Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rose Petals
Semerbak wangi mawar menyambut begitu Suri membuka pintu kamar. Pandangannya langsung tertuju pada meja belajar. Di sana, pada salah satu buku catatan yang dia tinggalkan semalaman, kelopak bunga dari kamar rawat kekasih Dean kembali bermunculan.
Suri meninggalkan pintu kamarnya setengah terbuka, berjalan gontai menuju meja belajar. Tas punggungnya digantung di kursi, sementara Suri sendiri berdiri di sisi meja belajar, mengamati satu persatu kelopak bunga di atas buku catatannya—yang ia perkirakan jumlahnya lebih banyak daripada kemarin.
“Kenapa kau muncul lagi?” monolognya. Namun Suri tidak berniat memungut satu di antara kelopak bunga itu, ataupun memikirkan lebih jauh alasan kenapa mereka ada di sini. Setelah memandang sebentar, Suri menghela napas, kemudian menyeret kakinya menuju kasur.
Nanti. Nanti saja dia pikirkan semuanya. Sekarang tubuhnya butuh istirahat. Efek gula dari ice cream yang dia makan sudah habis sejak kakinya menjejak di rumah. Seakan hilangnya tiga hantu penghuni rumah ini turut serta membawa energi Suri pergi.
Ke atas kasur, Suri membanting tubuhnya. Terlungkup dengan seragam masih melekat di badan, sepatu plus kaus kakinya pun masih belum ditanggalkan. Kakinya sedikit menjuntai di ujung kasur. Kepalanya miring ke kanan, membelakangi meja belajar.
Di depannya, hanya ada tembok kamar berwarna putih gading. Terdapat beberapa bagian dengan struktur tidak rata dan ada sedikit lapisan cat yang mulai terkelupas. Namun, dalam pandangan Suri, tembok polos itu berubah 180 derajat hanya dalam waktu singkat.
Imaginasi Suri berkembang liar. Tembok di depannya menjelma menjadi kamar rawat VVIP tempat kekasih Dean dibaringkan. Aroma antiseptik menguar kuat, mengalahkan pengharum ruangan aromaterapi dan samar-samar aroma bunga mawar. Detak alat-alat medis kedengaran nyaring, menelan desis angin air conditioner.
“Hei,” panggilnya setengah berbisik. Bayangan di depannya tidak menyahut, tidak bergerak, tidak pula buyar. Tetap tampil serupa apa yang Suri hadirkan pertama kali.
“Ingat saat aku bilang pernah koma?” lanjtunya, “Aku bilang jadi bisa melihat hantu setelah bangun.” Suri menjeda sejenak, sekadar menyelipkan satu tangannya sebagai bantal. “Tadinya kupikir bisa melihat hantu adalah sesuatu yang sudah sangat aneh. Tapi kau tahu? Baru-baru ini aku mengalami sesuatu yang jauh lebih tidak masuk akal.”
Suri menarik tubuhnya bangun diiringi helaan napas panjang. “Lihat ini,” katanya seraya menunjukkan kedua lengannya yang dipenuhi plester luka warna-warni. “Aku mendapatkan luka di sekujur lengan ini setelah terbangun dari mimpi buruk.”
Untuk beberapa lama, Suri membiarkan kedua lengannya terjulur ke depan. Seakan ingin memberikan kesempatan kepada kekasih Dean untuk mengamati satu persatu lukanya dengan saksama.
Kemudian, saat Suri menarik kembali kedua lengannya, ia melanjtukan, “Aku bermimpi tersesat di tengah padang ilalang. Tidak ada siapa pun, hanya aku,” ucapnya lirih. “Dean sudah tahu, aku sudah memberitahunya soal ini tadi, saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Hanya saja … kurasa ada hal-hal yang tidak akan bisa dia mengerti.”
Suri mengubah posisi duduk—bersila dan kedua tangannya bertaut. “Makanya aku bicara padamu sekarang,” lanjutnya. Kembali ia menarik napas dalam-dalam. “Karena kita sama-sama pernah mengalami koma—well, kau pun masih sekarang, aku rasa kau bisa lebih memahami kejadian janggal ini daripada Dean. Aku merasa … kau mungkin juga pernah mengalami hal serupa dalam tidurmu, kan? Kami mungkin melihatmu hanya sedang tidur lelap, tapi jiwamu bisa jadi sedang mengalami banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat, benar?”
