Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Dua hari sudah berlalu sejak kejadian di ruang kerja Bram, dan sudah dua hari juga Bianca terus menghindari orangtuanya. Waktu yang Bram berikan bukanlah waktu yang cukup untuk ia bisa menyelesaikan semua jadwal klien dan semua urusan pekerjaannya, tapi meskipun waktu terus berjalan, Bianca masih enggan untuk menyelesaikannya satu per satu.
Bianca melepaskan gantungan boneka yang selalu bertengger di tas, menggenggamnya, hal yang Bianca lakukan jika membutuhkan dorongan keberanian. Sosok anak laki-laki yang membantunya dulu dan yang mengingatkannya untuk berani dan melawan, sesuatu yang tidak pernah dilakukan Bram kepadanya. Bianca tidak pernah tahu nama dan wajah yang menolong dan memberinya boneka itu tapi ia masih berharap bisa bertemu dengannya.
Gantungan boneka itu menjadi kekuatan tersendiri bagi Bianca, gantungan itu mengingatkan nya pada kata-kata anak laki-laki itu untuk tidak diam saja dan harus berani melawan, sayang hal itu tidak berlaku ketika berhadapan dengan Bram. Bianca tidak pernah berani melawan Bram.
sejak saat itu, secara perlahan Bianca mulai berani menghadapi masalahnya, tidak hanya pasrah dan diam, tidak hanya menjadi yang paling lemah. Bianca mulai sering mencari Psikolog yang disediakan sekolahnya ketika ia tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Itulah awal mula Bianca tahu bahwa bercerita dapat sedikit meringankan sesuatu dalam dirinya, dan ia ingin menjadi pendengar bagi siapa saja yang merasa tidak pernah didengar.
Kemunculan Jean berhasil mengejutkan Bianca yang masih sibuk dengan gantungan boneka di tangannya.
“Maaf Mbak Bianca, saya sudah mengetuk dari tadi tapi tidak ada jawaban.” Ujar Jean ketika mendapati atasannya sedikit terkejut mendapati kemunculannya.dengan cepat Bianca tersenyum kepada asistennya.
“enggak apa-apa, Jean. Ada apa?” tanya Bianca sambil kembali menggantungkan gantungan boneka itu ke tasnya.
“Ada seorang pria bernama Saka, menunggu Mbak Bianca di depan.” Mendengar jawaban Jean, Bianca mengerutkan dahinya heran.
Bianca bangkit berdiri, “saya akan menemuinya, jadwal sesi saya selanjutnya di jam berapa?” tanya Bianca sebelum benar-benar beranjak.
“masih sekitar 2 jam lagi, Mbak.” Mendengar jawaban Jean, Bianca mengangguk dan meninggalkan ruangannya. Di depan sesuai dengan informasi yang Jean berikan, ada pria bernama Saka yang sedang membolak-balikkan majalah yang memang disediakan di ruang tunggu.
“Kak Saka.” panggil Bianca setelah berada di dekat pria itu. Pria yang di sapa langsung menghentikan aktivitas dengan majalah ditangannya, berdiri dan tersenyum kepada Bianca. “Ada apa Kak Saka mencariku?” tanya Bianca lagi.
“apa kamu ada waktu?” tanya Saka tidak menjawab pertanyaan Bianca, ”aku ingin mengajakmu makan siang.” Lanjut Saka ketika tidak mendapat jawaban dari Bianca, ia berusaha mengutarakan maksudnya menemui wanita itu.
“aku punya waktu sekitar dua jam.” Saka tersenyum mendengar jawaban Bianca, “aku ambil tasku dulu ya, Kak.” Ujar Bianca sambil melangkah kembali ke ruangannya dan keluar dengan membawa tas yang sudah bertengger di pundaknya.
*
Di tempat lain, Marvin masih berdiri diam memerhatikan Anton, “bagaimana keadaan papa hari ini?” tanya Marvin masih dengan nada canggung ketika hari ini ia memutuskan untuk menjenguk papanya yang sudah dipindah ke ruang rawat biasa. tentu saja setelah memastikan Febi tidak ada disana.
“sudah lebih baik, dalam beberapa hari papa sudah boleh pulang.” Jawab Anton dengan senyum di wajahnya. Marvin masih berdiri kaku di sebelah pembaringan Anton, tidak membuat pergerakan apapun, matanya pun terus menghindari tatapan pria yang terbaring di depannya.
“sejak kapan papa punya penyakit jantung?” pertanyaan Marvin berhasil memberi kehangatan di hati Anton, meski kaku tapi Anton tahu sebenarnya Marvin peduli.
“tiga tahun lalu, tapi papa menolak melakukan tindakan apapun.” Jelas Anton memberi jawaban kepada putranya.
Marvin mengerutkan dahinya, “kenapa?” tanyanya heran. Anton hanya menggeleng.
“Segala sesuatu bisa terjadi di meja operasi.” Anton memberikan jawaban yang mengambang. Resiko dari tindakan yang akan ia dapatkan hanya Tuhan yang tahu. Ia tidak siap menghadapi kematian disaat putranya masih belum mau menemuinya. Marvin semakin tidak mengerti dengan jawaban Anton.
Pintu yang terbuka membuat Marvin dan Anton menoleh, seketika tubuh pemuda itu menegang. Febi yang baru saja akan menyampaikan salam kepada suaminya juga sama terkejutnya mendapati putra sulungnya disana.
