NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:885
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balik Gosip End

Revan, Kian, dan Damian dengan cepat menemukan tempat duduk di balik rak majalah, tidak jauh dari meja Fara dan Risa. Mereka memesan minuman untuk menutupi tujuan asli mereka, lalu duduk dengan gelisah. Telinga mereka tajam, berusaha menangkap setiap kata yang diucapkan Fara dan Risa.

...Hanya ilustrasi gambar....

Awalnya, percakapan mereka terdengar biasa saja, tentang sekolah dan hal-hal sepele. Namun, tak lama kemudian, nada suara Risa berubah.

"Sepertinya kita sudah ketahuan, Far," kata Risa.

"Maksud lo gimana?" tanya Fara.

"Gue dapat kabar dari informan gue, dia bilang Valeria dan Kian nanya-nanya ke teman-teman sekelas gue di mana keberadaan gue. Untung gue hari ini enggak masuk," kata Risa.

"Gue enggak percaya mereka bisa nemuin kita," kata Fara, terdengar kesal. "Padahal gue udah minta lo pakai akun anonim yang aman."

Risa menghela napas. "Sudah, Far. Santai aja. Tapi gue rasa enggak mungkin mereka tahu secepat ini. Mungkin aja mereka cuma nyari gue ada perlu lain. Toh, gue udah bayar orang buat nutupin informasi gue. Paling cuma duga-duga aja."

"Harusnya begitu. Tapi gue tetap enggak suka," Fara menggerutu. "Gue benci banget lihat Valeria itu. Sok baik, sok polos. Padahal cuma sok kecentilan aja biar Revan sama Damian dekat sama dia."

Damian mengepalkan tangannya di bawah meja, matanya memancarkan kemarahan. Kian menepuk kakinya dengan pelan, memberi isyarat agar ia tenang.

Risa terkekeh. "Lo cemburu banget ya sama dia? Sampai-sampai lo minta gue ikutan."

"Ya jelaslah!" seru Fara, tidak menyadari nada suaranya yang mulai meninggi. "Lo enggak tahu aja, dia itu pamer banget! Setiap hari Damian sama Revan itu ngekorin dia terus. Kayak bodyguard."

Risa tersenyum sinis. "Sama kok, gue juga enggak suka. Lagian, ini kan bisa jadi pelajaran buat bokapnya Kian. Suruh siapa main-main sama nyokap gue."

Revan menahan napas. Kalimat itu mengonfirmasi semua dugaan Kian.

"Ya, Risa. Lo pintar," kata Fara, tersenyum jahat.

"Makanya gue milih lo. Kalau cuma ngandelin omongan gue, mereka enggak akan hancur sehancur ini. Dengan nama PT Cahaya Sukses Mandiri dan nyokap lo, mereka enggak akan berani main-main."

Damian tak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dari kursi, membuat Revan dan Kian ikut terkejut.

"Dam, lo mau ngapain?" bisik Revan.

"Udah cukup!" Damian mengepalkan tangannya.

"Gue denger semuanya!"

Tanpa menunggu jawaban dari Revan atau Kian, Damian melangkah lurus menuju meja Fara dan Risa, diikuti oleh Revan dan Kian. Wajah mereka menegang, siap untuk menghadapi kebenaran yang baru saja mereka dengar.

Dengan wajah memerah karena marah, Damian melangkah lurus menuju meja Fara dan Risa. Tanpa ragu, ia mengebrak meja dengan keras, membuat Fara dan Risa terkejut.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Damian!" seru Fara, matanya membelalak. "Ada apa?"

Damian mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menatap tajam Fara. "Lo tanya ada apa? Gue dengar semuanya, Fara! Gue dengar semua yang lo rencanain sama dia!"

Risa terlihat tegang, tetapi Fara masih mencoba mengelak. "Maksud lo apa sih? Kita cuma lagi ngobrol biasa."

