Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. A Clue (Sebuah Petunjuk)
Dalam dunia gelap Hania...
Prabu Kamandaka... Aku tidak percaya pada kebetulan, aku percaya Tuhan menghadirkan mu karena sebuah alasan. Mungkin itu sebuah pelajaran, mungkin sebuah keajaiban di saat aku terpuruk sendirian.
Atau mungkin untuk keduanya.
Aku tahu cinta kita sebuah kesalahan. Pertemuan kita seperti embun pagi yang dilarang jatuh ke bumi. Meski tetap jatuh, ia akan terpanggang sinar mentari, hilang, sebelum sempat aku merasakan kesejukannya.
Kita adalah dua hati yang terpaut dan berdenyut dalam diam, tersembunyi, agar duniaku tidak ikut campur dan terus menghakimi.
Kita bicara dengan mata, hati dan menyimpan semua kata cinta di dalam dada. Semua datang perlahan, mengalir seperti air yang mengikuti arus takdir yang Tuhan berikan. Entah mengapa aku merasa hidup dengan kehadiranmu yang tidak pernah terlihat nyata.
Pertemuan seperti bisikan yang tak terdengar. Kegelapan, dinginnya angin malam juga benda di langit adalah saksi dimana kita seringkali menertawakan hal-hal kecil, perbincangan ringan hingga mesra, lirikan diam-diam yang membuat pipi kita berdua merona.
Aku tidak tahu kapan persisnya perasaan ini tumbuh, sepertinya kita tidak pernah memulai, tapi kita juga tidak tahu apakah ini akan berakhir. Cinta ini berjalan sendirinya, seperti arus bawah sungai yang terlihat tenang.
Kita hidup di bawah langit yang sama, dua dimensi yang berbeda. Seringkali senyum harus ku kemas dalam diam, tatapan mesra harus ku sembunyikan saat mata terpejam.
Ini aneh bukan?
Tapi aku mempercayai, kamu ada. Kamu membuatku merasa lebih hidup sebagai manusia, bukan hanya kerangka yang diberi napas hingga lebih bernyawa.
Tuhan hanya menciptakan satu dunia, kita hidup berdampingan. Meski kita berbeda dimensi, aku menyakini awalnya cintamu begitu tulus. Akan tetapi kita tidak dapat memaksakan dua kehidupan bersatu dalam satu dimensi nyata. Aku mulai tertekan saat kamu memaksa aku mengkhianati Takdir Tuhanku, mengambil hari kematianku sendiri.
Aku tidak bisa!
Aku mencintai Tuhanku lebih dari segalanya. Aku mempercayai Qodo dan qodar.
Mengapa badai tidak juga berlalu dari hidupku, kehilangan, pengkhianatan, tekanan demi tekanan terus menghampiriku. Aku berdiri di tepi jurang yang gelap, dimana dasarnya tidak terlihat. Keyakinan bahwa keluargaku masih hidup bersamaku setiap jam sembilan malam hingga pagi, ternyata hanya fatamorgana yang kamu berikan padaku, Prabu.
Janji hanyalah bualan.
Aku tidak menyesali akan hadirmu, tapi kecewa kamu juga menipuku. Realitanya kamu adalah sosok yang kini menghancurkan satu-satunya harapanku, mengetuk retakan halus di dadaku hingga kini retakan menjadi serpihan hati yang telah hancur tidak lagi berbentuk.
Akhirnya aku berada di persimpangan tanya, apakah ini Cinta, atau kesepianku yang menyamar terlalu indah? Atau kerinduanku pada versi diriku yang dulu pernah begitu bahagia?
Aku tenggelam dalam khayalan manis yang duniaku sebut delusi. Seorang penulis yang kehilangan pegangan akan kata-kata ajaibnya, kehilangan sebuah keyakinan dan kehidupan nyata. Jiwaku berhamburan dalam bayang fatamorgana.
...***...
"Hania! Ini sudah tiga hari kamu koma, bangunlah! Jangan menyerah, jika Allah masih memberimu napas artinya kamu masih diijinkan berbahagia, hiduplah satu kali lagi!"
