NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 3

Beginning And End Season 3

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Dark Romance / Time Travel / Balas Dendam / Sci-Fi / Cintapertama
Popularitas:143
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan Beginning And End Season 2.

Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.

Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.

Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 : Menangis Di Depan Shinn.

Bel istirahat berbunyi TIIING~—suara lonceng yang jernih dan meriah, langsung mengubah suasana kelas seperti pintu dimensi yang tiba-tiba dibuka. Anak-anak berhamburan keluar dari kursi dengan cepat: beberapa berlari menuju rak tas dengan langkah tap-tap-tap yang kencang, beberapa lainnya langsung mengajak teman main dengan teriakan ceria, dan sebagian lagi sudah mulai membuka bekal sebelum sampai di meja. Suasana menjadi ramai seketika—penuh tawa kecil yang jernih, gesekan kursi yang krek krek, dan suara plastik bekal yang dibuka dengan kresek kresek~ yang menyenangkan. Udara di luar terasa segar ketika anak-anak membuka jendela, membawa bau bunga mawar dari taman sekolah yang menyebar ke dalam ruangan.

Di sudut meja nomor dua, dekat jendela yang terbuka, Catalina duduk dengan sikap yang berusaha elegan—badan tegak, bahu sedikit menegang, seolah dia sedang duduk di mejam-mejam keluarga bukan di kelas TK. Dia membuka kotak makannya yang berbentuk hati berwarna pink dengan gerakan perlahan… klik… klak…—suara kancing yang terbuka terdengar lembut. Rambut putih-pink gradasinya berayun lembut tertiup angin, dan senyum kecil licik muncul di bibirnya—senyum yang sangat mirip dengan mama Andras ketika dia sedang ingin menggoda seseorang.

Di sisi kirinya, Shinn—anak lima tahun dengan aura dingin abadi yang selalu menyelimuti dirinya—juga membuka bekalnya dengan gerakan rapi dan teratur, seperti mesin presisi yang tidak pernah salah. Dia duduk tegak dengan sempurna, bahunya santai tapi tetap tenang, tatapannya lurus ke depan tanpa melihat siapa pun. Cara dia membuka kotak bekalnya yang berwarna hitam muda juga rapi: satu gerakan saja, tidak bertele-tele. Seperti Lynn versi kecil—dingin, disiplin, tapi tersembunyi kelembutan yang sulit terlihat.

Catalina melirik Shinn dari sudut mata, bibirnya melengkung naik membentuk senyum yang lebih lebar. Dia memutar tubuhnya sedikit mendekat, rambutnya meluncur ke depan bahunya. “Hm~ Shinn… bekal kamu kelihatan enak banget ya~” katanya dengan suara yang manis dan melengking, tetapi ada sedikit kelicikan di dalam nada suaranya—kelicikan yang mungkin hanya orang dewasa yang bisa deteksi.

Shinn tidak langsung menoleh. Dia mengambil sepotong onigiri dari bekalnya, mengunyah perlahan, rapi, dan tetap dingin. Setiap gerakan makanannya teratur: buka mulut, masukkan makanan, kunyah dengan kecepatan yang sama. Setelah selesai mengunyah, dia menjawab dengan suara datar yang tidak ada emosi: “…Ini cuma makan siang biasa.”

“Ehh? Padahal plating nya rapi banget~ Setiap makanan disusun rapi kayak bunga loh!” Catalina mencondongkan tubuh sedikit lebih jauh, matanya yang berwarna pink-keemasannya bersinar dengan penasaran. “Mama kamu pasti hebat masak ya? Atau Papa yang bikin?”

Shinn melirik Catalina sepersekian detik—hanya sepersekian, tapi bagi Catalina itu seolah-olah dia kena petir cinta yang membuat jantungnya berdebar-debar cepat. Matanya yang merah tajam itu bertemu dengan mata Catalina sebentar, lalu kembali ke makanan. “…Mama memang disiplin. Dia selalu menyusun makanan dengan rapi.” jawabannya pendek, efisien, dan tetap dingin—tapi ada nuansa bangga yang sangat tipis di dalamnya.

Catalina meledak dalam hati: “KYAAAH LYNN JUNIOR!! MANIS BANGET CARA DIA NGOMONGNYAAA!! Bahkan bicara tentang mama juga keren banget!!” Tapi wajah luarnya tetap elegan dan lembut, seperti Andras saat menggoda musuh dengan senyum yang tidak terlukiskan. Dia menepuk dagunya dengan gaya yang mencoba terlihat dewasa. “Aku boleh liat? Bekalnya yang rapi itu?” suaranya lembut, licik, dan manja bersamaan—seolah dia tahu Shinn tidak akan bisa menolak.

Shinn menoleh penuh kali ini. Tatapannya tetap datar, tapi ada sedikit ekspresi heran di matanya—seolah dia tidak mengerti mengapa Catalina tertarik dengan bekalnya yang biasa-biasa saja. “…Kenapa kamu tertarik?” tanyanya dengan suara yang sama datar, tapi ada nada penasaran yang tersembunyi.

