NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Bab 16

“Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan jawab basa-basi!” desak Pak Walikota Sabra, menekan Kepala Divisi Cakra dengan nada marah dan tegang.

Kepala Divisi Cakra terlihat gelisah, berkeringat dingin. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Gladys, coba jelaskan semuanya,” ujarnya, berharap bisa meringankan tekanan.

Gladys segera angkat bicara dengan sigap. “Kami menjemput Aryo karena menerima laporan adanya pembunuhan. Aryo dicurigai berada di TKP saat peristiwa terjadi.”

“Siapa yang melapor?” Pak Sabra menuntut jawaban, matanya tajam menatap kedua petugas di ruangan itu.

Gladys menoleh sebentar ke Cakra, meminta dukungan. Kepala Divisi akhirnya bicara. “Kami hanya ingin memastikan tuduhan itu langsung ke Aryo Pamungkas,” katanya pelan namun tegas.

“Begitu cara kerja kalian? Memanggil orang tanpa bukti konkret? Apa kalian punya bukti yang mengarah ke sana?” Pak Sabra menghardik, suaranya bergema di ruangan.

“Informasi itu berasal dari sumber yang kami anggap kredibel, Pak,” bela Cakra, berusaha menenangkan suasana.

“Iya, siapa sumbernya?” tanya Sabra lagi, curiga.

“Informan besar kami.” Cakra masih berusaha menutup-nutupi identitas sebenarnya.

“Tidak bisa begitu! Kalian tidak bisa sembarangan memanggil orang untuk diinterogasi. Untung media belum tahu. Kalau sampai bocor, saya bisa pecat kalian semua!” Pak Sabra mondar-mandir sambil berkacak pinggang, wajah merah padam.

“Kami janji, Pak, tidak akan terulang lagi,” kata Cakra. Gladys menunduk patuh, menahan rasa bersalah.

“Lalu, siapa empat orang itu?” Pak Sabra menanyakan dengan nada curiga.

Pongki menjawab cepat, “Mereka memang polisi, Pak. Tapi dari polsek lain.”

“Akan kupastikan mereka dicopot dari jabatannya. Aneh sekali, interogasi kok pakai pengeroyokan. Dari mana mereka belajar cara seperti itu? Aryo PamungkasCorps adalah orang baik!” Pak Sabra menekankan dengan nada tegas.

Semua yang ada di ruangan sedikit terkejut ketika Pak Sabra menyebut nama Aryo PamungkasCorps. Seharusnya hanya Aryo Pamungkas. Bahkan Aryo sendiri tampak bingung mendengar sebutan itu.

“Saya ingin tahu siapa informan sebenarnya. Pak Cakra, ikut saya ke ruang kantor.” Pak Sabra berjalan mantap menuju kantor Kepala Divisi. “Gladys, kamu bisa tetap menanyakan keterangan Aryo jika perlu,” tambahnya.

“Siap, Pak!” jawab Gladys tegas, menuntun Aryo kembali ke ruang interogasi dengan langkah pasti.

Pak Kamal menunggu di depan kantor Cakra, menatap Aryo dan memberinya anggukan tenang. “Kau tidak bersalah, Aryo,” katanya sambil tersenyum tipis.

Setelah masuk ke ruang interogasi, kini dengan kehadiran Gladys, Aryo bisa sedikit bernapas lega.

“Maaf atas peristiwa tadi. Seharusnya kami tidak gampang lengah,” kata Gladys sambil duduk di samping Aryo, membuka buku catatan untuk menuliskan pengamatan.

Aryo menatap Gladys. Wajahnya cantik dengan potongan rambut pendek, kulitnya cerah dan tegas. Ia menegaskan diri dengan senyum ramah. “Tidak masalah,” kata Aryo.

“Kau keberatan jika kumintai keterangan sekarang?” tanya Gladys.

“Tidak, asalkan bersamamu, Gladys,” Aryo menyunggingkan senyum nakal, membuat Gladys tersipu tipis.

“Apa saja yang mereka tanyakan barusan? CCTV kami dirusak, jadi rekamannya tidak terdengar,” ia melanjutkan.

Aryo mulai menjelaskan secara runtut. “Sepertinya saya sedang dijebak. Mereka ingin membuat saya terlihat bersalah.”

“Sepertinya begitu. Aku sudah melihat aksimu meringkus perampok di Money Changer,” kata Gladys dengan nada kagum.

“Menurutmu bagaimana?” Aryo mengangkat alis.

“Keahlian bela diri itu bukan dimiliki sembarangan orang. Belajar di mana kau? Pernah dididik militer?” Gladys menatapnya dengan rasa kagum.

“Kebetulan, pelatih bela diri saya berasal dari kalangan militer,” Aryo menjawab cepat, mengarang demi melindungi rahasia.

“Bisa beritahu nama perguruannya?” Gladys menulis di buku catatannya.

“Sayap Naga. Tapi sudah lama bubar. Pelatihnya juga sudah meninggal,” Aryo menambahkan dengan yakin, memaparkan detail yang terdengar masuk akal.

Gladys mencatat semua dengan seksama.

“Baiklah, kau bisa jelaskan semalam berada di mana?” tanya Gladys, menatap serius.

“Di apartemen Skywind,” Aryo menjawab tegas.

“Ada yang bisa membuktikan?”

“Ada. Meliana Andara dan Thania Hari,” Aryo menyebut nama keduanya.

Gladys mengerutkan dahi.

“Oh, jadi kau selain bertugas sebagai tim keamanan di Andara Group juga ditugaskan untuk mengawal Meliana Andara sang CEO?” Aryo menjelaskan supaya tidak salah paham.

