NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18. Harapan Yang Tak Disadari

Malam sudah cukup larut saat Sheina masih terjaga di kamarnya. Lampu hanya dibiarkan menyala redup, menyisakan suasana yang tenang tapi terasa kosong. Ia berbaring di atas kasur, memeluk guling dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggenggam ponsel.

Setelah sempat ragu beberapa saat, Sheina akhirnya membuka daftar kontak dan menekan satu nama yang tak lagi asing baginya, Salma—sahabatnya sejak SMA, yang juga pernah menemaninya melewati masa-masa kuliah.

Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya tersambung.

“Shein? Wah tumben banget nelpon malem-malem. Kenapa? Suara kamu kayak lagi sedih,” kata Salma, terdengar ceria tapi juga khawatir.

Sheina menarik napas pelan sebelum menjawab, “Aku ketemu Fahri.”

Salma langsung bereaksi, “Serius? Fahri yang dulu pernah deket sama kamu itu?”

“Iya.”

“Terus gimana? Dia masih kayak dulu nggak?”

Sheina menatap langit-langit kamar sebelum menjawab, “Masih. Perhatian, hangat dia ngomong sama aku masih kayak dulu pas kuliah.”

Salma terdengar menarik napas di seberang sana. Suaranya kemudian berubah lebih lembut. “Sheina kamu nggak salah kok ngerasa bingung sekarang. Aku juga tahu kok, dulu dia emang suka sama kamu. Tapi kan dia nggak pernah bilang apa-apa. Nggak pernah ngomong langsung.”

Sheina hanya diam. Kata-kata Salma terasa tepat, seperti menyentuh sesuatu yang sudah lama dia simpan.

“Dan karena dia nggak pernah bilang apa-apa, kamu juga nggak punya kewajiban buat ngebales atau ngerasa nggak enak,” lanjut Salma.

Sheina mengangguk kecil meski Salma tak bisa melihat. “Makasih, Sal.”

Suara tawa kecil terdengar dari Salma. “Santai, Shein. Ngomong-ngomong sekarang kamu udah deket sama orang baru belum?”

Pertanyaan itu membuat Sheina terdiam beberapa detik. Pikirannya langsung tertuju pada Davison—pria yang datang tiba-tiba dan menawarkan sesuatu yang di luar nalar. Pernikahan rahasia, kontrak aneh, dan banyak hal yang bahkan belum bisa ia ceritakan ke siapa pun.

“Ada,” jawab Sheina akhirnya.

“Hah? Siapa? Kok kamu nggak cerita?” tanya Salma cepat, nadanya jelas penasaran.

Sheina tersenyum kecil sambil menatap layar ponselnya.

“Masih rahasia,” jawabnya pelan.

Salma langsung tertawa. “Ih nyebelin banget sih kamu. Pokoknya nanti aku harus jadi orang pertama yang denger cerita lengkapnya, ya!”

Sheina ikut tertawa. Malam itu, suara sahabat lamanya cukup untuk membuat hatinya terasa sedikit lebih ringan.

Sheina mematikan panggilan dengan Salma, lalu meletakkan ponsel di samping bantal. Tapi belum sempat ia benar-benar memejamkan mata, pikirannya sudah kembali ke rutinitas esok hari. Acara lomba anak-anak TK yang sudah beberapa minggu mereka siapkan akhirnya akan digelar besok pagi. Ia tahu harus bangun lebih awal, menyiapkan diri, dan memastikan semua yang bisa ia bantu tidak tertinggal.

Sheina baru saja akan meraih selimut, ketika layar ponselnya kembali menyala.

Satu pesan masuk. Dari Davison.

Pak Davison: Besok saya nggak bisa mengantar kamu ke TK. Saya harus siap-siap dari pagi buat acara penting.

Sheina membaca pesan itu dalam diam. Rasanya pelan tapi langsung sampai ke dada. Padahal sejak tadi ia tidak berharap banyak, tapi entah kenapa, pesan itu membuat ruang di dadanya jadi agak sempit.

Ia memutar tubuh, menatap layar ponsel yang masih menyala di dekat bantal.

Sheina: Oke. Aku ngerti kok.

Pesannya singkat. Datar. Tapi saat ia menekannya dan ponsel kembali gelap, ada rasa aneh yang tersisa.

Sheina menatap langit-langit kamar. Ia tahu Davison pasti sibuk. Acara besok bukan acara kecil, dan posisinya sebagai tamu VIP dari yayasan tentu saja membuat tanggung jawabnya lebih besar. Pria itu pasti perlu terlihat baik di depa kamera sebagai sponsor terbesar di sana.