“Kurasa akan lebih menyenangkan jika kau bisa menyahuti perkataanku, tahu?” celetuk Suri, menghasilkan tawa canggung yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
“Ah, aku terdengar seperti sedang bicara omong kosong sekarang. Seperti tidak ada isinya dan asal meracau saja.” Suri menatap lekat tembok di depannya. Di dalam imajinasinya, kekasih Dean masih tidak bergerak dari tempat tidurnya. Penampakannya sama persis dengan yang ia dan Dean lihat ketika berkunjung dua hari ini.
Bahkan dalam imajinasiku pun, aku tidak bisa membuatmu bangun.
“Aku merasa aneh karena ini terjadi hanya pada diriku. Karena itu … karena itu….” Tenggorokan Suri mendadak terasa mengganjal tanpa sebab. Ada perasaan tidak nyaman menyelinap masuk ke hatinya—dan Suri bahkan tidak bisa mengidentifikasi dengan baik perasaan apa itu.
“Pokoknya,” ucapnya pada akhirnya. “Aku harap kau bisa segera bangun. Ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepadamu, tahu? Kuharap kau akan menjawabnya dengan baik nanti.”
Perlahan, bayangan dalam imajinasi Suri memudar. Dimulai dari benda-benda di sekitar, lalu merembet ke ranjang pasien, hingga akhirnya sosok kekasih Dean pun ikut mengabur—lalu sepenuhnya hilang.
Tepat sebelum serpihan terakhir dari bayangan kekasih Dean hilang, suara Dean mengudara dari arah belakang.
Suri menoleh cepat. Jantungnya sedikit berdegup tidak siap. Tahu. Dia tahu Dean hantu. Tapi ketiadaan suara langkah sebelum pria itu berbicara tetap saja membuat otaknya tidak siap memproses kehadirannya.
“Kau sedang apa di situ?” tanya pria itu lagi. Matanya berlarian di sekitar tubuh Suri, seakan sedang mencari sesuatu yang mencurigakan.
“Bicara dengan tembok,” sahut Suri.
Andai Dean tahu itu bukan sebuah kebohongan, pria itu pasti tidak akan menggelengkan kepala pelan sambil memutar bola matanya jengah. Namun Suri tidak berniat menambahkan atau mengoreksi apa pun. Biar saja Dean berpikir apa pun.
“Itu,” kata Dean pada akhirnya. Tatapan mengunci sosok Suri, tapi tangannya menunjuk ke arah lain—ke arah meja belajar. “Mereka muncul lagi?”
“Iya,” sahut Suri malas. Dia bahkan tidak mau repot-repot memandang ke arah yang Dean tunjuk.
“Kena—”
“Tidak tahu!” sentaknya sebelum Dean selesai dengan kalimatnya. Matanya melotot.
“Jangan tanya kenapa kelopak bunga itu bisa ada di sini, karena aku juga tidak tahu. Kau bereskan saja dulu supaya tidak berantakan. Nanti aku pikirkan apakah kemunculan mereka ada kaitannya dengan misi kita atau tidak. Sekarang aku lelag, butuh istirahat.”
Suri mengomel tanpa spasi. Membuat Dean mendengarkannya tanpa berkedip, tanpa kehilangan fokus barang sedetik.
Padahal bukan itu yang hendak Dean tanyakan. Dia juga tidak bodoh-bodoh amat untuk menanyakan sesuatu yang Suri pun sudah pasti tidak akan tahu jawabannya. Daripada kepada Suri, pertanyaan seperti itu lebih tepat untuk Dean tanyakan langsung kepada yang di atas—andai dia punya kesempatan.
Dean ingin menyangkal, tapi bibirnya seakan terkunci. Belum lagi Suri yang sudah lebih dulu kembali rebahan membelakangi dirinya. Akhirnya Dean hanya bisa menyeret kakinya mendekat ke meja belajar. Satu persatu kelopak bunga di atas buku catatan Suri, dia pungut. Namun Dean tidak membuangnya ke tempat sampah, melainkan memasukkannya ke dalam saku celana. Sama seperti kelopak-kelopak bunga yang muncul sebelumnya. Tentu, tanpa sepengetahuan Suri. Gadis itu tidak tahu Dean diam-diam menyimpannya.
“Lepas dulu sepatu dan kaos kakimu jika ingin tidur, supaya nyaman.” Dean bersuara sambil sibuk menata buku-buku di meja belajar Suri. Tangannya tak canggung menyingkirkan debu-debu halus dari permukaan meja menggunakan tisu basah, kemudian melakukan hal serupa menggunakan tisu kering sebagai sentuhan akhir.
Sementara Suri malah menutup kepalanya menggunakan bantal, malas mendengarkan suara Dean. Tidak pula ada niatan dalam dirinya untuk menurut, malah sibuk menggerutu di dalam hati.
Memang kenapa kalau tidurku tidak nyaman?
Bersambung......