Melihat tubuh Marvin yang menegang, secara perlahan Anton berusaha meraih tangan putranya, mengusap sekilas seolah mengatakan ‘tidak apa-apa’. Marvin memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya kembali dibuka untuk siap menghadapi apapun.
“masih punya hati untuk menemui papamu?” bukan sapaan yang didapatkan tapi pertanyaan ketus yang terlontar dari mulut Febi.
“siang, ma.” Marvin memilih tidak menanggapi pertanyaan ketus Febi dan memilih menyapa wanita itu dengan sopan. Febi hanya melengos melewati Marvin dan menaruh bawaannya di meja yang ada di ruang rawat suaminya.
“kamu tidak makan, Mas?” tanya Febi ketika matanya melihat bahwa makanan suaminya masih utuh, kali ini nada suaranya lebih lembut di dengar telinga.
“nanti saja.” Jawab Anton singkat sambil terus memerhatikan putranya yang semakin tidak nyaman. “Bukankah kamu bilang ada meeting penting, nak?” tanya Anton kepada Marvin, Marvin sempat menatap Anton ia heran mengapa Anton tiba-tiba mengatakan hal itu, ia tidak memiliki meeting apapun siang ini.
“kembalilah ke kantor.” Lanjut Anton, Marvinpun mengangguk kemudian berpamitan kepada Anton dan Febi, melangkah meninggalkan ruang rawat Anton
“tidak usah melindunginya, dia masih menghindari aku kan?” tanya Febi pada suaminya setelah Marvin menghilang di balik pintu, yang tanpa keduanya sadari putranya masih berdiri disana terhalang pintu ruang rawat yang tadi tidak ditutup rapat oleh Marvin.
“bagaimana dia tidak menghindarimu, kamu aja ketus gitu.” Balas Anton sambil menghembuskan nafasnya.
“setiap melihatnya aku tidak bisa melupakan kejadian yang menimpa Martha, Mas.” Sahut Febi, “Aku tidak bermaksud ketus padanya tapi perasaan marah itu selalu muncul, kalau dia menjaga adiknya dengan baik, kita tidak kehilangan Martha.” Lanjut Febi, suaranya terdengar lebih menggebu, ada letupan amarah disana.
“aku mengerti kesedihanmu, tapi saat itu dia juga masih kecil, sayang.” Ujar Anton lembut. “peristiwa itupun sudah berlalu lebih dari dua puluh tahun.” Gumam Anton lirih
“tapi kamu lihat sendiri, setelah sekian kali kamu masuk rumah sakit, baru ketika kamu di ICU dia mau datang.” Anton memejamkan matanya, ia tahu Febi juga menunggu putra mereka tapi semua yang dilakukan Marvin tidak pernah sempurna di mata Febi. “Dia memang tidak peduli, apa kematian kita baru akan membawanya pulang?” Febi melanjutkan perkataannya masih dengan menggebu dan menunjuk ke arah pintu ketika menyebutkan kata dia.
“ssst, tidak seperti itu. jangan terus berpikir negatif tentang Marvin.” Anton masih merespon dengan lembut, Febi tidak lagi menanggapi, ia memilih diam menekan rasa menggebu dalam dadanya.
dibalik pintu yang sengaja tidak ditutup rapat, Marvin mendengarkan pembicaraan orangtuanya. Dadanya kembali terasa sesak, kakinya lemas tapi dengan cepat ia kembali menegakkan tubuhnya dan melangkah perlahan meninggalkan rumah sakit.
Ia tidak menyangka, Febi masih membencinya karena kejadian yang menimpa Martha, ditambah dirinya yang terus menghindar karena tidak mau terhimpit tekanan dari Febi malah membuat dirinya dinilai tidak peduli dengan keluarganya.
Tidakkah orangtuanya tahu kalau bukan hanya mereka yang kehilangan Martha, dirinya pun kehilangan adik satu-satunya yang ia miliki. Apakah rasa duka hanya milik mereka ? Disaat Febi berduka sangat dalam selalu ada Anton untuknya tapi Marvin malah kehilangan segalanya.
Marvin tidak membelokkan mobilnya menuju kantor, ia memilih penthouse untuk menyendiri karena ia tahu Saka tidak mungkin pulang sesiang ini. Bisikan-bisikan untuk melukai dirinya terus terdengar di telinga pria itu, mendengar setiap perkataan Febi berhasil membangunkan sesuatu yang beberapa hari ini tertidur dalam dirinya.
Pikirannya yang semakin kacau berhasil membuat kristal bening memenuhi kelopak matanya, membuat pandangannya mengabur. Dengan cepat Marvin mengerjapkan matanya berusaha mengembalikan penglihatannya, tanpa ia sadari ia menerobos lampu lalu lintas yang sudah berubah merah, laju mobilnya yang pelan menghalangi perempatan jalan, sampai suara klakson sebuah truk dari arah kiri menyadarkannya. Marvin membelalakan matanya terkejut melihat laju truk yang cukup kencang ke arahnya, dengan panik pria itu menginjak rem, dan tabrakan pun tidak dapat dihindari.
Suara orang-orang yang berlari ke arah lokasinya masih sempat dilihat Marvin, suara orang banyak yang berteriak dan heboh melihat kejadian itu pun masih sempat terdengar meski samar sebelum pandangannya menggelap dan kesadarannya hilang.