Sheina paham. Sangat paham.

Tapi tetap saja ada sedikit rasa kecewa.

Ia bahkan tidak mengerti kenapa ia merasa seperti itu. Bukankah sejak awal semuanya sudah jelas? Mereka bukan pasangan sungguhan. Tidak ada kewajiban untuk mengantar, menemani, apalagi memperhatikan.

Namun justru karena tahu semua itu, rasa kecewa kecil yang muncul malah terasa menyebalkan.

“Apa sih, Shein,” gumamnya, kesal sendiri.

Ia menarik selimut hingga ke dagu, lalu membalikkan badan menghadap ke tembok. Matanya masih terbuka, menatap bayangan samar di dinding. Perasaan itu belum sepenuhnya pergi. Bukan marah, bukan sedih tapi semacam kecewa yang bahkan tidak bisa dijelaskan ke siapa pun.

Dan itu yang membuatnya kesal. Karena yang membuat hatinya sedikit berat malam ini adalah seseorang yang sejak awal, seharusnya tidak ia harapkan apa pun.

...----------------...

Pagi datang dengan cahaya hangat yang menyelinap pelan lewat celah tirai kamar. Sheina membuka matanya perlahan, membiarkan tubuhnya menyesuaikan diri dengan udara pagi yang masih sedikit dingin. Ia bangkit, merapikan selimut, lalu berjalan ke kamar mandi dengan kepala yang masih setengah tertunduk, membiarkan pikirannya tetap hening.

Hari ini hari penting—lomba TK yang sudah disiapkan sejak jauh-jauh hari. Sheina berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan semalam. Rambutnya ia ikat rapi ke belakang, disisir hingga tak ada helai yang mengganggu wajah. Ia mengenakan sedikit polesan bedak, lip tint tipis agar tidak terlihat pucat, dan sebagai sentuhan akhir, ia menjepit bulu matanya agar terlihat lebih lentik.

Bukan karena ingin tampil berlebihan. Tapi karena ingin terlihat segar dan pantas. Untuk anak-anak, untuk guru-guru, untuk orang tua murid. Dan mungkin, untuk seseorang yang akhir-akhir ini diam-diam memenuhi pikirannya.

Sheina turun ke ruang makan dengan langkah ringan. Bau nasi goreng dari dapur langsung menyambutnya. Di meja makan, Sean—adik laki-lakinya—sudah duduk dengan rambut acak-acakan dan suara sendok yang beradu dengan piring.

Begitu melihat kakaknya datang, Sean langsung bersuara, “Lhooo Kak Sheina dandan, nih. Tumben banget. Ada apa nih? Mau ketemu siapa?”

Sheina menghela napas, duduk di kursi, lalu menatap adiknya dengan malas.

“Biasa aja, Sean. Hari ini ada lomba TK.”

“Alasanmu lemah,” Sean cengengesan sambil tetap mengunyah.

Ayah mereka yang baru muncul dari ruang tengah, ikut melirik ke arah Sheina. Dengan nada tenang, ia berkata sambil berjalan menuju meja, “Nah, gitu. Terlihat lebih cantik.”

Sheina menunduk sebentar, malu-malu. Tapi dalam hatinya, komentar sederhana itu cukup untuk membuat pagi terasa lebih ringan.

Ia mulai menyendok sarapan ke piring. Makan dengan lahap, sambil sesekali ikut merespons obrolan kecil di meja makan. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang terasa hilang. Sesuatu yang biasanya jadi bagian dari rutinitas pagi beberapa hari terakhir.

Tidak ada pesan masuk. Tidak ada klakson singkat dari luar rumah. Tidak ada suara Davison yang menyapa lewat jendela mobil.

Sheina tahu alasannya. Semalam Davison sudah bilang kalau ia tidak bisa menjemput. Ia harus datang lebih awal, sibuk mempersiapkan acara, mungkin juga bertemu dengan panitia lain atau pihak yayasan.

Sheina paham. Ia sepenuhnya mengerti.

Namun rasa kecewa kecil tetap muncul tanpa bisa dicegah. Seperti bagian dari dirinya yang terlalu diam-diam menaruh harapan. Harapan bahwa pagi-pagi seperti ini akan terus seperti kemarin, diantar, ditemani, diberi ucapan ringan sebelum mulai sibuk.

Dan kesadaran itu membuat Sheina sedikit kesal.

Bukan pada Davison. Tapi pada dirinya sendiri.

Karena ternyata, ia sudah terlalu jauh memberi ruang pada sesuatu yang seharusnya hanya sementara.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!