivy maju selangkah mendekati Gendis.
"Jangan pernah melanggar batas dan menyentuh apa yang bukan menjadi milikmu. Kamu tahu aku sangat memegang teguh hal ini." Ivy tersenyum tipis kemudian mundur selangkah.
Perempuan tersebut mendekati Noah. Memeluknya sebentar, lantas melepaskan pelukan. Ivy sedikit mengangkat tumit, lalu mendaratkan ciuman pada bibir Noah.
Noah awalnya terbelalak. Akan tetapi, lelaki tersebut langsung memahami maksud Ivy. Dia mendorong tengkuk Ivy sehingga membuat ciuman mereka semakin dalam.
Gendis yang menyaksikan hal itu tersenyum getir. Dia membuang muka. Jemarinya semakin erat meremas map yang ada dalam pelukan.
"Kerjanya yang semangat, Sayang. Sebentar lagi kita akan melangsungkan resepsi mewah. Kita butuh banyak biaya!" Ivy melepaskan ciumannya, tetapi Noah masih tetap melingkarkan lengan pada pinggang ramping sang istri.
"Pasti, kamu juga cari omzet yang banyak! Kita butuh keuntungan yang lebih besar lagi untuk merawat dan membesarkan anak-anak kelak." Noah mengakhiri percakapan itu dengan mengecup pipi Ivy.
Ivy melirik Gendis dan menabrak bahu perempuan itu saat melewatinya. Noah tersenyum lembut hingga pintu kantor tertutup. Begitu menatap Gendis, tatapan dan senyuman lembutnya hilang.
Noah seakan sedang menegaskan bahwa yang berhak mendapatkan perlakuan lembut darinya hanya Ivy. Gendis berusaha mendekat, tetapi Noah langsung menghardiknya.
"Sekretaris harus terus berada di meja kerjanya. Kamu tidak perlu masuk ke ruanganku kecuali ada hal yang sangat mendesak dan penting." Noah menajamkan tatapannya.
Gendis akhirnya mengentakkan kaki ke atas lantai dengan keras. Perempuan tersebut berjalan ke arah pintu, lalu membantingnya kasar. Noah tersenyum miring sebelum akhirnya duduk di meja kerja.
Tak menunggu lama, sore harinya Noah langsung menemui sang ibu. Mentari sedang bersantai di taman belakang sambil memberi makan ikan koi kesukaannya. Kedatangan Noah hanya ditanggapi dengan sebuah senyum tipis.
“No, kamu datang sendiri?” tanya Mentari tanpa menoleh, tangannya tetap menggenggam makanan ikan, menaburkannya perlahan ke permukaan kolam yang beriak tenang.
Noah menyilangkan tangan di depan dada. Napasnya dihela dalam, mencoba menahan emosi yang sedari tadi menggelitik tenggorokannya.
“Aku ingin bertanya satu hal, Ma,” ucap Noah datar, tetapi tegas.
Mentari akhirnya menoleh, menatap putranya yang kini berdiri kaku dengan sorot mata penuh protes. “Tentu. Duduklah dulu, No.”
“Aku tidak akan duduk sebelum mendapat jawaban. Kenapa Mama memilih Gendis untuk menggantikan Rachel? Kenapa harus dia?” suara Noah mulai meninggi.
Mentari tersenyum tipis, seakan sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. “Karena Gendis lebih pantas, Noah. Karena dia … jauh lebih cocok untukmu.”
Noah memicingkan mata. “Cocok? Cocok dalam hal apa?”
Mentari berdiri dari bangku taman, melangkah pelan mendekati putranya. Tatapannya lembut, tetapi dalam seperti menyampaikan bahwa apa yang akan dia katakan telah lama mengendap di dalam pikirannya.
“Ivy itu keras kepala, terlalu spontan, tidak punya latar belakang keluarga kuat. Kamu lupa? Perusahaan ini butuh mitra, bukan hanya dalam bisnis, tapi juga dalam kehidupan. Gendis berasal dari keluarga terpandang, pendidikan tinggi, dan tahu bagaimana bersikap. Dia tahu caranya menjadi pendamping yang elegan. Berbeda dengan Ivy yang menurutku terlalu biasa.”
Noah menggeleng. “Jadi Mama menilai seseorang hanya dari latar belakang dan sikap yang tampak dari luar?”
“Aku menilai dari apa yang akan menguntungkanmu, No. Kamu butuh seseorang yang bisa menenangkanmu, bukan memancing emosimu. Gendis punya semua yang tidak dimiliki Ivy. Dia cantik, pintar, sabar, bahkan tahu bagaimana bersikap dengan orang tuamu. Kamu pikir Ivy bisa seperti itu? Dia bahkan tidak pernah berusaha mengambil hatiku!” ujar Mentari sambil menyipitkan mata.
“Aku tidak butuh istri yang dibuat-buat sempurna, Ma. Aku butuh istri yang tulus, jujur, dan mencintai aku karena diriku, bukan karena statusku. Ivy sudah membuktikan semuanya bahkan sebelum aku tahu bahwa dia akan jadi bagian dari hidupku. Dan sekarang, kalau Mama terus campur tangan seenaknya, aku pun akan bertindak semauku!” Noah mencengkeram jemarinya kuat. Rahangnya menegang.
“Noah!” seru Mentari, terkejut oleh nada bicara putranya.
“Aku serius. Kalau Mama masih memaksakan orang seperti Gendis untuk mendekatiku, maka aku pun akan membuat Ivy semakin dekat bahkan menyatu denganku! Biar Mama tahu, siapa sebenarnya yang aku inginkan berada di sisiku. Mama nggak bisa terus-terusan mengendalikan aku!”
Tanpa menunggu jawaban, Noah berbalik dan melangkah cepat meninggalkan taman. Mentari tercekat. Pandangannya membeku menatap punggung putranya yang menghilang di balik pintu kaca.