Catalina menyeringai kecil, matanya menyipit sedikit. “Karena~ kamu tampak seperti anak yang selalu dijaga dengan penuh cinta~ Semua hal di sekitar kamu rapi dan teratur… itu tandanya orang tua kamu sayang banget sama kamu.” kalimatnya terdengar terlalu dewasa untuk anak TK, membuat Shinn berkedip sedikit—tanda dia memang terkejut.

“…Kamu aneh.” nada datarnya menusuk seperti pisau, tapi tidak ada rasa jahat di dalamnya—hanya kebingungan.

“Tapi kamu tidak menolak, kan~?” Catalina menyeringai lebih lebar, memutar rambutnya sedikit sehingga terlihat lebih imut.

Shinn terdiam sebentar, menatap Catalina dengan mata yang tajam. Lalu, dia mengangkat bahunya sedikit—gerakan yang jarang dia lakukan. “…Tidak.”

Catalina hampir meledak bahagia—jantungnya berdebar-debar seolah akan melompat keluar dari dada. Dia menunduk sedikit untuk melihat bekal Shinn: nasi yang dibentuk rapi menjadi bunga, ikan bakar yang dipotong rapi, dan sayuran yang dihidangkan dengan bunga kucai. Semua terlihat sempurna. “Wah… sungguh rapi banget! Kamu bangga sama mama kamu ya?” tanyanya dengan suara yang penuh kekaguman.

“…Iya.” Shinn menjawab dengan suara yang lebih lembut, membuat Catalina semakin senang.

Keduanya mulai makan berdampingan, suasana menjadi tenang tapi nyaman. Catalina membuka bekalnya sendiri—makanan buatan Leon dan Andras, plating indah penuh warna: nasi berwarna ungu dan merah, ayam bakar yang berwarna keemasan, dan buah-buahan yang dipotong menjadi bintang. Semua terlihat lezat dan cantik, seolah dibuat untuk pesta.

Shinn menatap bekal Catalina diam-diam, tanpa dia sadari. Matanya yang selalu dingin terlihat sedikit melembut. “…Bekal kamu juga rapi.” katanya dengan suara yang lebih pelan, hampir tidak terdengar.

Catalina tersenyum manis, mengambil sepotong ayam bakar. “Hehe~ iya dong. Keluarga ku perfeksionis semua—mama suka membuat makanan yang cantik, papa suka memastikan semua hal teratur. Bahkan aku juga suka membuat hal-hal rapi!” dia berkata dengan semangat, matanya bersinar.

Angin kecil lewat dari jendela, membuat rambut Catalina bergoyang lembut seperti awan muda. Sinar matahari siang menimpa wajahnya, membuat mata pink-keemasannya berkilau seperti permata. Shinn menatapnya sekilas—sangat sekilas—butuh waktu yang lama untuk dia melepaskan pandangannya. Matanya melembut lebih jauh, seolah dia melihat sesuatu yang indah. “…Kamu berbeda dari yang lain.” katanya dengan suara yang penuh kebenaran.

Catalina menoleh cepat, tubuhnya sedikit bersentak. “Berbeda gimana? Buruk atau baik?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar—dia takut Shinn akan mengatakan dia aneh dan tidak mau berteman.

Shinn memalingkan wajah lagi, kembali ke makanan dengan wajah yang dingin seperti biasa. “Tidak tahu. Tapi… bukan anak kecil.”

Catalina hampir tersedak—napasnya terhenti sebentar. “WAAA DIA NANGKEP AKU ANEH!! Dia tahu aku bukan cuma anak TK biasa!!” dia berpikir dengan panik, tapi segera menenangkan diri. Ia merespons dengan senyum penuh kontrol diri, meskipun hatinya berdebar-debar cepat. “Hm~ mungkin aku memang… sedikit dewasa. Karena aku punya banyak pengalaman yang tidak semua anak punya.” kalimatnya terdengar misterius, membuat Shinn mengangkat alis sedikit.

Saat ia melihat Shinn makan dengan gaya rapi dan dingin—gerakan yang sama dengan Shinn di masa depan—tiba-tiba memori masa depan menyerbu kepalanya dengan cepat dan kuat, seperti gelombang badai yang menimpa.

Mata Catalina melihat gambaran Shinn SMA: tinggi, dingin, tampan dengan rambut silver gelap yang tergeletak rapi. Dia berdiri di teras sekolah, mata merah tajamnya menatap jauh. Tapi ketika dia melihat Catalina, matanya langsung melembut—lembut hanya pada dia.

Memori lain muncul: Shinn saat memeluknya dari belakang di tengah malam, tubuhnya hangat melindungi Catalina dari dingin. Dia berkata dengan suara yang lembut tapi tegas: “Aku janji… hidupmu tidak akan berakhir tragis. Aku akan melindungimu selamanya.”

