perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam kelabu dan benda berbentuk tabung sebagai penyelamat jiwa
Di bawah siraman cahaya rembulan yang keperakan, seolah berlomba dengan bintang-bintang yang bertaburan di langit malam, sebuah gubuk sederhana di Kedung Dadap menyimpan kisah cemas dan harapan. Di dalam rumah Mbok Yam, sang rembulan seakan menjadi saksi bisu bagi perjuangan seorang bayi kecil yang berjuang untuk bertahan hidup.
Sore itu, rumah Mbok Yam ramai oleh kunjungan tetangga dan sanak saudara yang ingin menjenguk bayi mungil yang baru lahir prematur. Senyum dan doa mengalir deras, seolah memberikan semangat bagi si bayi untuk terus berjuang. Sesuai instruksi Ko Acun, sang bayi dibaringkan di tempat tidur yang telah dihangatkan,kanan dan kiri tubuhnya dikelilingi kain lembut yang membalut botol kaca berisi air panas, menciptakan kehangatan yang menenangkan.
Namun, kehangatan itu tak bertahan lama. Waktu terus berputar, jarum jam terus berdetak, hingga akhirnya malam tiba. Sekitar tengah malam, ketika air dalam botol telah mendingin dan tak lagi memberikan kehangatan, si bayi yang imut nan lucu mulai menggigil, kulitnya membiru pucat.
Melihat kondisi bayi yang memprihatinkan, Yati yang sejak tadi berada di sampingnya sontak histeris. "Mas! Mas! Mas!" teriaknya melengking, memecah kesunyian malam dan membangunkan seisi rumah.
Mendengar teriakan Yati, Mbok Yam, Mbah Rotib, dan Manto berlarian menuju kamar bayi. "Ti, ada apa, Ti?" tanya Manto panik, wajahnya pucat pasi.
"Mas, lihat bayinya! Biru! Kedinginan, Mas! Bagaimana ini?" jawab Yati histeris, air mata membasahi pipinya. Wajah pucat Yati menular kepada Manto, juga kepada kakek dan neneknya. Mereka semua bingung dan panik, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam kebingungan itu, Mbok Yam mencoba menenangkan diri dan berpikir jernih. "Mungkin air panas di botol sudah dingin," ujarnya, berusaha mencari solusi.
Mendengar ucapan Mbok Yam, Manto segera membuka kain yang menyelimuti botol. Benar saja, air panas di dalamnya telah mendingin, tak lagi memberikan kehangatan yang dibutuhkan bayi mereka. "Oh, benar, Ti! Air panasnya sudah dingin!" seru Manto, wajahnya semakin pucat. Tanpa berpikir panjang, ia berlari tergesa-gesa menuju dapur, berniat memanaskan air.
Dengan gerakan panik, Manto mengambil botol minyak tanah dan menyiramkannya ke tungku. Namun, karena terlalu gugup, ia menyiramkan minyak tanah terlalu banyak, hingga api yang menyala menjadi sangat besar dan tak terkendali.
"Bruuummm!" Api berkobar hebat, menjilat-jilat dinding dapur dan hampir membakar seluruh ruangan. Asap hitam mengepul tebal, memenuhi udara dan membuat mata perih. Melihat api yang semakin membesar, Mbok Yam dan Mbah Rotib berlari menuju dapur, berteriak histeris. "To! Ada apa? Kenapa apinya sangat besar?" tanya Mbok Yam panik, wajahnya pucat pasi.
"Iya, tadi saking gugupnya, saya menyiram minyak tanah kebanyakan," jawab Manto menyesal, wajahnya dipenuhi ketakutan, hingga ia terdiam mematung, tidak bisa bereaksi.
Dengan sigap, Mbah Rotib mengambil seember air dan menyiramkan air itu ke api. "Byuuuurrr!" Api mengecil, tetapi belum sepenuhnya padam. Mbah Rotib kembali menyiramkan air hingga api benar-benar padam. "Huft... Sedikit lagi, sedikit lagi rumahnya habis terbakar," ujar Mbok Yam, menghela napas panjang. "Untung tidak sampai ke kayu bakar."
Mbok Yam menatap Manto dengan tatapan prihatin. "Sudahlah, To, biar Mbok saja yang memanaskan air. Kamu baluri saja bayinya dengan minyak telon sesuai dengan instruksi Ko Acun.”
Manto mengangguk lemah, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, dan jantungnya berdebar kencang. Dengan terbata-bata, ia menjawab, "Ba... ba... baik, Mbok." Lalu, ia berjalan cepat menuju kamar bayi, meninggalkan Mbok Yam yang memanaskan air di dapur.
Sementara Mbok Yam memanaskan air, Manto dengan tangan gemetar membaluri tubuh Bintang dengan minyak telon. Aroma minyak telon yang khas memenuhi ruangan, seolah memberikan perlindungan bagi bayinya dari dinginnya malam dan ancaman bahaya.
Setelah air panas siap, Mbok Yam segera mengisi botol kaca dan membalutnya dengan kain halus. Dengan hati-hati, ia menaruh botol yang telah diisi itu di samping bayi yang telah membiru pucat. Selang beberapa menit, kulit si bayi mulai memerah kembali, tanda kehangatan telah merasuk ke dalam tubuhnya. "Alhamdulillah..." gumam Mbok Yam lirih, air mata haru menetes di pipinya. Ia bersyukur karena Bintang telah selamat dari bahaya maut.
