Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angin Topan Terakhir
Aroma kopi pekat dan ketegangan memenuhi ruang kerja Tuan Besar Hartono. Televisi di depannya menyiarkan rekaman konferensi pers Leon dan Lana berulang kali. Setiap kata, setiap tatapan tulus dari Leon yang kini terlihat jauh lebih matang, setiap detail yang dipaparkan Lana dengan tenang namun tajam, bagaikan belati yang menusuk ke jantung egonya. Dukungan publik yang terlihat nyata di kolom komentar media sosial, di mana, #SolidaritasUntukRevanzaCipta menggema, adalah racun yang merambat di nadinya. Ia melihat saham Hartono Group sedikit bergejolak, sinyal keraguan dari pasar yang selama ini patuh kepadanya.
"Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi!" Tuan Besar Hartono membanting remote televisi, suaranya parau dan penuh kemarahan. Giginya bergemeletuk. "Anak itu... dia berani mengungkap semua ini? Dia berani menggunakan kelemahan keluargaku untuk melawanku?"
Wajahnya memerah karena marah, matanya memancarkan amarah yang dingin. Ia merasa dunianya runtuh, kendali yang selama ini ia genggam erat mulai terlepas. Pengkhianatan dari dalam, dari darah dagingnya sendiri, terasa lebih menyakitkan daripada kerugian finansial manapun. Saksi kunci yang Arvino berhasil yakinkan untuk bersuara adalah ancaman nyata, sebuah bom waktu yang siap meledak di tengah-tengah kerajaannya.
"Panggil pengacara! Sekarang! Batalkan semua tuntutan pidana itu! Cari cara untuk membungkam saksi itu, dengan cara apa pun!" perintahnya, suaranya bergetar antara amarah dan kepanikan. "Dan siapkan semua aset yang bisa dilikuidasi. Aku akan memastikan mereka tidak punya apa-apa lagi!"
Dalam keputusasaan yang melanda, Tuan Besar Hartono memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia tak peduli lagi dengan reputasinya, tak peduli lagi terhadap hukum. Yang ada hanya keinginan untuk menghancurkan, untuk memastikan tidak ada yang bisa menantangnya dan tetap berdiri.
Ia mengaktifkan kontak-kontak gelapnya yang selama ini tersimpan rapat. Pertemuan rahasia di sebuah tempat terpencil di luar Jakarta, jauh dari pantauan mata media, mengatur rencana keji. Kali ini, ia tidak hanya akan mengancam kebebasan, tetapi juga kehidupan.
Pertama, intimidasi fisik terhadap saksi kunci. Orang-orang suruhan Tuan Besar Hartono bergerak cepat. Mantan direktur keuangan yang menjadi saksi kunci itu mendapat ancaman yang sangat nyata, keluarganya menjadi sasaran teror. Tujuannya adalah membuatnya menarik kesaksian, atau lebih buruk lagi, menghilang tanpa jejak.
Kedua, penyerangan langsung terhadap Revanza Cipta. Tuan Besar Hartono merencanakan sebuah "kecelakaan" yang akan melumpuhkan operasional Revanza Cipta secara total. Serangan siber besar-besaran yang merusak data dan sistem mereka, diikuti dengan aksi sabotase fisik di lokasi proyek-proyek penting Revanza Cipta. Semua dirancang untuk terlihat seperti kecelakaan, namun dampaknya menghancurkan.
Ketiga, ancaman personal terhadap Lana dan Leon. Sebuah pesan misterius dengan foto-foto mereka di tempat tinggal pribadi, dilengkapi ancaman tersirat, dikirimkan. Ini adalah ultimatum. Tuan Besar Hartono ingin mereka melihat bahwa tidak ada tempat yang aman, tidak ada batasan yang tidak akan ia lewati.
Kabar ancaman ini, terutama yang menyangkut saksi kunci dan keselamatan mereka, membuat Leon dan Lana resah. Mereka sudah menduga Tuan Besar Hartono tidak akan menyerah, tapi ini jauh melampaui batas.
"Ponsel saksi kita tidak bisa dihubungi, Leon!" Lana berkata dengan panik, wajahnya memucat setelah menerima telepon dari Arvino. "Arvino bilang dia merasakan ada yang tidak beres. Ada kemungkinan dia sudah... diancam."
Leon mengepalkan tangannya. "Sial! Ayah benar-benar sudah kehilangan akal. Dia tidak peduli lagi siapa yang dia libatkan." Ia menatap Lana, matanya dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. "Kamu baik-baik saja? Ada yang mengganggumu?"
Lana menggeleng. "Belum... tapi aku merasa tidak aman. Kita harus melindungi saksi itu, Leon. Dia mempertaruhkan segalanya untuk kita."
Menghadapi serangan yang lebih gelap ini, Leon dan Lana tahu bahwa mereka tidak bisa lagi hanya mengandalkan strategi. Ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup.
Arvino, dengan koneksinya yang semakin luas, segera mengamankan saksi kunci, menempatkannya di bawah perlindungan khusus. Ia juga menginformasikan pihak berwajib secara anonim tentang kemungkinan ancaman terhadap perusahaan dan individu, memancing perhatian aparat penegak hukum yang selama ini sulit ditembus.
Leon dan Lana, di tengah ancaman yang mengintai, memperkuat pertahanan internal Revanza Cipta. Mereka menerapkan sistem keamanan digital yang lebih canggih, dan secara fisik, mereka memasang CCTV dan memperketat akses ke kantor mereka di Sukabumi. Mereka juga mulai melatih tim kecil mereka untuk tetap tenang dan fokus dalam situasi darurat.