Suara itu terdengar lantang di sisi kananku setelah kalimat syahadat mengalun lembut menuntunku. Mengapa tiba-tiba telinga ini mendengar lagi? Apa masih ada kesempatan? Mataku mencari jawaban, yang kulihat hanya gelap dan cahaya yang semakin memudar, gelap... Dingin yang mencekam. Seperti berada di dasar laut yang paling dalam.
Suara bip bip pada vital signs monitor dan suara desiran udara dari Air conditioner, menghentak kesadaranku bahwa aku masih berada di dunia nyata. Tapi mungkin belum waktunya aku melihat cahaya. Aku akan bersabar dan terus berdoa, jika ini adalah sebuah keajaiban... Aku diberi kesempatan satu kali lagi.
Aku tahu, apa yang Tuhan mau. Persembahan seutuhnya jiwa dan ragaku, hanya untuknya.
"Hania!" suara Wina terdengar cemas.
Sekilas cahaya masuk ke retina, aku gelagapan. Terbatuk kecil, lalu kelopak mataku terasa ringan terangkat meski semua masih terasa samar untuk terlihat nyata. Wajah-wajah hanya seperti bayangan yang meliuk di udara. Aku merasakan jalannya oksigen menyentuh rongga hidungku. Oksigen yang kurindukan beberapa saat lalu.
"Hania, kamu mendengar ku?" tanya Wina, aku hanya bisa mengangguk lemah agar dia tidak terlalu cemas.
"Syukurlah" katanya, suaranya terdengar lega.
"Aku takut kamu pergi. Ini akan menjadi penyesalan seumur hidupku jika kamu tidak kembali, Nia."
Aku memaksakan tersenyum agar dia tidak sedih dan cemas berlebihan. Kurasakan tangannya dingin dan gemetar. Tapi hatiku menghangat, kata-katanya seperti sebuah pelukan dan belaian sayang seorang kaka, ada seseorang di dunia ini yang menginginkan aku kembali.
"Aku tidak akan membiarkanmu sendiri lagi, kamu akan tinggal bersamaku." suaranya bergetar menyimpan sebuah janji dari sebaris luka.
Aku tidak mampu menjawab saat ini, tapi aku tahu ucapannya tulus.
...***...
Di Sanatorium
"Saya dokter yang mendampingi Raditya, perkenalkan saya dokter Diva." dokter cantik yang usianya lebih muda dari Sabil mengulurkan tangan di depan dadanya. Lirikan matanya mencari perhatian lawan bicaranya.
Sabil menyambut uluran tangan itu dengan sikap acuh tak acuh. Hanya sebentar, lalu menarik tangannya kembali dan ia masukkan ke dalam saku celananya. Sabil berdiri santai di antara Raditya dan Diva. Ia menyimak obrolan Diva dan Raditya.
"Aku ingin gadis itu kembali lagi ke sini, Diva! Aku tidak mau dengar apapun alasannya." Raditya terlihat frustasi setelah mendengar penjelasan Diva jika gadis di kamar nomer 9 sudah dibawa pergi.
"Aku tidak bisa melawannya, dia orang titipan profesor Darmono," ucap Diva tanpa tahu siapa sosok pria yang ada di hadapannya.
Sabil menegakkan tubuhnya, tangannya yang tadinya di dalam saku celana kini menggantung di sisi tubuh sambil mengepal.
Raditya melirik Sabil, "itu papa angkatmu, kan? Apa hubungan dia dengan gadis itu, apa gadis itu anaknya?"
"Siapa yang kalian bicarakan?" tanya Sabil dengan wajah bingung. Lalu ia menepuk keningnya dengan keras. Ia merogoh saku celananya lagi untuk mengambil benda pipih dari sana. "Apa gadis yang ini?" Sabil menunjukkan foto Hania yang masih memakai baju pasien.
"I-iyaa betul, dia! Kamu mengenalnya? Kembalikan dia padaku, Bil. Dia harus berada di sini, dalam lindunganku. Jika dia di luar, mereka akan membunuhnya." suara permohonan Raditya seperti anak kecil merengek mainan, menuntut, memaksa dan tergesa.
