"Aku tidak butuh uangmu, Pak. Aku hanya butuh tanggung jawabmu sebagai ayah dari bayi yang aku kandung!" tekan wanita itu dengan buliran air mata jatuh di kedua pipinya.
"Maaf, aku tidak bisa!" Lelaki itu tak kalah tegas dengan pendiriannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikapnya sedikit baik
"Mas Axel muntah lagi?" tanya bibik baru saja selesai membersihkan halaman belakang.
"Iya Bik, tolong bantuin ya Bik. Kalau aku yang bantuin takutnya nanti salah paham," jawab Sofia.
"Ya Mbak." Bibik segera berjalan menghampiri Axel.
"Aku tidak mau, Bik. Aku maunya Sofia yang bantuin aku!" Axel menolak saat bibik hendak mencoba mengusap punggungnya.
Bibik menatap Sofia dengan bingung, karena Axel tidak mau dibantuin olehnya.
Sofia menghela nafas pelan, ia terpaksa membantu ayah anaknya itu. Daripada di recoki terus, lebih baik ia bantu saja."
"Biar aku saja Bik," ucap Sofia berjalan menghampiri Axel yang kembali muntah.
"Baik mbak, jika butuh sesuatu beritahu bibik ya. Bibik mau lanjut beberes kamar atas," ujar bibik.
"Baik, Bik."
Setelah bibik pergi, Sofia masih diam saja berdiri di belakang Axel. Ia masih ragu untuk membantu lelaki itu. Takut dirinya salah lagi. Soalnya manusia ini sangat aneh.
Hueek! Hueek!
"Kamu kenapa masih bengong sih. Bantu aku Sofia!" titah Axel kepayahan saat cairan warna hijau melalui mulutnya. Rasanya sangat pahit sekali.
Sofia dengan ragu mengusap punggung Axel. Sungguh perasaannya saat ini sangat entah. Jantungnya berdentum secara tak beraturan.
"Jangan punggung, disini usapnya," intrupsi Axel seraya meraih tangan Sofia, lalu memindahkan di tengkuknya.
Sofia tak berkata-kata. Ia mengikuti perintah lelaki sumbu pendek ini. Persis seperti petasan, gampang sekali meledak. kesabarannya setipis tissue.
Axel merasa lebih tenang saat tangan Sofia menyentuh tengkuknya. Mendadak perutnya tidak lagi mual.
"Udah aman?" tanya Sofia memastikan.
Axel mengangguk. "Sudah," jawabnya seraya mencuci bibirnya.
"Bantu aku duduk di sana," titahnya lagi.
"Masih bisa jalan kan? Nggak usah manja," ujar Sofia menatap malas.
Axel menatap tajam, sehingga membuat Sofia gugup. "Kamu tuh niat nggak sih bantuin aku?"
"Kalau nggak niat mana mungkin aku bantuin, mending aku tinggal ke kamar," jawab Sofia sembari memapah lelaki itu.
Axel kembali menghirup aroma wangi tubuh Sofia. Sungguh sangat nyaman dan menenangkan.
"Kenapa menatapku seperti itu? Apakah wajahku sangat memuakkan?" tanya Sofia tidak nyaman saat Axel menatap dan begitu dekat.
Axel tak menyahut, ia menarik sebuah kursi yang ada di ruang makan. Mana mungkin ia mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai wangi wanita itu.
"Ambilkan aku makan," titahnya.
Sofia tak menolak, ia segera mengisi piring yang ada di hadapan Axel.
"Mau sayur?" tawar Sofia.
"Sedikit saja."
Sofia mengambilkan sesuai request Axel. Ia mempersilahkan Axel makan setelah di layani dengan baik. Meskipun mulutnya sering sekali berkata buruk, tetapi bagaimanapun juga dia adalah ayah dari bayi yang ia kandung. Berharap suatu saat sikap Axel bisa sedikit baik pada dirinya.
"Kamu mau kemana?" tanya Axel saat Sofia hendak beranjak.
"Mau balik ke kamar. Bapak sudah bisa aku tinggal 'kan?" jawab Sofia.
"Belum, aku mau kamu duduk disini temani aku makan," titahnya.
"Aku nggak mau!" tolak Sofia. Makin lama makin ngelunjak nih orang.
Axel menghela nafas dalam. "Sof, ayolah. Aku tidak mau berdebat denganmu lagi. Apa susahnya hanya di minta duduk disini?"
"Lagian kamu tuh mengkek sekali. Bukannya kamu itu benci lihat wajah aku? Tumben selalu minta aku temani?" tanya Sofia tidak paham.
"Jangan tanya padaku. Aku juga tidak tahu kenapa jadi begini," jawab Axel menatap malas.
Sofia tak lagi menyahut. Dari tadi dirinya kebelet ke kamar mandi, maka ia memilih menggunakan kamar mandi yang ada di dapur.
"Kamu mau kemana?" tanya Axel masih tak rela di tinggal oleh Sofia.