"Jangan pura-pura, Far," timpal Revan, yang sudah berdiri di samping Damian. "Gue sama Kian juga dengar. Gue nggak nyangka lo bakal sejahat ini, Fara. Nggak cukup lo nyakitin Valeria, tapi lo juga manfaatin Risa buat rencana jahat lo!"

Fara menoleh ke arah Risa, yang hanya menunduk dan tidak berani menatapnya.

"Gue nggak ngerti lo ngomong apa," kata Fara, berusaha tetap tenang. "Kalau lo ada masalah, ngomong aja baik-baik, jangan bikin keributan di sini."

Kian tersenyum sinis. "Kita enggak bikin keributan, kita cuma datang buat kasih lo sedikit fakta."

"Fakta apa? Gue nggak ngelakuin apa-apa," sanggah Fara.

Kian mengeluarkan ponselnya. "Lo pikir lo pintar karena pakai akun anonim dan proxy server? Gue berhasil lacak semuanya. Gue tahu lo yang bayar Risa buat nyebarin gosip, dan gue tahu alasan lo," kata Kian. "Lo cemburu sama Valeria karena dia dekat sama Revan dan Damian. Dan Risa... dia cuma boneka yang lo manfaatin buat balas dendam sama keluarga gue."

Wajah Fara dan Risa memucat. Risa menatap Kian dengan tatapan tidak percaya. "Bagaimana lo bisa tahu?"

"Itu tidak penting," kata Damian dengan suara rendah, dipenuhi kemarahan. "Yang penting, kita sudah tahu siapa kalian sebenarnya. Kalian sudah merusak nama baik Valeria dan membuat Aluna menderita."

Fara menatap Revan dan Damian dengan mata berkaca-kaca, tetapi tidak ada nada penyesalan di suaranya. "Gue enggak pernah nyuruh dia, dia lakuin itu atas kemauannya sendiri," katanya.

"Dan lo pikir kita percaya?" teriak Damian.

Fara dan Risa kini terpojok. Mereka tidak bisa menyangkal lagi. Mereka tahu semua kebohongan dan rencana jahat mereka telah terbongkar.

Di dalam hati, Fara menjerit. Bagaimana dia bisa tahu? Siapa dia? Pikirannya kalut.

Seolah membaca pikirannya, Kian melangkah maju, menatap Fara dengan tenang. "Gue tahu lo penasaran kan, bagaimana gue bisa tahu," katanya,

suaranya pelan namun penuh percaya diri.

Fara terkejut, tidak menyangka Kian bisa membaca ekspresinya.

"Lo enggak perlu tahu bagaimana gue bisa melakukannya," lanjut Kian, suaranya kini terdengar dingin. "Intinya, kalau lo bisa nyuruh orang, gue juga bisa mengungkap kebenaran dengan cara yang sama."

Fara dan Risa kini terdiam, tidak bisa lagi membantah. Semua argumen mereka runtuh di hadapan bukti yang Kian miliki. Mereka benar-benar terpojok.

Wajah Fara dan Risa memerah. Risa menunduk, tidak berani menatap mata Kian dan teman-temannya. Sementara itu, Fara menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, mencoba terlihat santai, padahal keringat dingin sudah membasahi telapak tangannya.

"Kenapa kalian jadi kayak detektif gini, sih?" tanya Fara, suaranya terdengar gemetar. "Cuma salah paham aja kok, enggak usah dilebih-lebihkan."

"Salah paham?" bentak Damian. "Kita dengar semuanya, Far. Lo yang cemburu sama Valeria dan manfaatin Risa buat balas dendam!"

Risa mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca. "Cukup, Far," katanya dengan suara pelan. "Udah, kita jujur aja."

Fara menatap Risa dengan tajam. "Risa, lo gila?!"

Risa mengabaikan tatapan Fara dan beralih menatap Kian. "Iya, Kian. Lo benar. Gue yang nyebarin gosip itu. Fara yang nyuruh gue. Dia janji akan kasih gue uang 100 juta kalau gue mau bantuin dia."

