Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karena Mabok
****
Malam itu Istana Pakuwon Wilangan berubah menjadi tempat pesta yang meriah. Beberapa penjor penuh dengan hiasan janur kuning melengkung menghiasi pintu gerbang istana juga beberapa sudut kota. Di beberapa titik ditambahkan lampu penerangan yang membuat suasana malam Kota Wilangan menjadi hidup setelah pertempuran tadi pagi.
Di alun-alun Kota Wilangan, berdiri sebuah panggung megah dengan penabuh gamelan yang sedang melantunkan gending gending suka cita. Rakyat Kota Wilangan yang sudah lama tak menyaksikan hiburan malam ini, memadati setiap sudut. Tak cuma itu ribuan hidangan cuma-cuma terdapat di beberapa sudut tempat. Siapa saja boleh menikmatinya, tanpa terkecuali. Tak peduli orang kaya maupun miskin semuanya larut dalam hiburan malam ini.
Diatas panggung, para penari tledek dengan lenggak lenggok lincah menari diiringi suara gamelan yang rancak. Membuat para penonton yang memadahi turut larut dalam goyangan mereka.
"Wah sudah lama sekali ya kita tidak melihat hiburan seperti ini. Dulu Akuwu Macan Biru sangat membenci acara seperti ini hingga tak pernah ada hiburan lagi ya Kang? ", ucap seorang lelaki bertubuh gemuk sambil terus menjejalkn pisang goreng ke mulutnya.
" Benar Mok, dulu setiap acara hiburan seperti ini selalu dipersulit ijin nya. Tetapi sekarang penguasa baru Pakuwon Wilangan ini sepertinya bukan orang kolot seperti Akuwu Macan Biru itu.. ", ucap lelaki bertelanjang dada dengan kumis tebal yang berdiri di samping lelaki gemuk itu.
" Bukan cuma itu saja Kang..
Tadi sore para prajurit membagikan bahan pangan di pasar besar. Kata mereka itu adalah syukuran Gusti Dyah Mahisa Danurwenda atas dukungan dari rakyat Wilangan. Istri ku saja dapat seikat gabah rojolele dan daging kerbau. Keluarga ku makan enak malam ini", sahut seorang lagi yang berdiri dekat mereka berdua.
"Yah semoga saja penguasa baru Pakuwon Wilangan ini benar benar orang baik yang memikirkan rakyat, tidak seperti Akuwu Macan Biru yang suka sewenang-wenang. Kita harus mendukung Gusti Dyah Mahisa Danurwenda, karena bagaimanapun juga ia adalah cucu Bhre Kertabhumi keempat... ", sahut lelaki bertelanjang dada itu yang membuat yang lainnya manggut-manggut sepakat dengan pendapatnya.
Di panggung kehormatan yang ada di samping panggung pertunjukan, Mahesa Sura nampak duduk diapit oleh Dewi Jinggawati dan Cempakawangi. Beberapa teguk minuman keras seperti twak dan arak telah masuk ke perut Mahesa Sura hingga wajahnya terlihat memerah pertanda mabuk.
"Kangmas, sudah cukup minum nya. Nanti kau bisa mabuk jika terus-terusan minum.. ", ujar Dewi Jinggawati sambil memegang pergelangan tangan Mahesa Sura yang hendak meneguk isi cawan peraknya.
" Biarkan saja Gusti Dewi..
Mabok sedikit juga tidak apa-apa hihihi. Ayo Sura, kita tambah lagi... ", teriak Tunggak sambil meneguk habis arak di cawan nya.
" Kau ini...
Paman Rakai Pamutuh, paman teruskan menghadiri acara ini. Kangmas Mahesa sepertinya sudah mabok ini. Aku akan membawa nya untuk beristirahat lebih dulu.. ", perintah Dewi Jinggawati pada Rakai Pamutuh yang duduk di sebelah mereka.
" Sen.. uuugghh Sendiko dawuh Gusti Dewi.. ", jawab Rakai Pamutuh yang juga setengah mabok kebanyakan menenggak minuman keras.
" Cempaka, bantu aku ya.. "
Cempakawangi menganggukkan kepalanya mendengar ajakan Dewi Jinggawati. Keduanya segera memapah Mahesa Sura meninggalkan panggung kehormatan. Dengan langkah sempoyongan, Mahesa Sura bersama dengan Dewi Jinggawati dan Cempakawangi memasuki tempat peristirahatan akuwu Wilangan.
Dengan hati-hati dua wanita cantik itu merebahkan tubuh Mahesa Sura ke atas ranjang pembaringan. Keduanya menghela nafas lega.
"Ah tak ku sangka, Kangmas Mahesa seberat ini Cempaka..
Tanpa bantuan mu mungkin aku sendiri tidak bisa memapah nya sampai kesini", kata Dewi Jinggawati sambil mengusap peluh yang menetes di dahinya.
" Iya juga Jinggawati, benar benar seperti memapah seekor sapi. Aku istirahat dulu, kau urus Kakang Mahesa sendiri... "
Belum sempat Dewi Jinggawati menanggapi omongan Cempakawangi, perempuan cantik putri Begawan Citrasena itu sudah melangkah keluar tempat peristirahatan akuwu Wilangan itu.
