 
                            Di tengah kekacauan ini, muncullah Black Division—bukan pahlawan, melainkan badai yang harus disaksikan dunia. Dipimpin oleh Adharma, si Hantu Tengkorak yang memegang prinsip 'hukum mati', tim ini adalah kumpulan anti-hero, anti-villain, dan mutan terbuang yang menolak dogma moral.
Ada Harlottica, si Dewi Pelacur berkulit kristal yang menggunakan traumanya dan daya tarik mematikan untuk menjerat pemangsa; Gunslingers, cyborg dengan senjata hidup yang menjalankan penebusan dosa berdarah; The Chemist, yang mengubah dendam menjadi racun mematikan; Symphony Reaper, konduktor yang meracik keadilan dari dentuman sonik yang menghancurkan jiwa; dan Torque Queen, ratu montir yang mengubah rongsokan menjadi mesin kematian massal.
Misi mereka sederhana: menghancurkan sistem.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telanjang DIA Tengah Konspirasi
"Suram sekali," Tika mendesis, mengeluarkan rokok dari balik hoodie-nya dan menyalakannya. "Setelah dicap buronan internasional, kita malah sembunyi di sarang tikus ini. Aku rindu lampu neon." Tawa sarkasnya pecah, nada kelelahan tergambar jelas. "Tapi setidaknya, di sini tidak ada orang melarat yang ingin menjual kepala kita seharga uang rokok."
Adharma, yang hanya mengenakan kaus hitam dan celana tactical yang sobek, keluar. Ia menghela napas panjang, mengeluarkan asap rokok yang sudah mengepul di paru-parunya. Topeng tengkoraknya kini hanya tergantung di lehernya. Ia memandang langit Sentral Raya yang diselimuti kabut asap.
"Tidak ada lagi Orphan King, Tika," ujar Adharma, suaranya tenang, tetapi penuh kepahitan yang baru. "Kini kita melawan dunia. Dan dunia jauh lebih dingin daripada Raja Mafia."
Yama Mendrofa, The Chemist, keluar dengan wajah yang masih pucat dan marah. Dia mengeluh sambil memarahi udara. "Dunia gila! Aku mencuri vaksin penyakit untuk membuktikan konspirasi korup, dan dunia malah mencapku teroris. Padahal iblis-iblis Rhausfeld itu yang harusnya dicap teroris! Aku harus tidur! Aku butuh reaktor kimia baru!"
Gunslingers (Edy Dhembeng) keluar terakhir. Tubuhnya yang setengah cyborg memancarkan bunyi mekanis halus. Ia memindai sekeliling, visor matanya berkedip merah.
"Ini markasku, Darma," ujar Edy, suaranya mekanis. "Jaga tempat ini bersih. Terakhir kali aku kemari, ada terlalu banyak kotoran di sudut."
Saat Gunslingers selesai berbicara, sebuah mobil sedan hitam mewah, yang seharusnya berada di Istana Negara atau Kedutaan Besar, muncul dari tikungan, lampu depannya menyinari mereka berempat. Mobil itu berhenti sepuluh meter di depan mereka.
Black Division langsung siaga. Adharma menarik topeng tengkoraknya ke wajahnya. Harlottica dan The Chemist mengeluarkan senjata darurat mereka. Gunslingers mengarahkan laras senapan serbu curiannya ke mobil.
Pintu mobil terbuka. Dua orang turun. Seorang wanita dewasa yang anggun mengenakan setelan formal mahal, dan seorang pria muda yang rapi di sampingnya.
Menteri Luar Negeri Puja Fernando dan Asisten Aditya Rahmansyah.
Aditya tampak pucat, tubuhnya bergetar. Ia menelan ludah, jelas ketakutan setelah menyaksikan kegilaan di Bar Harlottica.
Puja Fernando mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, ekspresinya tenang, namun matanya menunjukkan kewaspadaan yang mematikan. Aditya mengikuti, tangannya terangkat kaku.
"Jangan tembak!" seru Puja Fernando, suaranya lantang namun terkontrol. "Saya Puja Fernando, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia! Saya di sini bukan untuk menangkap Anda!"
"Omong kosong!" seru Harlottica, tidak percaya. Belati di tangannya berkilat di bawah cahaya gudang. "Kau melanggar perintah Presidenmu! Kau mengikuti buronan PBB! Ini adalah jebakan, Nyonya Menteri!"
The Chemist, yang lebih skeptis terhadap otoritas, mengangkat senjatanya. "Jebakan diplomatik? Kau ingin negosiasi, lalu kau mengirim Pengaman Kuat dari belakang. Katakan alasannya! Cepat!"
"Aku hanya ingin bicara!" desak Puja. "Aku tahu tentang Rhausfeld! Aku tahu tentang Vial 17-C! Aku tahu kalian adalah monster yang kami butuhkan untuk melawan iblis! Aku tidak ada niat buruk!"