Fara terkejut. "Eh, lo yang minta, ya!"

"Iya, emang gue yang minta," balas Risa. "Tapi lo yang nawarin, jadi gue minta segitu sebagai imbalan kalau gue mau bantuin lo."

"Kok lo gitu sih? Ya sudah, sekarang balikin duit gue!" kata Fara.

"Ya enggak bisa, dong. Duitnya udah lo kasih dan gue udah ngejalanin rencananya," jawab Risa.

"Pokoknya gue mau duit gue balik!" desak Fara.

"Enggak bisa," kata Risa.

"Lo ya..." Fara menunjuk ke arah Risa dengan penuh amarah.

"Cukup!" teriak Damian.

Damian menatap Fara dengan amarah. "Lo sejahat itu, Far? Lo sampai bayar teman lo sendiri?"

Fara tidak bisa berkata-kata lagi. Wajahnya berubah menjadi merah padam karena malu dan marah. Semua rencananya telah hancur dan ia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Terus, lo yang ngaku sebagai informan tadi itu benar?" tanya Revan, kini suaranya lebih tenang.

Risa mengangguk pelan. "Iya. Gue punya teman yang bekerja di sekolah. Dia kasih tahu kalau kalian lagi nyari gue," jawabnya. "Gue pikir kalian cuma iseng. Ternyata enggak."

"Kenapa lo lakuin ini?" tanya Kian, suaranya dipenuhi rasa kecewa.

Risa menghela napas panjang. "Gue butuh uang. Dan Fara janji akan bantu gue. Lagipula, gue juga enggak suka sama Valeria."

"Terus, soal bokap gue?" tanya Kian, matanya menatap tajam Risa.

Risa terdiam, tidak berani menjawab.

"Biar gue yang jawab," kata Revan. "Gosip ini bukan cuma soal Valeria, kan? Ini juga soal bisnis bokap lo dan bokapnya Kian. Fara manfaatin ini untuk menjatuhkan bokapnya Kian, kan?"

Risa tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.

"Lo tahu apa, Revan?" Fara kembali bicara, suaranya dingin dan menusuk. "Lo sama Damian itu cuma mainan. Lo pikir lo berharga? Lo enggak tahu siapa gue."

Damian tertawa sinis. "Iya, kita tahu kok siapa lo. Orang yang iri, licik, dan pengecut."

Fara tidak menjawab. Ia hanya menatap Damian dengan mata yang dipenuhi amarah.

"Sekarang kita udah tahu semua," kata Revan. "Kita enggak akan ganggu lo lagi. Tapi, kita akan pastikan semua kebohongan lo terbongkar."

Revan, Kian, dan Damian kemudian pergi meninggalkan Fara dan Risa yang kini terdiam, terpojok dan malu.

Sementara itu, dirumah Valeria setelah selesai makan siang, Tante Kiara mengajak Valeria ke ruang kerja kakaknya, yang juga merupakan ayah Valeria. Begitu masuk, Valeria memperhatikan sekeliling ruangan yang rapi dan dipenuhi buku-buku.

Tante Kiara berjalan ke arah sebuah lukisan besar yang menggantung di dinding. Ia memegang bingkai lukisan itu, mencari-cari sesuatu. Di balik bingkai, jemarinya menemukan sebuah tombol kecil yang tersembunyi. Tante Kiara tersenyum tipis, lalu menekannya.

Terdengar suara gemuruh pelan, dan tiba-tiba, rak buku di samping lukisan bergeser, memperlihatkan sebuah pintu tersembunyi. Mata Valeria membelalak kaget. Ia tidak pernah tahu ruangan ini ada.

"Ayo, masuk," ajak Tante Kiara.