Lalu, memori yang paling menyakitkan: Shinn di akhir hidupnya, tubuhnya lemah tapi mata nya tetap cerah. Dia memeluk Catalina dengan senyum paling hangat yang pernah dia berikan, berkata: “Jangan menangis… kamu harus kuat. Hidupmu masih panjang, dan aku akan selalu ada di hatimu.”

Jantung Catalina mencubit keras—rasa sakit dan kebahagiaan bergabung menjadi satu. “Shinn… kamu hidup. Kamu kecil lagi. Kamu ada di sini. Aku… benar-benar berhasil kembali ke masa lalu. Aku bisa mengubah segalanya.” dadanya terasa hangat, napasnya gemetar samar. Tiba-tiba…

Plip.

Setetes air mata jatuh ke lututnya, membasahi seragam putihnya. Lalu, air mata lain mengikuti—satu demi satu, mengalir perlahan di pipinya.

Shinn menghentikan gerak makan seketika. Dia menatap Catalina dengan mata yang tajam, melihat air mata yang mengalir di wajahnya. “…Kamu menangis.” katanya dengan suara yang datar, tapi ada rasa perhatian yang terlihat jelas.

Catalina tersentak kecil, terkejut Shinn menyadari. Dia cepat mengusap air matanya dengan ujung lengan seragamnya, tapi gerakannya bergetar dan tidak bisa menyembunyikan semua air mata. “A-ah! Ini… ini cuma debu mata… masuk ke mata aku… hehe…” dia mencoba tersenyum, tapi senyumnya terlihat rapuh dan tidak asli.

Shinn menatapnya tanpa kedip, mata nya fokus hanya pada Catalina. Dingin. Fokus. Tapi ada rasa peduli yang sangat tipis di ujung tatapannya—rasa peduli yang jarang dia tunjukkan pada siapa pun. “…Kamu bohong.” katanya dengan tegas, tidak mau tertipu.

Catalina membeku—tubuhnya kaku, tidak bisa berkata apa-apa. Dia menggigit bibirnya sebentar, mencoba menahan air mata yang terus mengalir.

Shinn mencondongkan tubuh sedikit mendekat, jarak mereka semakin dekat—sangat dekat sampai Catalina bisa merasakan napasnya yang hangat. Jantung Catalina memukul tulang rusuk dengan cepat, seolah akan meledak. “Kenapa menangis?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut, bahkan sedikit lemah—seolah dia juga merasa sakit melihat Catalina menangis.

Catalina menggigit bibirnya lebih kuat, senyumnya muncul lagi—lembut, rapuh, namun tetap cantik. “Karena… aku senang. Hari ini menyenangkan banget. Kalian semua… baik banget sama aku. Shinn juga baik banget sama aku.” suaranya bergetar sedikit, air mata terus mengalir. “…Aku cuma… bersyukur. Aku punya kesempatan untuk bertemu kalian semua lagi.”

Shinn menatapnya lama—sangat lama—matanya yang tajam terlihat semakin melembut. Dia tidak berkata apa-apa selama beberapa detik, seolah memikirkan kata-kata yang tepat. Lalu, dia perlahan berkata: “…Kalau itu yang kamu rasakan… tidak apa-apa. Boleh menangis kalau senang.”

Catalina hampir pingsan—“ASTAGA DIA NGOMONG BIJAK BANGET DI UMUR SEGINI!!!” pikirnya, tubuhnya merasa lemah karena kebahagiaan. Lalu, Shinn menambahkannya dengan sangat pelan, sehingga Catalina harus mendengar dengan seksama: “…Kalau kamu nangis lagi… bilang saja. Aku akan mendengarkan.”

Catalina merasa air mata nya mengalir lebih deras, tapi ini air mata kebahagiaan. Dia menyenyum lebar, mengusap air mata dengan lengan. “Hehe… makasih, Shinn. Kamu benar-benar baik banget.”

Shinn kembali makan, wajahnya kembali dingin seperti biasa. Dia mengunyah perlahan, tidak melihat Catalina lagi. “…Hm.” Tapi di dalam hati, dia berpikir: “Dia menangis karena senang… aneh tapi… tidak buruk.”

Tapi Catalina melihatnya—pipinya memerah sangat samar, hanya terlihat ketika sinar matahari menimpanya. Dia menutup mulut sambil menahan jeritan hati yang hampir keluar. “Dunia… terima kasih. Aku beneran dapat kesempatan kedua. Dan aku akan melindungi Shinn… semua teman-teman ku… dari semua kesedihan yang akan datang.”

Angin kecil masih bertiup, membawa bau bunga dan kebahagiaan ke dalam ruangan. Keduanya makan berdampingan dengan tenang, tapi hatinya keduanya merasa lebih dekat—lebih dekat dari yang mereka sadari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!