“Thania Hari? Putri Keluarga Hari, yang dijodohkan dengan Jerry Zola?” tanya Gladys.

“Benar. Thania sedang menginap di apartemen Meliana. Mereka teman dekat,” Aryo menambahkan.

“Kau ikut menginap di kamar mereka?” tanya Gladys agak malu.

“Tentu tidak. Saya tinggal di unit lain di apartemen yang sama,” Aryo menjelaskan dengan tenang.

Aryo menyerahkan ponselnya untuk dicek GPS. “Mungkin ini bisa membantu melacak keberadaan saya semalam,” jelasnya.

“Bagaimana Thania menerima berita kematian Jerry Zola?” tanya Gladys.

“Saya lihat dia cukup terpukul,” Aryo berbohong, menjaga suasana tetap aman.

Gladys mencatat, kemudian menutup bukunya. “Saya rasa cukup. Maaf atas ketidaknyamanan ini. Perlu saya antar kembali ke kantor?”

“Boleh, Gladys,” Aryo tersenyum tipis. “Dan terima kasih juga atas bantuanmu.”

Di kantor Cakra, Pak Sabra masih mendesak Kepala Divisi.

“Wafi Zola? Dia informan kami,” Cakra akhirnya mengaku, menyerah didesak Pak Sabra.

“Si konglomerat itu? Hmm.” Pak Sabra tahu Wafi Zola punya koneksi di lembaga besar. Ia harus berhati-hati.

Gladys mengetuk pintu, masuk, dan melaporkan hasil interogasi. “Saya sudah konfirmasi GPS dan kontak, Aryo tidak berada di TKP.”

“Terima kasih, Gladys. Lanjutkan pekerjaanmu,” perintah Pak Sabra.

“Kau orangnya Wafi Zola ya?” Pak Sabra geram. “Berapa kau dibayar? Tidak semestinya instansi kepolisian dikendalikan konglomerat.”

Pak Sabra menarik kerah Cakra dan menegurnya keras. “Kau mendapatkan posisi ini karena bantuanku, tapi sekarang kau membelot ke Wafi Zola? Tidak bisa diterima!”

“Maaf, Pak. Saya salah, terpengaruh Wafi Zola. Saya janji tidak akan terulang,” jawab Cakra menahan sakit.

“Aku akan mengawasi ketat. Apa pun yang dia katakan harus kau teruskan juga kepadaku. Mengerti?” Pak Sabra menatap Cakra tajam.

“Mengerti, Pak,” kata Cakra sambil berkeringat dingin.

“Silakan beritahu Wafi Zola tentang hal ini.”

Di kediaman Wafi Zola, ia menerima telepon dari Cakra.

“Apa? Aryo Pamungkas dibebaskan?” geramnya.

Cakra menjelaskan semua kronologi.

“Hmm… aku semakin yakin, pembunuhnya memang Aryo Pamungkas. Ada banyak orang yang membekingi rupanya,” gumam Wafi Zola.

Kembali ke Aryo bersama Gladys. Kini mereka sudah sampai di Andara Group.

“Orang setampan kau, kenapa tidak jadi bintang iklan saja?” canda Gladys.

Aryo tertawa. “Saya merasa terhormat dipuji begitu oleh Gladys. Polisi secantik kau, kenapa tidak jadi bintang iklan juga?”

Gladys tersenyum, “Saya sering jadi ikon kepolisian, wajah saya muncul di iklan informasi keamanan.”

“Saya akan cari,” Aryo tersenyum lebar.

Gladys mengantar Aryo hingga lantai 16.

“Sampai ketemu lagi. Aku kabari kalau pialanya sudah siap,” kata Gladys.

“Terima kasih, Gladys.” Aryo mencium tangan Gladys, penuh hormat.

Setelah Gladys kembali, Aryo mencari keberadaan Meliana di lantai 16 dan 30, tapi tak ketemu. Ia memutuskan menelepon.

“Ada apa, anjing penjaga?” suara Meliana terdengar dari telepon.

“Aku sudah balik ke kantor, Bu CEO.”

“Oh, kamu tidak jadi dipenjara?” suaranya terdengar kecewa, dibuat-buat.

“Maaf mengecewakanmu.”

“Hmm. Mesti menunggu cara lain kalau begitu.”

“Kamu ada di mana?”

“Bukan urusanmu. Pulang sendiri saja. Aku dan Thania langsung ke apartemen.” Telepon ditutup.

Aryo kembali ke lantai 16. Lee dan Bu Lilia menanyakan keadaannya, ia menjawab seperlunya.

“Mereka hanya ingin mengonfirmasi tentang kejadian di Money Changer waktu itu,” Aryo menjawab.

“Oh, lalu kenapa kelihatan babak belur?” tanya Chris.

“Terjatuh,” Aryo menjawab asal.

“Ah, bohong,” ujar Chris sambil menatap Aryo skeptis.

Aryo hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak menanggapi lebih jauh. Ia memilih tetap diam, fokus menunggu waktu pulang sambil terus melakukan tugas pengamanan rutin. Meski tubuhnya masih terasa sakit akibat pengeroyokan beberapa jam sebelumnya, ia tetap menjaga ketenangan agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Di perjalanan menuju rumah kontrakannya, Aryo hendak mengambil beberapa barang dan memberitahu ibunya tentang keberadaan apartemennya yang baru. Namun saat ia keluar dari gedung, mobil yang dikendarainya dicegat oleh sekelompok orang. Jumlah mereka lebih dari dua puluh, dan semuanya membawa pisau serta tongkat besi.

Aryo menahan napas sejenak, lalu memijat-mijat tangannya untuk menenangkan diri. “Ada apa lagi sih ini?” gumamnya, menatap sekeliling dengan waspada.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!