"Kita harus tetap bekerja," kata Leon suatu pagi, di depan timnya yang terlihat tegang. "Jangan biarkan ketakutan melumpuhkan kita. Setiap proyek yang kita selesaikan, setiap inovasi yang kita ciptakan, adalah pukulan balik kita terhadap dia."
Lana ikut menguatkan. "Kualitas dan integritas kita adalah perisai terbaik. Kita buktikan bahwa kita bisa membangun sesuatu yang bersih dan berhasil, bahkan di tengah badai ini."
Di tengah kekacauan itu, ikatan antara Leon dan Lana semakin menguat. Malam-malam yang penuh kecemasan sering mereka habiskan bersama, berpegangan tangan, saling memberi kekuatan.
"Aku takut, Leon," bisik Lana suatu malam, kepalanya bersandar di dada Leon. Dentuman jantung Leon menenangkannya. "Aku takut jika semua ini akan menghancurkan kita."
Leon membelai rambut Lana. "Kita sudah sampai sejauh ini, Lana. Kita sudah melewati banyak hal. Aku tidak akan membiarkan dia memisahkan kita. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah melepaskanmu."
Kata-kata itu, janji di tengah badai yang tak kunjung reda, memberikan kehangatan yang merambat di hati Lana. Kupu-kupu di lehernya berdenyut, bukan lagi karena kecemasan, melainkan karena harapan. Mereka memang rapuh, namun kekuatan cinta dan tekad mereka adalah perisai yang tak terlihat.
Di luar, dunia bisnis bergejolak. Berita tentang gugatan pidana yang dicabut Tuan Besar Hartono tanpa penjelasan, diikuti dengan laporan tentang keberadaan saksi kunci yang dilindungi, mulai memicu keraguan besar terhadap Hartono Group. Pasar bereaksi. Saham Hartono Group mulai anjlok signifikan. Tuan Besar Hartono, yang selama ini tak tersentuh, kini mulai goyah di singgasananya.
Kedatangan yang Tak Terduga
Leon dan Lana baru saja selesai memantau laporan berita di laptop mereka, napas lega bercampur kekhawatiran masih terasa. Penurunan saham Hartono Group adalah kemenangan kecil, tetapi mereka tahu ini hanya akan membuat Tuan Besar Hartono semakin putus asa dan semakin berbahaya. Ketukan di pintu kantor mereka membuat Lana terlonjak. Mereka saling pandang. Siapa yang datang selarut ini?
Seorang pria paruh baya berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan rapi namun tampak lelah. Matanya menatap Leon dengan campuran rasa bersalah dan tekad. Itu adalah Bapak Wijoyo, mantan direktur keuangan Hartono Group yang seharusnya menjadi saksi kunci mereka, yang tadi siang sempat hilang kontak.
"Leon, Lana," sapa Bapak Wijoyo, suaranya serak, nadanya penuh kelegaan dan sedikit malu. "Maaf membuat kalian khawatir. Aku... aku berhasil lolos dari orang-orang suruhannya. Mereka mencoba membungkamku, bahkan mengancam keluargaku." Ia menelan ludah, terlihat jelas betapa berat semua ini bagi dirinya. "Tapi setelah mendengar konferensi pers kalian... dan melihat bagaimana Tuan Besar Hartono mencabut tuntutan itu... aku tahu aku tidak bisa lagi diam. Aku harus berdiri teguh pada kebenaran."
Ia menyerahkan sebuah flash drive kecil kepada Leon. Tangan Bapak Wijoyo sedikit gemetar saat menyerahkannya. "Ini adalah salinan semua bukti yang kubawa keluar dari Hartono Group. Rekaman transaksi ilegal, email-email mencurigakan, laporan keuangan yang dimanipulasi... semuanya. Ini akan membuktikan semua yang kalian katakan, dan lebih dari itu. Ini akan menunjukkan seberapa busuk praktik Tuan Besar Hartono selama ini."
Leon dan Lana terpaku. Mereka tahu ini adalah kartu as, kunci utama untuk membongkar semua kejahatan Tuan Besar Hartono, sebuah kebenaran yang bisa mengguncang dunia bisnis. Namun, mereka juga tahu, ini akan memicu badai terakhir yang tak terbayangkan, badai yang akan jauh lebih besar dari apa pun yang pernah mereka hadapi. Tuan Besar Hartono tidak akan tinggal diam setelah ini, dia pasti akan berjuang habis-habisan.
pak Wijoyo menatap mereka dengan tatapan penuh harap, mata tuanya menyiratkan beban yang terangkat namun juga bahaya yang menunggu. "Aku tahu ini berbahaya. Sangat berbahaya. Tapi aku percaya pada kalian. Aku percaya pada integritas yang kalian perjuangkan. Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk membersihkan nama baik dan menghentikan orang seperti Tuan Besar Hartono."
Leon menggenggam flash drive itu erat di tangannya. Pandangannya beralih pada Lana, yang kini menatap flash drive itu dengan campuran ketakutan dan tekad, lalu ke Arvino yang berdiri di belakang pak Wijoyo, wajahnya tegang namun penuh dukungan. Mereka telah mencapai titik ini. Titik di mana kebenaran akan diungkap, tak peduli berapa pun harganya. Angin topan terakhir sedang mendekat, dan mereka berdiri teguh di tengahnya, bersama, bersiap untuk segalanya.
Bagaimana pengungkapan bukti-bukti baru dari pak Wijoyo akan mempengaruhi Hartono Group dan reaksi Tuan Besar Hartono yang semakin terpojok? Akankah Leon dan Lana tetap aman, atau Tuan Besar Hartono akan melancarkan serangan balasan yang lebih nekat dan berbahaya secara langsung, bahkan mungkin mencelakai mereka demi menghentikan kebenaran itu agar tidak terungkap?