Namun, malam itu adalah malam panjang yang penuh kekhawatiran. Mereka bertiga,Yati, Manto, dan Mbok Yam,bergantian berjaga di samping Bintang, memastikan kehangatannya terjaga dan kondisinya stabil. Mereka menyadari bahwa perjuangan mereka masih panjang, dan mereka harus terus berjuang untuk melindungi si bayi.
Fajar mulai menyingsing, menyapu gelapnya malam dengan jingga yang berangsur terang. Ayam jantan bersahutan dari berbagai penjuru, mengumumkan datangnya hari baru. Di dapur, Mbok Yam sudah sibuk sejak tadi. Butiran nasi setengah matang dikukus dalam dandang kayu, uapnya mengepul membentuk kabut hangat yang meneduhkan.
Di atas dandang itulah, sang bayi yang baru lahir dimandikan dengan uap. Ini adalah ritual yang diajarkan Ko Acun untuk merawat bayi prematur secara tradisional, menghangatkan tubuh mungilnya. Bayi itu menggeliat lemah, wajahnya merekah nyaman dalam embun hangat yang membalut kulitnya. Setelahnya, tubuhnya dibaluri minyak telon, lalu dibedong rapat sebelum ditidurkan dalam boks yang telah dilapisi kain lembut yang tebal.
"Sudah, Nduk," bisik Mbok Yam pada Yati. "Ayo kita jemur si kecil sebentar di teras."
Boks kayu itu diletakkan di atas meja kecil di halaman, disinari matahari pagi yang hangat. Cahaya keemasan menyentuh kulit bayi itu, seolah memberkati setiap tulang mungilnya untuk tumbuh kuat. Tak lama, riuh rendah suara anak-anak tetangga memecah kesunyian pagi. Mereka berkerumun, mata penasaran menatap bayi prematur yang sedang dijemur seperti benda berharga.
"Lho, kok kecil banget, Mbak Yati?"
"Ih, lucu sekali, kayak boneka!"
"Boleh pegang tidak, Mbok?"
Sorak-sorai mereka membuat hati Yati terasa terbagi. Senyum bahagia merekah melihat buah hatinya dikagumi, tetapi di sudut lain, ada pilu yang merayap. Bayi ini adalah pemenang dari pertaruhan nyawa, hadiah yang nyaris hilang saat ia terpeleset kemarin.
Tak lama, Manto muncul dengan pakaian kerjanya. "Aku berangkat dulu, Yah," ucapnya pada Yati sebelum mencium keningnya dan anaknya.
Hari itu, Manto mendapat tugas ke Pelabuhan Cilacap untuk mengawasi pemuatan minyak tanah dari kapal tanker. Aroma minyak dan garam memenuhi udaranya saat ia tiba di dermaga. Saat tangki sedang diisi, ia naik ke geladak kapal, hanya ingin melihat-lihat sekilas. Tetapi pandangannya tertuju pada pemandangan tak biasa: beberapa anak buah kapal sedang duduk melingkar, menikmati makanan dengan sebuah benda berbentuk tabung perak di tengah-tengah mereka.
Manto mendekat penuh rasa ingin tahu. "Maaf, boleh tanya?" katanya kepada seorang ABK yang sedang menyendok mi.
"Iya, ada apa?" jawab pelaut itu ramah.
"Itu namanya apa?" Manto menunjuk benda silinder mengilap itu.
"Oh, ini thermos. Buat menyimpan air panas."
Jantung Manto berdebar kencang. Ia teringat kejadian tadi malam yang begitu mendebarkan, "Kuat berapa lama airnya tetap panas?"
"Bisa sehari semalam, bahkan lebih," jawab ABK itu sambil menuang air panas dari termosnya ke dalam cangkir. Uap masih mengepul deras, membuktikan kata-katanya.
"Boleh saya beli satu?" pinta Manto penuh harap. Pada tahun 1969, di desanya belum ada benda yang bernama thermos, alat untuk menyimpan air panas dalam waktu lama.
Wajah para pelaut itu berkerut. "Maaf, Pak. Ini untuk persediaan kami di laut. Kalau malam dingin atau cuaca buruk, ini penyelamat kami."
Namun, Manto tak menyerah. Dengan suara bergetar, ia bercerita tentang perjuangan istrinya melawan kanker, bayi prematur yang harus dijaga suhu tubuhnya, dan betapa termos itu bisa menjadi penyelamat di malam-malam panjang. Kata-katanya mengalir deras, dibumbui harapan dan keputusasaan, hingga akhirnya salah seorang ABK menghela napas.
"Baiklah," ujarnya. "Tapi kami butuh gantinya. Tujuh karung padi untuk satu termos ini."
Manto tak ragu. "Setuju!" katakan, seolah bukan tujuh karung padi yang ia beri, tetapi tujuh gunung sekalipun akan ia daki. Saat ia turun dari kapal dengan termos itu tergenggam erat, rasanya seperti membawa pulang sebuah keajaiban. Benda sederhana ini bagaikan nyawa baru bagi buah hatinya, sebuah penemuan yang akan mengubah hari-hari mereka selanjutnya.