Banyak yang bilang orang baru akan kalah dengan orang lama. Nyatanya nasib Zema sangat berbeda.
Menikah dengan sahabat masa kecilnya justru membuat luka yang cukup dalam dan membuatnya sedikit trauma dengan pernikahan.
Dikhianati, dimanfaatkan dan dibuang membuat Zema akhirnya sadar. Terkadang orang yang dikenal lebih lama bisa saja kalah dengan orang baru yang hadir dihidup kita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Zema segera menemui orang tuanya. Dia sudah meminta izin untuk masuk siang. Beruntung atasannya mengizinkannya karena memang Zema adalah pekerja lapangan yang tak harus berada di kantor setiap waktu.
"Zema," lirih Kemala cemas.
"Ada apa?" jawab Zema menyelidik.
Orang tuanya saling melirik cemas. "Kemarin Luthfi ke sini, dia menanyakan banyak hal sama kami. Dia mulai mengancam kami—"
Zema mengepalkan tangannya. Luthfi sudah melewati batasannya dan sepertinya sahabat baiknya itu harus terlebih dahulu diberi pelajaran.
"Ada apa kamu ke sini nak?" sela Latif cemas.
"Pak, bu, Zema ke sini untuk memberitahu kalian, kalau sebaiknya kalian pindah agar aman dari mereka."
"Pi-pindah? Ke mana? Lalu kamu sama abang?" cecar Kamila.
"Aku akan menyusul kalian jika di sini sudah selesai. Abang juga akan di sana bersama kalian—"
"Tapi Zem. Luthfi yang memasukkan abangmu ke rumah sakit jiwa itu. Setahu kami, kami tak bisa mengeluarkan abang semudah itu—"
"Saat masuk ke rumah sakit jiwa, ada persetujuan bapak dan ibu kan?"
Keduanya mengangguk, saat itu meski Luthfi yang memberi arahan pada mereka agar memasukkan Dery ke rumah sakit jiwa itu, tapi semua persyaratan harus atas persetujuan mereka sebab Dery bukanlah ODGJ jalanan.
"Apa mereka tahu kalau abang di rumah sakit jiwa?"
Keduanya kembali mengangguk. "Baiklah ayo kita ke sana, setelah itu kalian pindah! Buang nomor ponsel kalian, jangan behubungan lagi dengan Atta atau pun Luthfi."
"Tapi Zema, kamu bagaimana? Kamu sendirian di sini, kalau ada apa-apa bagaimana? Apa kami jauh pindahnya?"
"Bapak dan ibu akan pindah ke lombok. Kalian akan aman di sana. Jangan khawatirkan aku."
Mereka bertiga akhirnya menuju ke rumah sakit jiwa tempat Dery di rawat.
Mata resepsionis begitu awas menatap Zema. Dia yakin ada sesuatu pada wanita itu hingga harus menatap Zema begitu dalam.
Setelah melapor, mereka lantas menuju ruangan Dery di antar oleh salah seorang perawat.
Hati Zema begitu terenyuh saat melihat kakaknya yang dulu gagah tampak begitu ringkih. Tubuhnya kurus, matanya cekung, wajahnya tampak suram seakan tak ada jiwa di sana.
"Abang," panggil Kamila lirih begitu hati-hati.
Tak ada jawaban. Ibunya juga terlihat bergerak begitu pelan, seakan berhati-hati agar tak terjadi sesuatu.
Zema yang berada di belakang kursi roda Latif hanya diam memperhatikan.
"Abang, maafkan ibu sama bapak yang baru menjenguk, abang apa kabar?" tanya Kamila yan masih belum mendapat respons dari Dery.
"Kalian harus berhati-hati jangan sampai membuat gerakan berlebihan atau dia bisa menyakiti kalian," jelas perawat.
Zema masih menatap perawat itu. Apa dia akan di sini selama masa jenguk? Apa bang Dery semengerikan itu?
"Apa Anda akan terus mengawasi kami di sini?" tanya zema datar.
Saat mendengar suara Zema, tiba-tiba Dery menoleh. Matanya berkaca-kaca.
"Zema?" lirihnya.
Orang tua dan perawat terkejut mendengar Dery mengenali saudarinya.
Zema memilih mendekat. Meski dengan gerakan perlahan sebab dia tak tahu seberapa parah kejiwaan sang kakak terguncang.
"Bang?" panggil Zema lirih.
Dery hanya terdiam, tapi Zema melihat jelas jika terlihat wajah lega di sana.
"Berhenti. Anda terlalu dekat. Dia bisa menyerang!" sela perawat mengingatkan.
Zema menatap orang tuanya. Mencari jawaban atas ucapan sang perawat.
"Benar Zem. Terkadang abangmu itu tiba-tiba mengamuk dan tak mengenali kami."
Zema menarik napas, dia memilih mengambil resiko itu dan tetap mendekat.
