Ikatan Takdir

Malam semakin larut.

Kanaya dan Alya sudah tertidur di kamar—napas mereka teratur, damai. Lampu kamar dibiarkan redup, seolah menjaga keheningan yang rapuh.

Rafa duduk sendirian di ruang tamu. Jasnya sudah dilepas, kemeja dilonggarkan. Ia menatap cincin di jarinya lama sekali, seperti baru menyadari bobotnya.

Aku sudah menikah…

Bukan sekadar status.

Bukan sekadar menangkis omongan orang.

Ia kini adalah suami.

Dan—tanpa pernah diucapkan secara resmi—ayah.

Rafa menyandarkan punggung ke sofa, menghela napas panjang. Di kepalanya berputar banyak hal yang selama ini ia tekan jauh ke dalam.

Apa aku cukup baik untuk mereka?

Apa aku bisa melindungi Kanaya dari masa lalunya?

Apa aku siap menghadapi Barata… jika suatu hari dia datang?

Cinta membuatnya berani.

Tapi tanggung jawab membuatnya gentar.

Ia bangkit pelan, berjalan ke kamar. Berdiri di ambang pintu, memandangi Kanaya yang tertidur menyamping, satu tangan masih refleks melindungi Alya.

Rafa menelan ludah.

Perempuan ini sudah terlalu sering disakiti.

Dan kini, ia menyerahkan hidupnya lagi—kepadanya.

“Aku takut gagal,” bisik Rafa nyaris tanpa suara. “Takut melukaimu… meski aku berniat menjagamu.”

Ia teringat ucapan Kanaya dulu: aku takut gagal lagi.

Kini ia mengerti—sepenuhnya.

Rafa duduk di tepi ranjang, menatap Alya yang terlelap. Jari kecil itu mencengkeram kain selimut, seolah mencari pegangan bahkan dalam tidur.

Hatinya mencelos.

Bagaimana kalau aku tidak cukup?

Bagaimana kalau suatu hari aku mengecewakan kalian?

Kanaya bergerak sedikit, matanya terbuka samar. Ia menatap Rafa yang duduk diam, wajahnya tegang.

“Rafa?” suaranya serak. “Kenapa belum tidur?”

Rafa terkejut kecil. Ia tersenyum, tapi Kanaya terlalu mengenalnya untuk tertipu.

“Kamu ragu?” tanya Kanaya pelan.

Rafa terdiam lama… lalu mengangguk jujur. “Aku takut.”

Kanaya bangkit setengah duduk, menatapnya tanpa marah, tanpa kecewa.

“Takut apa?”

“Takut tidak bisa jadi suami yang kamu butuhkan. Takut tidak bisa jadi ayah yang Alya pantas dapatkan.”

Kanaya meraih tangannya. Hangat. Tegas.

“Aku tidak menikah denganmu karena kamu sempurna,” katanya lembut. “Aku menikah karena kamu mau tinggal… bahkan ketika kami takut.”

Rafa memejamkan mata. Nafasnya berat.

“Kita akan sama-sama belajar,” lanjut Kanaya. “Aku juga masih takut, Raf. Tapi kali ini… aku tidak ingin lari.”

Rafa membuka mata, menatap istrinya. Ada air di sudut matanya—bukan lemah, tapi manusiawi.

Ia mengangguk pelan. “Kalau begitu… izinkan aku takut sambil tetap tinggal.”

Kanaya tersenyum kecil. “Itu sudah lebih dari cukup.”

Rafa berbaring di sisi mereka. Alya tanpa sadar bergeser, kepalanya menyentuh dada Rafa. Refleks, Rafa memeluknya.

Dan di tengah kebimbangan itu, Rafa akhirnya mengerti:

Keberanian bukan berarti tidak takut.

Keberanian adalah tidak pergi meski takut.

Malam itu, dengan segala ragu yang masih ada,

Rafa memilih satu hal dengan pasti—

Ia akan bertahan.

***

Barata mulai menyelidiki Angela dengan cara yang tak pernah ia lakukan sebelumnya—diam, rapi, dan penuh perhitungan.

Awalnya ia hanya mengandalkan firasat. Terlalu banyak kebetulan tentang perempuan itu. Cara Angela muncul di hidupnya, informasi yang ia miliki, bahkan ketenangannya setiap kali Barata menyebut nama Kanaya—semuanya terasa janggal.

Suatu malam, Barata duduk sendiri di mobil, parkir tak jauh dari rumah kontrakan Angela dulu. Ia menunggu. Jam menunjukkan lewat tengah malam ketika seorang pria keluar dari rumah itu. Topi ditarik rendah, langkahnya cepat. Barata mengenali siluet itu.

