Demi melunasi hutang orang tuanya, Venzara harus menerima pernikahan paksa dengan anak majikan bibinya. Mau tidak mau, Venza akhirnya menerimanya dan siap menerima syarat yang ditentukan.
Tidak hanya terikat dalam pernikahan paksa, Venza juga harus menerima perlakuan buruk dari suaminya. Namun, sosok Venza bukanlah perempuan yang lemah, bahkan dia juga perempuan yang berprestasi. Sayangnya, perekonomian keluarganya tengah diambang kehancuran.
Jalan satu-satunya hanya bisa menikahkan Venza dengan lelaki kaya dengan kondisinya yang lumpuh.
Akankah Venza mampu bertahan dengan pernikahannya? yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beralasan
Badan yang terasa sama capeknya dan juga lelah, membuat sepasang suami istri tengah terlelap dari tidurnya masing-masing.
Tanpa disadari oleh Venza yang sudah terbiasa tidur dengan bantal guling, alhasil dirinya begitu nyaman memeluk suaminya. Bahkan, kepalanya menindih dada bidangnya.
Razen yang tengah menarik napasnya panjang dengan kedua matanya yang masih terpejam, pelan pelan menyempurnakan kesadarannya. Kemudian, Razen meraba apa yang ia sentuh.
Karena merasa aneh dan tidak seperti biasanya, Razen membuka kedua matanya dengan sempurna. Juga kesadarannya yang ia kumpulkan menjadi satu.
"Aaaaaa!" teriak Venza dengan reflek.
BRUG!
Tidak tahunya si Venza jatuh dari tempat tidur karena kaget saat dan juga malu ketika dirinya memeluk suaminya, tepatnya ia di lantai. Untung saja bagian anggota tubuhnya tidak membentur sesuatu yang dapat melukai.
"Aw! sia_lan, mana sakit jugaan." Pekik Venza sambil menggerutu sambil meringis kesakitan.
Sedangkan Razen segera duduk dengan posisi bersandar.
"Kenapa bisa jatuh? kamu sedang tidak lagi mengigau, 'kan?"
'Sial, sepertinya dia ini sedang mengejekku. Awas saja kamu, kalau masih terus mengerjai ku.' Batinnya lagi sambil meniup pada lukanya yang hanya sedikit goresannya.
Venza akhirnya memilih untuk nyengir kuda agar rasa malunya tidak begitu terlihat.
"I-i-iya, tadi aku mengigau. Soalnya tadi aku mimpi buruk, jadi gak tau kalau sampai terbawa di alam kesadaran aku." Jawab Venza beralasan, karena tidak mungkin juga mengakui karena tengah memeluk suaminya saat tidur.
"Oh, kirain kamu tidak lagi mimpi buruk. Soalnya tidur aja anteng gitu tadi." Sindir Razen dengan sengaja, Venza sendiri tetap menjawabnya tidak, yakni untuk menutupi rasa malunya.
"Aku mau ke kamar mandi dulu, maaf ya yang tadi." Ucap Venza dengan kalimat terakhir meminta maaf, yakni soal memeluk suaminya dengan lancang, pikirnya.
Razen hanya mengangguk dan meraih ponselnya yang ada di nakas. Sedangkan Venza tengah mengrutuki dirinya sendiri karena merasa tidak bisa menjaga diri hingga sampai memeluk suaminya.
"Bodoh bodoh bodoh, bodoh banget kamu Ven. Gak seharusnya juga kamu itu meluk suamimu, malu sendiri kan? aih kamu ini."
Gerutu Venza sambil menatap dirinya sendiri pada cermin. Kemudian, ia segera buang air kecil dan menyikat giginya, juga cuci muka. Setelah selesai ritualnya ketika bangun tidur, Venza bergegas keluar.
Pelan-pelan si Venza mendekati suaminya, tentunya memberanikan diri meski ada rasa takut, gugup, canggung, dan nano nano rasanya.
Bingung harus bertanya apa, Venza justru terdiam sejenak seperti sedang berpikir.
"Kamu kenapa diam seperti itu?" tanya Razen sambil melambaikan tangannya.
Saat itu juga Venza tersadar dari lamunannya.
"Maaf, aku hanya bingung aja. Maksudnya aku itu, aku harus panggil kamu dengan sebutan apa? soalnya aku takutnya gak sopan."
"Terserah kamu nyamannya seperti apa."
"Apa iya aku panggil Abang, gak cocok sepertinya."
"Enak aja panggil aku abang, macam abang becak aja aku ini. Panggil aja suamiku, itupun hanya untuk menyenangkan ayah dan ibuku. Sudah cepetan bantu aku ke kamar mandi, kamu gak perlu pusing memikirkan sebutan apa untuk memanggilku." Ucap Razen yang sudah kebelet untuk ke kamar mandi.
Venza yang memang harus merawat suaminya sesuai perjanjian dengan ayah mertua, ia pun dengan telaten merawat suaminya.
"Kamu gak ada tongkat penyangga kah?"
"Untuk apa?" tanya Razen.
"Untuk kamu jalan, maksudnya aku agar tidak ketergantungan dengan kursi roda. Sayang sekali kalau kamu hanya terfokus dengan kursi roda saja." Jawab Venza menjelaskan.
"Percuma saja untuk hasilnya, karena kaki aku ini dinyatakan tidak akan pernah sembuh. Jadi, untuk apa menggunakan tongkat penyangga. Sudahlah cepetan bantu aku ke kamar mandi, kamu tidak perlu banyak ceramah di depan ku." Ucap Razen yang mulai emosi.
Venza yang mendengarnya, pun langsung membantu suaminya berpindah ke kursi roda. Kemudian mendorongnya sampai ke kamar mandi.
Awalnya takut, namun sebisa mungkin untuk menepis perasaan takutnya.