Gunslingers, yang paling rasional di antara mereka, mengunci larasnya ke dada Puja. "Niat baik di bibir seorang Menteri sama saja dengan peluru palsu. Buktikan, Nyonya. Atau aku akan menguji armor kevlar di balik jas mahalmu."
Puja Fernando memejamkan mata sejenak, menerima penghinaan dan ancaman itu.
Namun, sebelum Gunslingers bisa melepaskan tembakan, tangan Adharma yang kuat menahan laras senjata Edy.
"Turunkan," perintah Adharma, suaranya rendah dan penuh perhitungan.
Harlottica dan The Chemist terkejut. Adharma tidak pernah gegabah dalam mengambil risiko.
Adharma berjalan maju dua langkah, mendekati Puja Fernando dan Aditya. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Kau ingin aku percaya pada Pemerintah yang baru saja mencap kami teroris global, Nyonya Menteri?" Suara Adharma bergetar dengan ejekan. "Kau ingin kami percaya pada simbol yang mewakili kehancuran keluarga kami?"
"Saya mempertaruhkan segalanya dengan datang ke sini, Adharma," jawab Puja, matanya menatap tajam ke topeng tengkorak itu. "Saya mempertaruhkan perintah Presiden. Saya mempertaruhkan karir saya. Apa lagi yang kau inginkan agar kau percaya?"
Adharma terdiam sejenak. Ia melihat keputusasaan dan ketakutan yang tersembunyi di mata Puja, dan kepanikan total yang tidak bisa disembunyikan oleh Aditya.
"Aku butuh bukti bahwa kalian tidak terikat pada kekuasaan atau status," kata Adharma. "Kalian datang ke Distrik 16 yang kumuh mengenakan lambang kekuasaan. Kekuatan kalian terletak pada kain mahal dan gelar yang kalian pakai."
Adharma menunjuk dengan jari telunjuknya. Perintahnya dingin, brutal, dan merendahkan.
"Buka pakaian formal kalian, Nyonya Menteri. Sekarang."
Puja dan Aditya saling pandang, terkejut. Permintaan itu adalah penghinaan total terhadap protokol dan status.
Aditya Rahmansyah berbisik panik ke telinga Puja. "T-tidak, Bu Menteri! Mereka akan menembak kita! Aku tidak mau telanjang di tembak vigilante!"
Puja membalas bisikan itu dengan ekspresi marah, lalu menatap Adharma. Ia mengangguk perlahan. Ini adalah harga yang harus dibayar untuk masuk ke dalam permainan Black Division.
Tanpa ragu, Puja Fernando mulai membuka setelan jasnya, satu per satu kancing dibuka dengan gerakan mantap. Ia melepaskan blazer mahalnya, lalu kemeja sutranya.
Aditya, setelah menerima tatapan tajam dan perintah non-verbal dari Puja, mengikutinya dengan tangan gemetar. Ia membuka dasi, kemeja, dan celana formalnya.
Gerakan itu terasa lambat dan sinematik. Mereka melucuti lambang kekuasaan mereka di hadapan empat monster yang penuh luka.
Pakaian mahal mereka jatuh ke tanah berdebu di Distrik 16.
Kini, Aditya Rahmansyah hanya berdiri dengan kaus dalam putih, lalu boxer yang sudah lusuh karena ketegangan. Ia memeluk dirinya sendiri, menahan rasa malu dan dingin.
Sementara itu, Puja Fernando berdiri tegak, hanya mengenakan bra dan celana dalam berwarna gelap. Sosoknya terpampang jelas di bawah lampu gudang yang redup. Puja memiliki badan yang terawat, sangat sexy dan ideal meskipun usianya sudah matang. Namun, tidak ada rasa malu atau rona merah yang terpancar di wajahnya. Ia menatap Adharma dengan tatapan yang tetap tenang dan menantang.
Harlottica yang melihat pemandangan itu, yang seharusnya sudah terbiasa dengan vulgaritas dan ketelanjangan, bersiul panjang dan keras.
The Chemist yang selalu fokus pada ilmu pengetahuan, kaget. Matanya melebar, ia menjatuhkan senjatanya, tidak percaya. Gunslingers mendengus, visor matanya berhenti berkedip, menunjukkan kebingungan dalam sistemnya.
Adharma tetap tenang di balik topeng tengkoraknya, mengunci pandangannya pada Menteri yang telah melucuti dirinya sendiri.
Puja Fernando berbicara, suaranya dingin, menantang, dan penuh tekad.
"Sekarang," kata Puja, mengabaikan rasa dingin yang menyentuh kulitnya, mengabaikan ketelanjangan vulgarnya di hadapan para kriminal brutal. "Saya sudah meninggalkan semua status dan harga diri saya di jalanan kotor ini. Apa lagi yang kau inginkan, Adharma, agar kau percaya padaku?"