NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Arfan dan Bayangan Masa Lalu

Duar! Suara ledakan kecil dari ban mobil yang tertembak mengguncang kesadaran Arfan. Di tengah lorong bawah tanah yang sempit dan berbau tanah basah, ia terhuyung menahan berat tubuhnya yang hampir ambruk. Fatimah mencengkeram lengan jaket Arfan dengan sangat kuat, napasnya terdengar memburu di balik kain hitam yang menutupi wajahnya.

"Kita harus terus bergerak, Arfan! Jangan berhenti sekarang!" bisik Fatimah dengan suara yang bergetar hebat.

"Larilah lebih dulu, Fatimah. Aku hanya akan memperlambat langkah kalian," balas Arfan sambil meringis memegang bahunya yang kembali merembeskan darah segar.

Baskara menoleh dengan tatapan yang tajam seolah ingin menembus kegelapan lorong. Ia tahu benar bahwa pria di depannya ini memiliki harga diri yang terlalu tinggi untuk menjadi beban. Tanpa banyak bicara, Baskara menarik paksa lengan Arfan yang sehat dan memapahnya melewati undakan tanah yang licin.

Di atas sana, suara sepatu bot yang menghantam lantai kayu panti asuhan terdengar bagaikan ketukan malaikat maut. Para pria berjas hitam dengan senjata api terselip di pinggang mulai mengacak-acak kamar anak-anak yatim. Mereka tidak mencari uang atau perhiasan, melainkan sosok wanita yang seharusnya sudah mati dalam kecelakaan tragis beberapa hari lalu.

"Cari sampai ketemu! Jangan biarkan satu lubang tikus pun terlewatkan!" teriak seorang pria dengan suara parau yang sangat Arfan kenali.

Arfan menghentikan langkahnya secara mendadak saat mendengar suara itu merambat melalui celah udara di langit-langit lorong. Itu adalah suara sang predator, orang yang selama bertahun-tahun ia kejar di meja hijau namun selalu berhasil lolos. Kenangan tentang mendiang tunangannya yang tewas dalam ketidakadilan mendadak menyeruak memenuhi rongga dadanya.

"Suara itu... dia ada di sini," gumam Arfan dengan mata yang berkilat penuh dendam.

"Siapa dia? Apakah kau mengenalnya?" tanya Fatimah yang menyadari perubahan sikap Arfan secara tiba-tiba.

"Dia adalah alasan mengapa aku menjadi pengacara yang haus akan pembuktian," jawab Arfan dengan nada dingin yang menusuk.

Langkah mereka membawa mereka ke sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik semak belukar di pinggiran hutan kota. Udara malam yang dingin menyergap paru-paru, namun rasa panas di hati Arfan jauh lebih membakar daripada suhu udara di luar. Baskara segera mematikan lampu senter kecil yang ia pegang dan memberi isyarat agar mereka semua merunduk di balik rimbunnya pohon besar.

"Kita tidak bisa menggunakan mobil utama, mereka pasti sudah memblokade jalan keluar desa," ujar Baskara sambil mengamati situasi sekitar.

"Ada jalan setapak menuju pemukiman warga di balik bukit ini, kita bisa menyelinap di sana," saran Ibu Maryam yang masih setia memeluk anak panti terkecil.

"Fatimah, ikutlah dengan Ibu Maryam dan Baskara. Aku akan memancing mereka ke arah berlawanan," kata Arfan sambil mulai melangkah menjauh.

Fatimah dengan cepat menahan ujung baju Arfan, matanya yang hanya terlihat sedikit itu memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Ia tidak mengerti mengapa pria yang baru dikenalnya ini begitu gigih mempertaruhkan nyawa demi dirinya. Baginya, Arfan bukan sekadar penyelamat, melainkan jembatan menuju kebenaran yang selama ini terkubur di bawah tumpukan kebohongan ayahnya.

