Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Insiden Teh Panas
Bab 17. Insiden Teh Panas
"Kenapa bisa ceroboh sekali sih?!"
Dimas ngedumel kesal yang lebih menjurus ke rasa khawatir tanpa ia sadari. Bahkan Arumi terheran-heran dan merasa canggung akan perlakuan Dimas yang tidak biasanya sampai mau menyentuh kakinya.
"Aku tidak apa-apa. Ini bukan luka yang parah."
Arumi berusaha untuk menghindar. Sungguh ia merasa canggung mendapat perhatian dari Dimas.
"Tidak parah bagaimana?! Kamu tidak lihat, kulitmu merah seperti terbakar. Kalau dibiarkan, bisa melepuh."
Namun Dimas tetap pada rasa kekhawatirannya yang menciptakan kehangatan dalam hati Arumi.
"Sungguh, aku tidak apa-apa." Ujar Arumi pelan sembari memperhatikan Dimas yang begitu dekat dengannya.
"Aku cari kotak P3K dulu. Kamu diam saja, biar Bibi yang membersihkan."
Arumi hanya memandang kepergian Dimas tanpa bersuara. Namun detak jantung yang berdebar tidak seperti biasanya yang malah menimbulkan suara sehingga Arumi memegang dadanya untuk meredam debaran yang ia rasakan.
"Apa tadi dia mengebut 'kamu' bukan 'kau'?" Gumam Arumi.
Ada getaran aneh yang Arumi rasakan dalam dirinya. Apalagi terbayang wajah Dimas yang begitu dekat dengannya.
Garis hidung yang tegak, alis yang tebal dan mata yang biasanya tajam namun tadi terpancar teduh membuat Arumi tertegun sesaat, terpesona pada pria yang selama ini tidak pernah berbicara banyak apalagi tersenyum padanya. Bahkan wanginya pun masih tertinggal sehingga membuat Arumi terbuai sampai memejamkan mata.
"Sakit sekali?"
Arumi reflek membuka matanya. Suara Dimas kembali membuat jantungnya berdebar-debar.
Dimas berjalan mendekat dengan kotak P3K ditangannya. Dibelakangnya, di susul Bibi yang membawa kain lap dan pengepel untuk membersihkan lantai yang ketumpahan teh panas tadi.
"Mendekatlah kesini, biar Bibi bisa membersihkan bekas tumpahan teh itu." Ujar Dimas setelah duduk di tempatnya semula.
Arumi tampak tidak nyaman menggeser duduknya dan mendekat pada Dimas. Apalagi pria itu memintanya duduk bersebelahan tepat di sampingannya.
"Mendekatlah." Ujar Dimas lagi.
Ragu-ragu perlahan Arumi menggeser duduknya. Terlebih lagi Dimas memperhatikan dirinya sehingga, ia berhenti menggeser dan menyisakan jarak kosong di antara mereka.
Dimas menghela napas.
"Angkat kakimu."
"Ya?"
"Angkat dan letakkan kesini." Ujar Dimas, menepuk pahanya.
"Ti...tidak usah." Tolak Arumi, sungguh canggung sekali.
"Angkat!"
Tubuh Arumi refleks mengangkat kaki yang tertumpah teh dan di letakkan di atas pangkuan Dimas setelah mendengar nada suara dimasa yang ditekankan. Berkat kelakuannya itu, Dimas menahan senyumnya, namun cepat ia mengatur ekspresinya kembali datar.
Dimas lalu mengambil alkohol, kemudian membersihkan luka Arumi dengan perlahan. Setelah itu, dengan hati-hati ia mengoleskan salep di kaki Arumi.
"Perih?" Tanya Dimas
Arumi cepat menggeleng.
"Sudah selesai." Kata Dimas.
Dengan cepat Arumi menurunkan kakinya dan menggeser sedikit duduknya.
Dimas tersenyum getir.
"Sepertinya, kata tulus menerimamu hanya ucapan semata."
Arumi sedikit terkejut. Lalu perlahan dan tampak malu-malu dan ragu, ia mendekat kembali kepada Dimas.
"Tidak. Itu benar kok." Bantah Arumi.
"Kamu mungkin membenci ku selama ini. Tapi, aku harap kamu bisa mengerti, awal dari tujuan pernikahan ini."
"Aku tahu."
Dimas menghela napas berat.
"Aku mungkin tidak bisa menjadi suami seperti yang kamu harapkan. Tapi aku tidak akan membuatmu bersedih selama masih menjadi istriku, sampai masanya tiba."
Arumi menunduk. Ia tak tahu harus berkata apa. Isi hatinya sudah ia katakan kalau ia tulus menjalani pernikahan itu. Dan ia pun sudah menerima takdirnya dan berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya.
Melihat perubahan ekspresi Arumi yang berubah murung, Dimas tak lagi bicara. Tak ingin membuat istrinya itu tambah murung, ia memilih untuk beranjak ke kamarnya.
"Selepas Isya', kita akan berkunjung ke rumah orang tuamu. Sudah berbulan kalian tidak bertemu bukan?"
Arumi menengadahkan wajahnya.
"Iya. Terima kasih."
Dengan mata yang mengembun entah itu karena rasa sedih atau haru, ia tersenyum menatap Dimas.
Dimas kemudian berlalu menuju kamarnya, dan menutup pintu dengan rapat. Di balik pintu kamarnya, ia kembali mendesah panjang. Ada rasa yang tidak jelas akan keputusannya setelah melihat wajah sedih Arumi.
