Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu?
Zahra terbangun dengan sentakan pelan. Matanya mengerjap beberapa kali, menatap langit-langit putih rumah sakit. Ia mengeliat sedikit dan langsung tersentak.
“Kenapa aku bisa tidur di sini?” gumamnya terkejut ketika mendapati dirinya berada di ranjang pasien milik Althaf.
Althaf yang duduk di kursi samping ranjang tersenyum tipis. “Kau tidur berjalan lalu mengambil tempat tidurku.”
Zahra menatapnya bulat-bulat, menunjuk hidungnya sendiri. “Aku? Tidur berjalan?”
Althaf mengangguk polos, tapi bibirnya jelas menyimpan senyum nakal. Zahra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Perasaan aku gak pernah tidur berjalan deh,” gumamnya mengingat semalam.
“Sudah, gak apa-apa. Ayo kita pulang,” ujar Althaf sambil bangkit pelan.
Namun baru beberapa langkah, Zahra langsung menghentikan langkahnya. “Kita gak pulang dulu. Harus buat laporan para begal itu.”
Althaf mengangguk. Keduanya pun langsung keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju kantor polisi yang hanya berjarak ratusan meter.
*
*
Di Kantor Polisi
Begitu memasuki halaman kantor polisi, Zahra dan Althaf sama-sama terbelalak.
“Kok … kosong?” Zahra berbisik, wajahnya berubah tegang.
Saat mereka masuk, lebih terkejutlah mereka kelima begal itu sedang berdiri di luar sel, dengan wajah bengkak, ada yang duduk sambil memegangi pinggang, ada yang memegangi lengan patah dan polisi malah sedang membuka pintu sel.
Zahra langsung berseru, “Apa-apain? Mereka mau dibebaskan?!”
Melihat Zahra, kelima begal itu langsung pucat, lalu berlari terbirit-birit balik ke dalam sel dan menguncinya sendiri ketakutan melihat sosok wanita yang semalam hampir menghabisi mereka.
Zahra mendengus keras. Ia melangkah maju ke arah polisi yang berjaga.
“Kenapa mereka mau dilepaskan?” suaranya meninggi.
Salah satu polisi bertubuh tambun mendengus malas. “Dek, mereka dibebaskan karena gak bersalah. Itu hanya kenakalan remaja. Lagipula itu tak cukup bukti. Jadi lebih adek pulang saja.”
Wajah Zahra langsung memerah marah. “Kenakalan bapakmu peang! Heh! Mereka itu sudah sangat meresahkan masyarakat dan kalian bilang ingin membebaskan mereka? Wah benar-benar ini polisi Konoha!”
Beberapa polisi lain menoleh dengan raut kesal.
Zahra maju selangkah. “Heh pak polisi! Kalian itu kerja atau bagaimana hah?!”
Polisi tambun itu langsung mengerutkan kening, tersinggung. “Apa maksudmu? Memang benarkan tak cukup bukti. Lebih kalian pulang saja. Ganggu waktu orang saja. Lagi pula kalian baik-baik saja, bukan?”
Zahra tersenyum sinis. “Heh! Apa matamu buta hah?”
Althaf hendak menenangkan Zahra, namun Zahra langsung menepisnya. Ia lalu berjalan keluar.
Tak sampai satu menit kemudian, Zahra kembali menenteng parang, badik, dan busur yang diambil dari mobil pete-pete.
Zahra melemparkan semuanya ke lantai kantor polisi.
“Nah lihat ini! Ini barang buktinya!” katanya tajam.
Lalu ia menarik lengan Althaf ke depan. “Lihat suami saya! Dia terluka terkena busur! Dan kau bilang baik-baik saja?! Heh! Apa harus ada yang tewas dulu baru kalian bertindak? Bahkan sudah banyak korbannya tapi kalian tutup mata!”
Zahra menatap kelima begal itu dari balik jeruji. “Mengaku kalian! Kalian sudah membegal banyak orang bukan?” gertak Zahra.
Kelima begal itu mengangguk cepat-cepat, meski meringis kesakitan.
Zahra kembali menatap polisi tambun itu dengan dingin. “Kurang bukti apalagi?!”
Para polisi lain mulai melirik ke arah barang bukti dan luka Althaf. Mereka bukannya tidak tahu, hanya saja mereka terlalu malas meladeni sesuatu yang tidak menguntungkan. Tapi meski begitu, mereka tetap berusaha mengintimidasi.
Polisi tambun itu menggebrak meja. “Heh! Dek! Kau jangan kurang ajar ya! Kau tidak tahu, kami ini polisi! Justru kami bisa memenjarakan kalian atas dasar penganiayaan terhadap kelima orang itu!” gertaknya, berpikir Zahra dan Althaf takut.
Zahra bukannya takut, justru semakin menantang. “Kenapa kalau kalian polisi hah?! Justru kalian harusnya ingat, kalian digaji oleh rakyat kecil yang bayar pajak. Jadi jangan sok! Kalian hanya pelayan dari rakyat!”
Beberapa polisi mulai memerah wajahnya menahan emosi.
Kali ini Althaf maju, suaranya tegas. “Pak. Jangan pikir kami orang kecil, Anda bisa menindas rakyat biasa. Kalian bahkan sudah tidak sopan dengan istri saya.”