"Jangan lakukan itu, Arfan. Kau terluka parah, kau tidak akan bertahan sendirian di sana!" cegah Fatimah dengan suara tertahan.

"Luka ini tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang mereka torehkan di masa laluku, Fatimah," tegas Arfan sambil melepaskan pegangan tangan wanita itu.

"Tuan Arfan, dengarkan aku! Balas dendam tidak akan menyelesaikan apa pun malam ini!" seru Fatimah lagi, kali ini dengan nada yang lebih berani.

Arfan tertegun sejenak mendengar perkataan Fatimah yang terasa sangat akrab di telinganya. Kata-kata itu pernah diucapkan oleh seseorang yang sangat ia cintai sebelum ajal menjemput di tengah jalanan yang sepi. Ia menatap Fatimah dengan pandangan yang sulit diartikan, seolah sedang mencari bayangan masa lalu di balik sosok bercadar itu.

"Bagaimana kau bisa tahu apa yang ada di dalam pikiranku?" tanya Arfan dengan suara yang melemah.

"Karena aku juga sedang melarikan diri dari dendam yang sama, Tuan," jawab Fatimah dengan tenang namun penuh penekanan.

Baskara yang sedari tadi bersiaga tiba-tiba menarik mereka berdua masuk lebih dalam ke rimbunnya belukar. Dari kejauhan, terlihat sorot lampu mobil jip yang bergerak perlahan menyisir pinggiran hutan dengan sangat teliti. Arfan menahan napasnya, mencoba menekan rasa sakit di bahunya agar tidak mengeluarkan suara rintihan yang bisa membongkar keberadaan mereka.

"Mereka mendekat. Kita harus bergerak sekarang atau tidak sama sekali!" bisik Baskara sambil menyiapkan sebilah pisau kecil di tangannya.

"Ikuti aku, kita lewat jalur sungai yang airnya sedang surut," perintah Ibu Maryam memimpin jalan di depan.

Mereka mulai berlari dengan langkah yang sebisa mungkin tidak menimbulkan suara gesekan daun yang berlebihan. Fatimah terus berada di samping Arfan, sesekali memberikan dukungan fisik saat pria itu terlihat akan tersungkur karena lemas. Di tengah kegelapan hutan, batas antara penyelamat dan yang diselamatkan mulai memudar, menyisakan dua jiwa yang terikat oleh benang nasib yang sama.

Sesampainya di pinggiran sungai, mereka menemukan sebuah gubuk tua yang biasa digunakan oleh para pencari kayu bakar untuk beristirahat. Baskara segera memeriksa keadaan di dalam gubuk tersebut sebelum mengizinkan yang lain untuk masuk dan berlindung sejenak. Arfan langsung terduduk di sudut ruangan yang gelap, napasnya terdengar berat dan tidak beraturan seiring dengan kesadarannya yang mulai menurun.

"Fatimah, ambilkan kain bersih dari tas cadangan, kita harus mengikat lukanya lebih kencang," instruksi Baskara dengan cekatan.

"Baik, Tuan. Ibu Maryam, tolong pegangi lampu minyak ini agar tidak terlalu terang keluar," sahut Fatimah sambil sibuk mengoyak kain putih.

"Terima kasih... Fatimah," bisik Arfan sebelum matanya perlahan mulai terpejam karena kehilangan terlalu banyak darah.

Fatimah melakukan apa yang diperintahkan dengan tangan yang masih sedikit gemetar namun tetap berusaha tegar. Saat ia sedang membersihkan luka di bahu Arfan, sebuah kalung perak jatuh dari saku jaket pria itu dan tergeletak di atas lantai tanah. Fatimah memungut kalung itu dan terkejut melihat sebuah foto kecil di dalamnya yang menampakkan wajah seorang wanita yang sangat ia kenal.

Fatimah terbelalak menatap foto di dalam kalung itu, sebuah kenyataan pahit mulai terungkap bahwa Arfan bukanlah orang asing dalam pusaran tragedi keluarganya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!