Bukan orang sembarangan.

Keesokan harinya, Barata menghubungi kenalan lamanya—seseorang yang dulu pernah berutang nyawa padanya. Dari situlah potongan-potongan mulai tersusun.

Angela bukan hanya “perempuan yang kebetulan hadir”.

Ia punya nama lain.

Ia pernah bekerja untuk pihak yang sama dengan orang-orang yang dulu menghancurkan hidup Kanaya.

Dan yang paling membuat darah Barata berdesir—

Angela tahu terlalu banyak tentang masa lalu Kanaya. Hal-hal yang bahkan Barata sendiri baru mengetahuinya belakangan.

Barata menyusup lebih dalam. Ia mengikuti Angela, memeriksa ponsel bekas yang dibuangnya, bahkan membobol email lama yang tak pernah benar-benar dihapus. Di sana ia menemukan satu pesan pendek, bertanggal beberapa bulan lalu:

“Target masih hidup. Sudah dekat dengan pria bernama Rafa. Instruksi selanjutnya?”

Barata menutup laptop perlahan. Rahangnya mengeras.

Jadi benar.

Angela bukan hanya pengkhianat.

Ia ancaman.

Namun Barata tak gegabah. Ia tahu, jika Angela masih bergerak, berarti ada seseorang di belakangnya—lebih besar, lebih berbahaya.

Dan di saat yang sama, satu nama terus terngiang di kepalanya:

Kanaya.

Jika Angela masih bebas, maka Kanaya belum sepenuhnya aman.

Barata mengambil ponselnya, menatap layar beberapa detik, lalu berkata pelan pada dirinya sendiri,

“Kalau kamu pikir aku akan diam… kamu salah besar, Angela.”

***

Barata menemui James di tempat yang tak pernah berubah sejak dulu—sebuah bengkel tua di pinggir kota, separuhnya tertutup terpal, berbau oli dan besi panas. Tempat aman. Tempat orang-orang yang ingin menghilang dari peta.

James sedang membongkar mesin motor ketika Barata datang. Ia tak menoleh, seolah sudah tahu siapa yang berdiri di belakangnya.

“Sudah lama,” ujar James akhirnya. Suaranya datar, tapi matanya tajam. “Kalau kamu datang ke sini, berarti masalahnya bukan kecil.”

Barata meletakkan map cokelat di atas meja kerja.

“Namanya Angela,” katanya singkat. “Aku mau semua tentang dia. Masa lalu, nama lain, jaringan, siapa yang bayar.”

James berhenti bekerja. Ia membuka map itu—foto Angela, salinan pesan, potongan data yang sudah Barata kumpulkan. Alisnya terangkat sedikit.

“Perempuan ini… bersih di permukaan,” gumam James. “Terlalu bersih.”

“Makanya aku ke kamu.”

James menyalakan rokok, menghembuskan asap pelan. “Kalau dia bersih, berarti ada yang membersihkan jejaknya. Itu mahal. Dan orang yang sanggup melakukan itu biasanya tidak main sendiri.”

“Berapa lama?” tanya Barata.

“Tiga hari untuk permukaan,” jawab James. “Seminggu untuk hal-hal yang ingin disembunyikan. Tapi kamu harus siap.”

“Siap apa?”

James menatap Barata lurus-lurus. “Siap tahu bahwa perempuan ini tidak datang untukmu. Dia datang untuk seseorang yang jauh lebih penting di hidupmu.”

Nama Kanaya tak disebut, tapi Barata langsung memahaminya.

Barata mengangguk. “Aku tak butuh dia ditakuti. Aku butuh kebenaran.”

James menyeringai tipis. “Kalau begitu, jangan hubungi aku. Aku yang akan menghubungimu.”

Saat Barata berbalik pergi, James menambahkan satu kalimat yang membuat langkahnya terhenti.

“Oh ya, Bar. Kalau Angela masih hidup sampai sekarang, berarti dia belum menyelesaikan tugasnya.”

Barata mengepalkan tangan.

Artinya satu:

Permainan belum selesai.

Barata pun akhirnya kembali pulang. Tempat dimana ia tinggal bersama Angela.

Ia mengendarai mobilnya perlahan meninggalkan tempat James berada.

Lamunannya sesekali buyar karena lalu lalang kendaraan di jalanan. kadang silau lampu dari kendaraan yang berlawanan.

Tak lama kemudian, Barata pun sampai di kediamannya. Suasan rumah tampak sepi tidak ada Angela yang seringkali berada di rumah.

Barata mencoba untuk tenang kali ini. Apalagi menghadapi Angela yang yang masih misterius dengan segala tindakannya.

.

.

BERSAMBUNG

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...