Ia melanjutkan, “Pasal 49 KUHP lama atau Pasal 34 UU 1/2023 baru membolehkan korban melawan tanpa pidana jika diperlukan untuk membela diri atau harta dari serangan langsung dan melawan hukum, asalkan pembelaan tersebut proporsional dan tidak melampaui batas.”
Para polisi langsung tercekat, wajah mereka memucat. Mereka terkejut, karena kedua orang di depan mereka tahu tentang hal itu.
Ketegangan semakin terasa di ruangan itu. Sampai tiba-tiba suara seseorang memecah keheningan.
“Permisi.”
Seorang pria berjas rapi masuk, membawa koper hitam elegan. Auranya berbeda dingin, profesional, dan jelas bukan orang sembarangan.
Mata semua polisi melebar.
Zahra langsung berseru, “Nah, Pak Handoko! Tolong proses mereka! Mereka sudah melampaui batas! Dan kalau perlu, aku bakal viralin kalian semua!”
Para polisi langsung pucat pasi. Nama itu bukan nama sembarangan. Pak Handoko. Pengacara terkemuka yang sudah banyak memenangkan kasus.
Althaf tertegun. “Kenapa pengacara ini bisa sampai di sini?”
Ia menoleh pelan ke Zahra.
Zahra meringis kecil, itu adalah ulahnya. Sebelum tidur semalam, ia menelpon Pak Handoko buat langsung terbang ke Sulsel malam itu juga.
Pak Handoko memberi hormat kecil pada Zahra. “Baik, Nona. Saya akan proses semuanya.”
Para polisi itu nyaris tumbang melihatnya.
*
Zahra keluar dari WC kantor polisi sambil mengusap wajahnya yang masih basah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosi setelah adu mulut dengan para polisi tadi.
Baru saja ia melangkah ke lorong, seseorang memanggil, “Nona … maaf sebentar.”
Zahra menoleh.
Seorang polisi muda berdiri tegap. Posturnya tinggi, wajahnya rapi dan tegas. Seragamnya menunjukkan pangkat Kompol, Wakapolres. Usianya sekitar pertengahan tiga puluh.
Pria itu tersenyum sopan. “Perkenalkan, saya Kompol Erlangga, Wakapolres di sini.”
Zahra mengangkat alis. “Iya, ada apa?”
Kompol Erlangga menundukkan kepala sedikit, tatapannya penuh penyesalan. “Saya ingin meminta maaf atas ketidaknyamanan yang Anda alami. Seharusnya pelayanan kami tidak seperti itu. Saya pastikan teman-teman saya yang bersikap tidak profesional akan ditindak.”
Zahra mendengus pelan. “Memang harusnya begitu, Pak. Lihat saja tadi, pada leha-leha tidak jelas, kalau ditegur malah ngegas.”
Mendengar gerutuan itu, bibir Erlangga terangkat, seolah menahan tawa. “Iya, saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkan. Tidak semua warga berani menegur.”
Zahra mengangkat bahu. “Saya cuma ingin mereka kerja sesuai tugasnya.”
Erlangga mengangguk. Lalu ia terdiam sebentar, seolah mencari keberanian. “Ehm … Nona, bolehkah saya meminta nomor telepon Anda?”
Zahra langsung mengerutkan kening. “Untuk apa?”
Kompol Erlangga sempat gugup, tangannya meraih saku bajunya. “B–bukan apa-apa … maksud saya, untuk mengabarkan perkembangan kasusnya ke Anda. Agar koordinasinya lebih mudah.”
Zahra menatapnya beberapa detik. Karena alasannya masuk akal, ia akhirnya mengangguk. “Oke, ini nomornya .…” Ia menyebutkan angka-angkanya, dan Kompol Erlangga mencatat cepat di ponselnya.
Dari kejauhan, di balik jendela ruang tunggu, Althaf melihat semua itu. Rahangnya mengeras. Tangan yang terluka itu mengepal, namun ia menahan diri.
Setelah mencatat nomor, Kompol Erlangga mengulurkan tangan. “Boleh saya tahu nama lengkapnya? Sekalian berkenalan.”
Zahra hendak menyambut tangannya. Namun tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tangannya.
“Eh—” Zahra terkejut.
Althaf berdiri di sampingnya, tubuhnya tegak dan dingin. Tatapannya menusuk, bukan kepada Zahra, tapi kepada polisi muda itu.
Suara Althaf dingin. “Maaf. Dia istriku.”
Kompol Erlangga terkejut, matanya sedikit melebar. Ia langsung merapatkan tangannya kembali dan menegakkan badan. “Oh … begitu.” Ia menunduk sopan. “Baik. Mohon maaf kalau tadi saya lancang.”
Althaf tidak menjawab, hanya mengangguk tipis sambil menggenggam tangan Zahra lebih kuat, seolah menunjukkan batas.
Zahra melihat ke arah keduanya bergantian dan menghela napas. “Sudah, ayo Al. Kita balik dulu.”
Erlangga memberi hormat kecil. “Terima kasih, Nona, Tuan! Kami urus semuanya.”
Althaf hanya menatapnya sekilas sebelum menarik Zahra pergi, langkahnya cepat, bahunya tegang.
ortu nya Zahra kapan datang sih ke kampung Altaf, biar warga kampung pada mingkem
heran deh, bikin emosi aja😡
kalau tau identitas Zahra, yakin deh tu Mak Mak pada melongo
🤦🤦
padahal blm tntu itu emas alsi 🙈🙈🙈