Dewi Jinggawati geleng-geleng kepala melihat sikap Cempakawangi ini. Dia bersikap untuk pergi setelah merapikan selimut yang menutupi tubuh Mahesa Sura tetapi belum sempat ia beranjak pergi, tiba-tiba tangan Mahesa Sura mencekal pergelangan tangan nya dan menarik hingga Dewi Jinggawati terjatuh diatas tubuh sang penguasa baru Pakuwon Wilangan ini.
"Apa yang kau lakukan Kangmas? ", tanya Dewi Jinggawati sembari berusaha untuk bangkit. Namun tangan kiri Mahesa Sura justru melingkar di pinggangnya dan mendekap nya erat-erat.
" Kangmas Mahesa, kau... "
Belum sempat Dewi Jinggawati bereaksi lebih jauh, tiba-tiba Mahesa Sura memutar tubuhnya yang menyebabkan Dewi Jinggawati tertindih di bawah tubuh nya.
"Mau kemana, Yayi Jinggawati? Hemm?? ", ucap Mahesa Sura dengan suara parau.
" Kangmas, aku... "
Lagi-lagi belum sempat Dewi Jinggawati menyelesaikan omongan nya, Mahesa Sura langsung mendekatkan wajahnya dan mencium bibir mungil Dewi Jinggawati.
Mendapat serangan asmara seperti ini, tentu saja Dewi Jinggawati gelagapan. Ia yang belum pernah disentuh oleh lelaki mana pun sebenarnya ingin memberontak tetapi dia juga enggan untuk melakukan nya karena rasa cinta nya yang begitu besar pada Mahesa Sura.
Tak berhenti sampai disitu, tangan Mahesa Sura mulai meraba-raba bagian bawah tubuh Dewi Jinggawati. Selain itu, ciuman yang semula melumat bibir Dewi Jinggawati melorot turun menyusuri leher jenjang sang putri Bhre Pandanalas.
Nafas Dewi Jinggawati ngos-ngosan mendapatkan serangan asmara ini. Antara menolak dan menerima, dia terus bergelut dengan Mahesa Sura dalam api asmara yang menggelora.
Satu persatu pakaian Dewi Jinggawati maupun Mahesa Sura lepas dari badan. Dalam keremangan lampu sentir minyak jarak yang menerangi sudut ruangan itu, keduanya bercumbu penuh cinta. Rintihan dan erangan terus terdengar dari dalam kamar tidur yang ada di belakang Pendopo Pakuwon Wilangan ini.
"Ahhh Kangmas... ", rintih Dewi Jinggawati kala kaki ketiga Mahesa Sura merasuk ke dalam tubuh nya. Antara sakit dan nikmat yang luar biasa, Dewi Jinggawati menggigit leher Mahesa Sura hingga menciptakan bekas merah di leher sang putra bangsawan Kertabhumi itu.
Sepanjang malam hari itu, keduanya bergelut dalam panasnya cinta hingga pagi menjelang tiba.
Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan menjadi penanda bahwa hari baru akan segera tiba. Mahesa Sura mengerjapkan matanya untuk menajamkan penglihatannya sambil mengucek beberapa kali. Begitu penglihatannya menjadi jelas, mata Mahesa Sura langsung melebar seketika.
Di sampingnya Dewi Jinggawati sedang memeluknya tanpa mengenakan sehelai benang pun. Kala Mahesa Sura mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah dirinya sendiri, tahulah dia apa yang telah terjadi semalam.
Belum sempat Mahesa Sura berkata apa-apa, tiba-tiba...
Krriiiiiiieeeeettttttttt....!!!
Pintu kamar tidur terbuka lebar dan seorang perempuan cantik yang tidak lain adalah Cempakawangi yang sedang memegang nampan berisi air cuci muka, tanpa sadar melepaskan nampan itu hingga jatuh ke lantai kamar tidur.
Grrooommbyyyaaanngggg!!!!
"Kakang Mahesa, kalian.. "
Mahesa Sura segera meraih celananya dan langsung melompat ke arah Cempakawangi yang hampir pingsan melihat apa yang terjadi di depan matanya. Sedangkan Dewi Jinggawati yang terbangun setelah mendengar suara gemerincing nampan jatuh, lekas menyambar jarit nya untuk menutupi tubuhnya yang tanpa busana. Dia segera menepi, memberi ruang untuk Mahesa Sura mendudukkan Cempakawangi.
"Cempaka, kau baik-baik saja? ", tanya Mahesa Sura segera.
" Aku aku huhuhuhuhu... ", tangis Cempakawangi pecah seketika.
" Hei jangan menangis, Cempaka. Aku tahu aku salah. Tapi ini semua di luar kesadaran ku. Tadi malam aku terlalu banyak minum hingga tak sadar berbuat hal itu dengan Yayi Jinggawati...
Tapi tenanglah, aku akan tetap pada janji ku untuk menikahi mu. Kau tak perlu mencemaskan hal itu ", bujuk Mahesa Sura segera.
Mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki pujaan hatinya, tangis Cempakawangi mereda. Dia yang biasanya galak dan tegas, bisa juga menangis untuk urusan hati.
" Kakang Mahesa sungguh-sungguh? ", tanya Cempakawangi yang segera disambut dengan anggukan kepala oleh Mahesa Sura. Cempakawangi menghela nafas panjang sembari mengusap air matanya.
" Kalau begitu aku juga mau seperti yang Kakang Mahesa lakukan dengan Jinggawati! ", tegas Cempakawangi yang membuat Mahesa Sura terpana.
HAAAHHHHHH??!!!