"Siapa yang ingin membunuhnya? Berani sekali mereka, hadapi aku dulu!" ucap Sabil dengan sorot mata berkilat amarah.
"Kamu mengenalnya? Temukan dia, Bil." Raditya kembali merengek sampai kedua kakinya di hentak-hentakan di rumput basah.
"Katakan siapa yang membawanya!" desak Sabil pada Diva
Diva gugup dan kikuk melihat kedua lelaki itu begitu peduli dengan seorang pasien gangguan mental. "I-ituu... Aku tidak tahu!" jawabnya penuh misteri. Lebih untuk mencari keuntungan diri sendiri.
"Tidak tahu?! Bagaimana bisa? Kamu jangan main-main denganku!" bentak Sabil menunjukkan wajah marahnya.
"Ya aku nggak tahu, dia langsung dibawa aja gitu... " jawabnya melepaskan profesionalismenya.
"Dokter macam apa kamu, memindahkan pasien tanpa tahu akan dipindahkan kemana," cecar Sabil.
Diva hanya mengangkat ringan kedua bahunya, seakan tidak peduli.
"Diva! Katakan dimana pasien itu dipindahkan!" desak Raditya.
"Aku nggak tahu, say—" Diva menutup bibirnya segera, jika keceplosan semuanya akan berantakan.
Sabil mengernyitkan keningnya, merasakan ada yang tidak beres dengan sikap Diva. "Raditya, ada yang harus aku urus. Aku akan kembali." Tanpa menunggu jawaban Raditya, Sabil sudah melesat meninggalkan Sanatorium untuk menemui Wina.
Di dalam mobil, Sabil terus menghubungi Wina melalui bluetooth hands free di audio mobilnya. Panggilan itu tidak juga terjawab hingga ia harus menghubungi suami Wina untuk meminta alamat Hania. Tiga setengah jam berkendara dari lembang ke kota Bogor dengan kecepatan tinggi. Tepat pukul tujuh malam Sabil sampai di depan rumah Hania.
Rumah itu tampak sepi dengan lampu taman yang enggan menyala terang, sesekali berkedip seolah sudah tidak terawat lama sekali, seperti memori lama yang sudah tidak tersentuh dan terlupakan. Di sisi kanan rumah itu ada toko bunga yang tidak lagi terawat, papan nama yang sudah lepas dari dratnya. Di depan toko bunga sebatang pohon kelengkeng yang sedang berbunga. Persis seperti yang ada di video Hania.
Sabil tersenyum tipis, lalu memberanikan diri untuk mengetuk pintu pagar yang telah berkarat. Tiga kali bel ditekan dan ketukan di pintu besi pagar yang berbunyi nyaring, tidak juga membuat penghuni rumah bergegas membukakan pintu.
Rumah itu sepi, tidak berpenghuni.
Lama Sabil berdiri di depan pagar, memperhatikan dengan seksama rumah mewah yang tidak lagi terawat itu. Mobil kijang tahun 2015 teronggok di tepi rumah sebelah kiri dengan kondisi dipenuhi debu tebal. Setelah memastikannya, Sabil meyakini Hania tidak ada di rumah itu.
Kakinya hendak melangkah pergi, tiba-tiba suara gamelan sayup-sayup terdengar. Suara-suara seperti berada di lokasi keramaian pasar malam membuatnya menoleh kembali ke belakang, ke rumah Hania.
Mata Sabil terpaku pada cahaya yang menyala di lantai dua bangunan mewah itu. Cahaya terang yang tadi tidak ada, kini begitu menyilaukan. Di ujung balkon seorang pria berpakaian kerajaan berdiri tegak dengan gagah menatap ke arahnya.
Sabil mengarahkan kamera ke arah pria tersebut, berusaha membidiknya jika itu benarlah nyata di depan matanya. Sorot mata pria itu seakan berkata...
"Kau mengganggu hubungan kami!"
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?