***
"Arumi..."
"Ibu...!"
Arumi memeluk ibunya dengan rasa rindu tumpah ruah saat mereka bertemu di depan pintu rumah setelah sang Ibu membukakan pintu dimana Arumi di besarkan.
Padahal mereka sering berkomunikasi lewat telepon genggam. Namun suka duka tetap mengalir dalam hati yang penuh rindu.
"Kamu sehat Nak?"
"Alhamdulillah Bu. Bapak gimana?"
"Alhamdulillah, kesehatan Bapakmu sudah kembali sepenuhnya. Terimakasih ya Nak. Ini semua berkatmu."
"Tidak Bu, sudah selayaknya Arumi berbakti kepada orang tua."
"Oh ya, kamu dengan siapa kesini?" Tanya sang ibu menoleh sekitar. "Sudah ijin suami?" Tanya lagi kembali menatap Arumi.
Arumi tersenyum ramah kepada Ibunya. Dan tersenyum getir dalam hatinya. Pasalnya sang suami yang awalnya berinisiatif mengajaknya ke rumah orang tuanya, malah hanya mengantarkan saja dan pergi lagi entah kemana.
"Sudah Bu. Dimas yang mengantarkan Arumi kesini."
"Lah, dimana dia?"
"Pergi lagi Bu, ada urusan."
"Oalah. Ya sudah, kamu masuk dulu yuk. Bapak pasti senang melihat kamu disini."
Arumi mengangguk cepat karena ia pun senang bisa kembali ke rumahnya.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka tidak tahu kalau Dimas mengamati mereka dari dalam mobilnya di kejauhan.
Dimas belum bisa menerima keluarga Arumi karena ini hanya pernikahan terpaksa. Tetapi juga tidak bisa mengabaikan Arumi yang pasti rindu sama kedua orang tuanya.
Sisi kemanusiaan Dimas itu ada dalam sikap dinginnya. Namun ia sering berperang pada dalam batinnya yang terkadang cenderung berpikir negatif pada segel Arumi.
"Bagaimana suamimu? Apa dia sama seperti Arman?" Tanya sang ibu begitu mereka telah duduk berkumpul bersama di ruang tamu.
Arumi dengan cepat menggeleng.
"Dia sangat baik Bu. Dia jauh lebih baik dari Mas Arman. Meski dia dingin, tetapi dia tidak membiarkan ku kelaparan. Dia memenuhi segala kebutuhanku. Dan juga... Aku masih menjadi satu-satunya istrinya."
Puji Arumi dengan apa adanya. Meski perceraian sudah di tentukan.
Sang ibu membelai punggung anaknya dengan lembut, seperti memberi kekuatan kepada anaknya. Ia paham kalau menantunya pasti berat bisa menerima langsung keadaan mereka dan putrinya. Apalagi pernikahan itu bersifat mendadak tanpa pengenalan dan rasa cinta.
"Kamu yang sabar. Tetaplah jadi istri yang baik buat dia. Sekeras-kerasnya hati manusia, bila di sentuh dengan ketulusan dan kasih sayang terus menerus, lama-lama akan luluh juga."
"Iya Bu. Arumi selalu mendengarkan nasehat Ibu."
"Maaf kan Bapak, yang telah salah memilih jodoh untuk mu sebelumnya. Pasti status mu yang pernah menikah juga memberikan dampak buruk bagimu." Ucap sang Bapak, sedih.
Arumi lekas menggeleng.
"Tidak Pak. Bukan salah Bapak. Mas Arman lah yang memiliki sifat buruk. Bapak hanya memenuhi janji sebagai orang baik yang berusaha menaati janji." Ujar Arumi, kemudian menghela napas berat. "Walau ditempa cobaan berat dalam berumah tangga, tapi Arumi bersyukur Mas Arman lebih cepat membuka kedok buruknya sehingga Arumi tidak perlu melayaninya dan memberikan yang paling berharga. Sejujurnya, Arumi pun ingin mahkota ini di berikan kepada lelaki yang menjadi suami yang Arumi cintai."
"Lalu Dimas?" Tanya sang ibu.
Arumi tersenyum lembut, berusaha menenangkan ibunya yang terlihat khawatir.
"Dimas juga belum menyentuh Arumi Bu. Karena pernikahan kami juga bukan karena cinta. Tapi... Arumi mulai menyukainya." Ungkap Arumi menunduk, malu-malu.
Meski sudah tahu masa pernikahannya tidak lama lagi, tetapi Arumi tidak menutup hatinya, bahwa ia mulai menyukai Dimas.
Entah sejak kapan rasa itu mulai tumbuh. Yang jelas, perasaan itu mulai menunjukkan kehadirannya setelah kejadian siang tadi.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
hari ini apes bener arumi.. bertemu org2 ##$$@## dpt tlp dr pamannya yg juga sama2 ##$@##$🙄
suka dgn gaya rumi yg tdk mudah memperlihatkan kelemahannya pd lawan bicara yg pd nyebelin itu..meski dlm hatinya remuk redam... pasti berat bagi rumi dlm situasi yg spt ini.. semangat arumi... semoga semua masalah cpt berlalu n kamu bisa hidup dgn lbh baik kedepannya
kamu yg ninggalin dimas... tp sekarang malah gk tau malu minta balikan... maksudmu piye? jgn takut arumi lawan aja itu si renata.. bkn kamu yg salah.. dia yg ninggalin dimas jd jgn kepengaruh sama renata...