"Mau ke kamar mandi. kenapa, mau ikut juga?" sahut Sofia menatap malas.
"Nggak sopan banget kamu ngomong sama aku ya."
"Salah sendiri, kenapa riweh sekali jadi orang. Udah kayak anak kecil takut di tinggal ibunya," jawab Sofia seraya berjalan menuju kamar mandi.
Axel membuang nafas kasar. Ia juga kesal pada diri sendiri. Kenapa sekarang hidupnya jadi ketergantungan dengan wanita itu. Ini benar-benar gila dan tak masuk akal. Apa jangan-jangan dirinya terkena guna-guna oleh Sofia?
Setelah selesai dari kamar mandi, Sofia kembali duduk di samping Axel. Tentunya permintaan Axel, karena dia tak mau berjauhan dari Sofia.
"Sof, nanti siang kita di minta mama ke RS. Aku ke dokter penyakit dalam, kamu ke dokter obgyn," ucap Axel di sela makannya.
"Iya, tadi udah di kasih tahu oleh dokter Seno," jawab Sofia.
"Pak, aku udah boleh balik ke kamar?" tanya Sofia. Rasanya bosan sekali hanya duduk menemani Axel makan.
"Aku belum selesai makan, itu banyak cemilan, kamu makan saja biar nggak bosan," jawab Axel sembari mendekatkan makanan yang ada di meja makan itu pada Sofia.
"Aku udah kenyang," jawab Sofia. Ia menatap Axel makan lahap sekali, tidak seperti tadi pagi apa saja yang di makan selalu mual dan muntah.
"Kenapa lihatin aku begitu? Mau aku suapin?" Axel mengurungkan niatnya untuk menyuap makanannya, tetapi sendoknya di arahkan pada Sofia.
Seketika wajah Sofia menjadi kaku dan merah merona. Sebenarnya penyidik ini kesambet setan apa? Kenapa dia sangat aneh, apa benar ada sangkut pautnya dengan bayi yang ia kandung?
"Buka mulut kamu Sof. Malah bengong!" titah Axel semakin mendekatkan sendok yang berisi makanan tersebut.
Dengan anehnya lagi, Sofia juga tak bisa menolak. Ia membuka mulut menerima suapan dari lelaki itu. Ah, entahlah. Mungkin ikatan batin antara ayah dan anak itu sangat kuat, sehingga menurunkan ego masing-masing. Tetapi tidak tahu entah bertahan berapa lama sikap manis itu.
"A-apakah bibik tidak salah lihat!" seru bibik membuat Axel dan Sofia seketika terjingkat.
"Uhuk! Uhuk!"
"Ini minum dulu." Axel menyerahkan segelas air putih saat Sofia keselek makanan. Mungkin karena syok saat kepergok oleh bibik.
"Nggak usah gitu eksperesinya, Bik. Emangnya ada yang salah jika aku menyuapi Sofia makan?" intrupsi Axel pada bibik yang masih menatap tidak percaya.
"B-bukan begitu, Mas. T-tapi...."
"Tapi apa? Bukankah orang di rumah ini sangat menyayangi Sofia? Jadi nggak ada yang aneh kan jika aku melakukan hal yang sama. Aku menganggapnya sebagai adik sendiri," ucap Axel jelas berbohong.
Sofia hanya diam saja. Biarkan saja Axel tetap pada kebohongannya.
"Ya ya, bibik lupa. Maaf ya, karena bibik sempat syok. Ternyata mas Axel sangat baik, seperti mas Seno," jawab bibik berusaha membuang kecurigaannya. Bibik memilih menunaikan pekerjaannya kembali.
Setelah selesai drama makan, Sofia balik ke kamarnya. Tiga puluh menit lagi ia akan bersiap untuk ke RS.
"Nanti kalau udah siap, telpon aku ya," ucap Axel sebelum mereka berpisah balik ke kamar masing-masing.
"Nggak mau ah, kan waktunya tiga puluh menit lagi. Aku tunggu bapak di bawah," jawab Sofia
"Kenapa tidak mau telpon aku? karena nomor aku sudah kamu blok kan?" tebak Axel dengan benar.
Sofia hanya mengangguk. Perkara waktu itu membuatnya tidak lagi mau menyimpan kontak lelaki itu.
"Kan kamu bisa buka blokirnya. Kenapa ribet banget sih."
"Bukan masalah buka blokirnya. Tapi kontaknya sudah aku hapus, dan nomornya juga sudah aku hapus dari daftar blokir," jelas Sofia dengan jujur.
Axel memicingkan matanya. "Sampai segitunya. Aku saja tidak pernah menghapus atau memblokir kontakmu."
Sofia sempat terdiam sejenak saat mendengar pernyataan Axel. Jadi selama ini Axel masih menyimpan kontaknya?
"Kenapa tidak melakukan hal yang sama?" tanya Sofia penasaran.
"Lelaki sama perempuan itu tidak sama pemikirannya. Nggak meledak-ledak seakan tidak membutuhkan orang itu lagi."
Bersambung....