"Aku peringatkan, jika terjadi apa-apa kami tak bisa tanggung jawab! Bahkan kalian bisa di larang menjenguknya lagi," jelas perawat sengit.
Zema mengabaikan peringatan perawat dan tetap mendekati ranjang sang kakak.
Tiba di sana, Zema beru melihat dengan jelas jika ternyata sang kakak di rantai. Hatinya merasa miris. Kakaknya benar-benar diperlakukan seperti hewan, menurutnya.
"Bang" panggil Zema pelan.
"Zema?" balas Dery lalu menarik Zema dan memeluknya. Perawat terkejut dan berniat menarik Zema menjauh, tapi Zema mencegahnya dengan satu tangan.
Dia menepuk punggung sang kakak yang memeluknya kencang.
Wajah Dery bersembunyi di cekungan lehernya. Zema sebenarnya merasa sedikit geli sebab hembusan napas Dery. Namun ia mencoba menahannya.
"Pergilah Zem. Mereka semua jahat," ucap Dery pelan.
Zema terkejut, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah tenang kembali.
Perawat memperhatikan interaksi keduanya dengan intens.
Apa abang pura-pura? Pikirnya.
"Perawat itu anak buah Luthfi," sambungnya yang masih mendusel di leher Zema seakan mencium lehernya. Padahal Dery sengaja menyembunyikan wajahnya agar bisa memperingati adiknya.
Tiba-tiba Dery melepaskan pelukannya pada Zema dan mendorongnya secara kasar, kemudian dia memukul-mukul kasur, membuat perawat berusaha menenangkan Dery dengan sebuah suntikan.
"Tunggu! Apa yang kau lakukan?" pekik Zema.
"Dia mengamuk, dia harus di tenangkan!" jawab Perawat kesal.
"Hentikan atau kulaporkan kamu!" cegah Zema kesal.
Mendengar ancaman Zema, perawat lantas menghentikan niatnya memberikan obat penenang.
"Dia mengamuk dia membahayakan—"
"Aku tahu prosedur penenangan. Kau semena-mena. Kau tahu efek obat penenang itu seberbahaya apa 'kan? Kakaku tak menyakitiku, dia hanya memukul kasur. Jangan berlebihan!"
Perawat mendengus kesal. Dia merasa Zema sok tahu akan tugasnya.
"Anda penyulitkan pekerjaan kami sebagai perawat, pasti kelak akan membuat Anda mendapat sangsi Nona!" ancam perawat.
"Benarkah? Kalau begitu, ayo kita temui atasanmu, siapa di antara kita yang akan mendapat masalah!"
Perawat itu benar-benar merasa kesal. Dia merasa kalau Zema tak akan bisa melawannya.
Namun kesombongannya itu mendadak runtuh saat mendengar Zema menelepon seseorang.
"Ntan tolong minta pengacara ke rumah sakit jiwa Budi Asih, aku akan menyelidiki rumah sakit ini!"
Perawat itu berwajah pias, tapi kemudian berusaha bersikap tenang.
"Anda terlalu berlebihan memanggil pengacara," cibirnya.
"Saya tak suka berkata tanpa kejelasan. Semua pasti ada pasal hukumnya. Bahkan ucapanmu ini juga bisa aku tuntut!"
Zema lantas memutar rekaman suara si perawat hingga membuat perawat itu menegang dan berlalu begitu saja.
.
.
Zema lantas menemui resepsionis dan kini wajah resepsionis juga tampak panik. Bicaranya bahkan tergagap.
"Ada apa ya mbak?"
"Saya ingin menemui kepala rumah sakit. Sekarang," pinta Zema langsung.
"Mohon maaf—"
"Saya punya akses untuk menelepon ke bagian pemerintahan jika anda mempersulit saya mbak, mau coba?"
Zema yang bekerja dilapangan merasa bersyukur, karena pekerjaan itu membuat dia banyak mengenal orang-orang penting di negaranya.
Dirinya terkadang harus bertemu dengan mereka untuk masalah perizinan dan lainnya. Salah satunya pemerintah kesehatan, sebab dirinya pernah beberapa kali mengerjakan pembangunan rumah sakit.
Tubuh resepsionis bergetar, tapi kemudian dia tetap melakukan panggilan pada seseroang.
"Mbak silakan lurus ke lorong itu, di sana ada ruangan kepala rumah sakit," jelas si resepsionis.
"Kalian benar-benar mencurigakan. Aku akan menyelidiki kalian semua, jika terdapat indikasi penyelewengan tugas di sini, aku akan membuat kalian membayarnya," ancam Zema yang seketika itu juga membuat sang resepsionis itu jatuh terduduk.
.
.
.
Lanjut
jgn lma* up nya y k
terimakasih Thor ...
makin seru dan bikin penasaran ceritanya.
semangat buat up lagi ya Thor ...💪