Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum di ujung malam
Mobil berjalan mendekati rumah. Lampu teras sudah menyala, jam belum terlalu malam. Dari balik kaca, Gue bisa liat Mama bolak-balik di teras.
Tangannya sibuk memeluk dadanya sendiri, sesekali memegang ponsel seakan menimbang mau menelepon siapa. Wajahnya tegang, matanya terus menyapu jalanan kayak sedang menunggu seseorang.
Entah kenapa perasaan Gue merasa dicekik rasa bersalah. Gue tau, Gue tadinya mau kabur dari rumah bukanlah sikap dewasa. Tapi di sisi lain, Gue nggak sanggup terus-terusan dijebak dalam lingkaran perjodohan yang buat kepala Gue pusing.
Saat mobil benar-benar berhenti, Mama menoleh. Tatapannya langsung nyangkut ke arah Gue. Wajahnya jelas berubah, dari tegang ke lega. Seolah beban yang ditanggungnya mendadak menguap begitu meliat Gue muncul.
Dengan langkah cepat, Gue keluar dari mobil. Baru beberapa meter berjalan, Mama sudah menghampiri.
"Alya..." suaranya terdengar gemetar. Tangannya otomatis menggenggam lengan Gue, seakan memastikan Gue benar-benar di hadapannya. "Kamu dari mana aja? Mama khawatir banget. Kamu nggak pulang, nggak ngabarin... Mama sampai mikir yang nggak-nggak."
Gue menunduk, ngerasa tusukan rasa bersalah makin dalam. "Maaf, Ma. Aku cuma butuh waktu buat sendiri."
Mama menarik napas dalam. Matanya meneliti wajah Gue dengan pandangan penuh campur khawatir, lega, tapi juga ada sisa marah yang ditahan.
"Kamu nggak tau betapa paniknya Mama. Maafkan Mama kalau selama ini terlalu menekan kamu, tapi Mama cuma ingin yang terbaik."
Mama menunduk sebentar. "Mama nggak mau kamu kayak anak temen-temen Mama. Mereka awalnya pilih laki-laki yang katanya manis, penuh janji, pinter ngomong. Tapi begitu sudah puas, ditinggalin. Ada yang berakhir sendiri, ada yang cuma dapat luka. Mama nggak sanggup kamu ngalamin itu."
Gue terdiam. Kata-kata Mama, meski nyakitin hati Gue, ada logikanya. Apa bener semua laki-laki kayak gitu? Apa bener selain Darly, lelaki lain cuma bisa kasih janji kosong?
Tapi bayangan Adrian muncul di kepala Gue. Sikapnya yang aneh, kocak, buat Gue kesal tapi juga buat Gue ringan. Dia nggak kayak laki-laki lain yang pernah Gue kenal.
Bahkan di banding Darly, Adrian punya sesuatu yang berbeda. Dan bukankah Papa juga bukan tipe lelaki yang suka mempermainkan? Kalau semua lelaki sama, Papa nggak akan jadi sosok yang Mama sendiri percaya seumur hidupnya.
"Ma... " suara Gue akhirnya keluar, pelan tapi tegas. "Aku ngerti Mama khawatir. Aku ngerti Mama cuma mau aku bahagia. Tapi bahagia itu bukan berarti harus pilhan Mama."
Mama menatap Gue, keningnya berkerut.
"Aku butuh waktu. Kalau Mama yakin Darly orang yang tepat, kasih aku kesempatan buat liat sendiri. Kalau aku tetap nggak bisa, aku mohon... jangan paksa aku. Aku nggak akan melanjutkan perjodohan ini."
Keheningan jatuh diantara kami. Mama nggak langsung jawab. Wajahnya kaku, matanya berkedip pelan, seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Gue tau, itu bukan jawaban yang dia mau dengar.
Gue menelan ludah. "Aku janji nggak akan lari kayak tadi lagi. Aku bakal tanggung jawab sama keputusan aku. Tapi tolong, Ma, kasih aku ruang."
Mama masih diam. Bibirnya sempat terbuka, tapi tertutup lagi. Gue bisa liat matanya berkaca-kaca, tapi dia memilih nggak mengeluarkan satu kata pun.
Suasana makin buat Gue sesak. Gue narik napas panjang lalu berusaha mengakhiri pembicaraan. "Ma, aku capek. Besok aku masih harus kerja. Mama juga sebaiknya istirahat, ya." Gue menepuk pelan tangan Mama, lalu berbalik menuju pintu rumah.
Langkah Gue terasa berat, karena Mama tetap berdiri di sana tanpa sepata kata. Tapi Gue tau, kadang diam itu juga jawaban.
Entah Mama mulai goyah, atau justru makin keras hati, Gue belum bisa nebak. Yang jelas, Gue udah ngomong apa yang harus Gue omong.
