Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gilang
Menunggu hampir lima menit, akhirnya pintu ruangan VIP itu terbuka.
Melodi menegakkan punggungnya—begitu pria itu masuk, jantungnya seperti berhenti sepersekian detik.
Astaghfirullah… dia Gilang.
Idola Esty dan Anita.
Idola yang semalam mereka tonton.
Idola yang mereka kira punya pacar.
Melodi menahan napas, hanya bisa mengucap dalam hati.
“Maaf Tante, Mas, sama—Gilang terlambat,” ucapnya sopan sambil sedikit membungkuk.
“Nggak apa-apa, Nak,” balas ibu Melodi hangat.
Rigen hanya mengangguk singkat, mencoba menilai calon adik iparnya itu.
“Kenapa bisa lama sih, Nak? Kasihan Melodi dan keluarga nungguin lama,” tegur Gita lembut tapi jelas.
“Iya, Ma… tadi Gilang mampir ke market. Eh malah banyak yang kenal, jadi minta foto,” jawab Gilang sambil mengusap tengkuknya malu.
Pak Ruli mendengus kecil.
“Makanya Papa bilang fokus di perusahaan aja. Ini malah jadi penyanyi band.”
“Udah Pa,” sela Gita pelan. “Kenapa malah marahin anaknya. Mending kita bahas perjodohannya.”
Ia menoleh pada Gilang.
“Nak, ayo kenalan dulu sama Melodi.”
Gilang bergerak mendekat sedikit, tersenyum dengan sopan.
“Halo… saya Gilang. Salam kenal.”
Melodi menelan ludah.
Kerasa banget semua mata lagi ke dia.
“Iya… Melodi,” ucapnya pendek, hampir berbisik.
Gilang menatapnya lebih lama seolah mengenali sesuatu.
“Semalam kamu datang juga kan… ke konser saya?”
MATI. DIA NEH GUE DATANG.
Melodi langsung membeku.
Pikirannya muter kacau.
“Kamu datang ke konser, Nak?” tanya ibu Melodi kaget.
“Hemmm… nggak, Bu,” jawab Melodi cepat. “Semalam makan ramen sama Anita sama Esty. Salah orang kali.”
Gilang mengerjapkan mata.
“Oh… iya. Bisa jadi salah orang ya. Konser kan ramai.”
Padahal jelas-jelas tadi sorenya dia melihat siluet yang sangat mirip perempuan ini.
Sangat mirip… sampai Gilang sendiri ragu.
Dan sekarang, mereka berdua duduk sebagai dua orang yang mau dijodohkan.
Mereka berbincang—lebih tepatnya dua keluarga itu saling bertukar cerita—sementara Melodi hanya diam, fokus pada makanannya. Baginya semua obrolan ini tidak penting. Ia hanya ingin waktu cepat berlalu.
“Sebaiknya saya bicara dulu, Buk, sama Melodi. Apa boleh saya bicara empat mata?” ucap Gilang akhirnya, suaranya tenang tapi tegas.
"Loh kenapa? Kan bisa di sini aja," sahut Melodi cepat, refleks menolak.
“Nak, bicaranya yang sopan, loh,” tegur ibunya pelan.
“Iya, kamu kenapa lagi mau bicara empat mata gitu? Bisa ngomong di sini,” tambah Pak Ruli bingung.
“Ada yang mau Gilang omongin aja, Pa,” jawab Gilang masih sopan tapi jelas dia butuh privasi.
“Ya sudah, biar kalian juga makin akrab. Nggak apa-apa,” ucap Tante Gita sambil tersenyum, mendukung.
“Iya, nak. Ibu juga izinkan,” sambung ibu Melodi lembut.
“Tapi aku nggak mau,” potong Melodi langsung, ekspresi bingung campur ragu.
“Nggak boleh gitu,” kata Rigen menatap adiknya, mencoba menenangkan. “Bentar aja kan, Lang?”
Gilang mengangguk kecil, ekspresinya tetap ramah meski Matanya terlihat seperti mencoba menilai situasi dengan hati-hati.
“Yaudah… ayo,” ucap Melodi akhirnya, suaranya lirih. Ia berdiri dengan sangat berat, menahan napas sebentar sebelum mengikuti Gilang keluar dari ruangan VIP.
Rigen menatap punggung adiknya, berharap semuanya tidak membuat Melodi makin tertekan.
Gilang berjalan lebih dulu, membuka pintu kafe kecil yang ada tepat di sebelah restoran. Melodi mengikutinya dengan langkah malas, jelas tidak nyaman dengan situasi ini.
“Nggak perlu sampai sini. Kalau mau ngomong, depan resto juga bisa,” cetus Melodi begitu mereka masuk.
“Biar lebih enak. Duduk aja dulu,” jawab Gilang tenang, seolah sudah hafal menghadapi orang yang defensif. “Pesen kopi.”
Mereka akhirnya duduk di meja sudut. Seorang pegawai kafe menghampiri sambil membawa buku menu.
“Mau pesan apa, Kak?” tanya Gilang sambil memandang Melodi.
“Nggak usah. Buruan ngomong,” jawab Melodi tanpa melihat menu.
Gilang menghela napas pelan. “Satu latte aja, Mbak. Kalau gitu.”
“Baik, Kak. Mohon ditunggu,” ucap pegawai itu lalu pergi.
Hening sejenak.
Melodi memainkan ujung bajunya, gelisah. Sementara Gilang hanya menatapnya, seakan mencoba membaca isi kepalanya.
“Jadi… kamu mau ngomong apa? Jangan bikin lama-lama,” ucap Melodi akhirnya, suaranya terdengar dingin tapi jelas penuh tekanan.
Gilang mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya pelan tapi tegas.
“Gue tau lo nggak pengen dijodohin dan nikah sama gue.”
Ia menatap Melodi lurus, tanpa menghindar.
“Dan gue juga tau… lo semalam nonton konser gue, kan.”
Melodi langsung melotot.
“Nggak usah GR. Itu karena temen. Udah, bahas aja, jangan muter-muter.”
Gilang justru tersenyum tipis, seolah membaca kebohongan Melodi dengan jelas.
“Gue rasa lo harus setuju sama perjodohan ini.”
Melodi spontan menaikkan alis.
“What? Apa alasannya gue harus mau? Jelas-jelas lo aja punya pacar.”
Gilang memiringkan kepala sedikit, menatap dengan tatapan yang entah kenapa bikin Melodi makin defensif.
“Emang lo cemburu kalau gue ada pacar?”
Melodi langsung menyilangkan tangan di dada.
“Nggak ada waktu buat cemburu.”
Gilang terkekeh kecil, bukan mengejek—lebih seperti menikmati reaksi itu.
“Oke… kalau bukan cemburu, berarti lo peduli.”
Melodi langsung mendelik.
“Nggak ada yang peduli. Sekarang alasan lo apa? Kenapa gue harus setuju?”