Dikamar, Gue menjatuhkan diri di atas ranjang. Rasa letih menyergap, bukan cuma fisik tapi juga hati. Gue tau ini belum selesai. Mama masih punya tekadnya sendiri, dan Gue masih punya jalan yang Gue pilih. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, Gue merasa sedikit lebih berani menghadapi semuanya.
Ponsel di samping bantal tiba-tiba bergetar pelan. Suara notifikasinya buat Gue refleks menoleh. Jantung Gue sempat berdegup aneh, kayak ada sesuatu yang Gue tunggu tanpa sadar.
Dengan malas Gue raih ponsel itu, paling cuma notifikasi grup kantor atau reminder email. Tapi saat layar menyala, mata Gue langsung melebar.
Sebuah pesan baru. Belum apa-apa udah buat bibir Gue refleks melengkung.
"Nona Lotion, sudah sampai rumah? Kalau sudah cepat tidur. Jangan pura-pura kuat padahal mata panda udah kayak beruang lapar. Kalau ketiduran di sofa, awas leher pegel, Gue nggak mau di tuduh penyebab lo jadi jompo gini."
Gue nggak bisa menahan tawa kecil. Kata-katanya itu jelas punya satu ciri khas. Adrian.
Sial. Kenapa dia bisa banget buat Gue senyum kayak begini sih? Padahal Gue hampir nangis gara-gara Mama.
Gue membaca ulang pesan itu, bahkan tiga kali. Ada sesuatu dibalik humornya yang sederhana. Kayak perhatian yang di samarkan dengan kalimat kocak. Gue nggak tau harus sebel atau terharu.
Gue refleks ingat kata-kata Adrian waktu di jembatan sebelum kami memutuskan untuk pulang.
"Gue nggak janji bisa ketemu lagi besok sama lo. Karena siapa tau besok itu nggak ada."
Waktu dia ngomong gitu, jantung Gue kayak berhenti sesaat. Soalnya kalau Adrian bener-bener hilang, ada bagian hidup Gue yang ikut kosong. Aneh. Bahkan memalukan. Tapi kenyataannya begitu.
Makanya Gue, dengan rasa malu, akhirnya minta nomor ponselnya. Gue bungkus dengan alasan formal. "Siapa tau Gue butuh tenaga lo buat bantu kerjaan di kantor. Jadilah untuk tambahan pemasukan lo." padahal dalam hati, Gue cuma pengen punya jalur buat tau dia masih ada.
Adrian cuma tertawa kecil, lalu nyelipin secarik kertas di tangan Gue. "Ini. Catet nomor Gue. Jangan lupa kasih notifikasi kalau di simpan. Kalau nggak, Gue bakal ngerasa kayak selebaran promosi minimarket, berakhir di tong sampah."
Gue bengong sambil meremas kertas itu, terlalu malu buat bales. Dan begitu dia pergi, Gue masih mematung kayak patung idiomatis.
Sekarang, dikamar, saat pesannya masuk, Gue langsung salah tingkah. Gue menutup wajah dengan bantal, ngerasa pipi Gue panas kayak habis kena matahari.
Ya ampun, kenapa Gue jadi gila gini?
Tapi senyum itu nggak bisa Gue hapus Gue baca lagi pesannya, kali ini lebih pelan. Rasanya masalah tadi sama Mama mendadak mengecil. Semua beban yang tadi numpuk di dada, tiba-tiba terasa lebih ringan.
Gue mengetik balasan, tapi jari-jari Gue berulang kali berhenti. Gue hapus, Gue ngetik lagi, hapus lagi. Ujung-ujungnya Gue hanya kirim, "Udah sampe, makasih udah ngingetin."
Detik berikutnya, notifikasi masuk lagi.
"Wah, Nona Lotion sering banget ngomong makasih. Dunia belum kiamat, ternyata."
Gue mengerutkan kening, tapi bibir Gue tetap terangkat sambil menekan tombol balas. "Kalau masih banyak kata gini, Gue blokir lo sekarang juga."
Balasan nggak pakek lama. "Blokir aja, tapi hati-hati, nanti malam lo mimpi di kejar beruang panda yang matanya mirip lo."
Gue langsung ketawa ngakak, sampai menutup mulut pakek bantal biar nggak kedengeran Mama atau Papa di luar kamar. Ya ampun... bisa-bisanya dia buat Gue ketawa kayak begini.
Di sela-sela ketawa, Gue sempat berhenti sejenak. Menatap layar, apa bener Gue jatuh ke sesuatu yang nggak pernah Gue duga?
Pertanyaan itu menggantung, tapi Gue nggak mau buru-buru cari jawabannya. Karena saat ini yang Gue butuhkan cuma satu, membiarkan diri Gue bahagia, walau lewat pesan-pesan dari Adrian.
Gue juga sadar satu hal. Seumur-umur, Gue nggak pernah ngerasa jadi gila gini. Dan Anehnya... Gue sama sekali nggak keberatan.