Valeria mengikuti tantenya. Di dalamnya, terdapat sebuah perpustakaan kecil yang hangat. Aroma buku lama dan kayu tercium kuat. Rak-rak buku memenuhi setiap dinding, berjejer rapi dari lantai hingga langit-langit.

"Ini... ini perpustakaan rahasia Papa?" tanya Valeria, suaranya dipenuhi rasa takjub.

Kiara mengangguk sambil tersenyum. "Ini perpustakaan pribadi Papa kamu. Papa kamu suka mengumpulkan buku-buku langka tentang hukum dan bisnis."

Valeria berjalan di antara rak-rak, menyentuh punggung buku dengan ujung jarinya. "Aku enggak pernah tahu ruangan ini ada."

Kiara melipat tangan di depan dada. "Tidak banyak yang tahu. Tapi Tante pikir, ini tempat yang paling pas untuk kita menyelesaikan tugas kamu. Kamu bilang harus cari tahu tentang klausa Kuda Troya, kan?"

Valeria mengangguk. "Iya, Tante. Aku harus cari referensi dan kasus nyatanya."

"Bagus," kata Tante Kiara. "Tante yakin kita bisa menemukan semua yang kamu butuhkan di sini. Mari kita cari buku-buku yang relevan."

Valeria merasa lega. Bebannya seolah terangkat, mengetahui ia tidak sendirian lagi. Ia menatap tantenya, yang kini tampak lebih dari sekadar kerabat. Tante Kiara terlihat seperti sekutu yang kuat, dengan pengetahuan dan sumber daya yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.

Mereka mulai mencari buku-buku di antara rak-rak yang padat. Tante Kiara yang memiliki pemahaman tentang hukum, lebih cepat menemukan judul-judul yang relevan. Tak butuh waktu lama, ia menemukan sebuah buku bersampul kulit tua.

"Ini dia," kata Tante Kiara, menunjuk sebuah bab di dalamnya. "Klausa Kuda Troya... dan contoh kasusnya."

Valeria membaca dengan cepat, mencatat poin-poin penting. Ia menemukan bagaimana sebuah "klausul tidak bersalah" bisa disisipkan dalam sebuah perjanjian besar untuk menjatuhkan lawan bisnis, dan bagaimana tindakan itu sering kali dilakukan secara terselubung.

"Ini... ini persis seperti yang Kian ceritakan," gumam Valeria. "Orang yang menyebarkan gosip itu... dia dibayar oleh Fara."

Tante Kiara menutup buku itu, raut wajahnya berubah serius. "Jadi benar," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Ini bukan hanya masalah anak-anak."

Ia menatap Valeria, matanya menunjukkan sebuah tekad baru. "Valeria, dengarkan Tante. Papa kamu punya banyak koneksi di dunia hukum. Dan Tante, Tante juga punya. Kalau kita mau membuat mereka benar-benar jera, kita butuh lebih dari sekadar konfrontasi. Kita butuh bukti hukum."

"Tante, maksudnya?" tanya Valeria, tidak mengerti.

"Tante rasa, Tante tahu siapa yang harus kita hubungi," kata Tante Kiara, sambil mengeluarkan ponselnya. "Dan Tante yakin, mereka akan tertarik dengan kasus ini."

Tante Kiara kemudian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. "Halo, Kak Rex," sapanya. "Ini aku, Kiara."

Panggilan itu terhubung, dan suara di seberang sana terdengar ramah. "Kiara! Apa kabar? Tumben telepon, ada apa?"

"Aku baik, Kak. Dengar, aku telepon karena ada hal penting," kata Tante Kiara, suaranya berubah serius. "Ini soal keponakan aku, Valeria."

"Valeria? Jadi Valeria keponakan kamu?" tanya Rex Adrian.

"Iya, memang keponakan aku. Siapa lagi, anak pertama Kak Mikhael sama Kak Diandra," jawab Tante Kiara.

"Oh iya, maaf aku lupa," kata Rex Adrian.

Terdengar hening sejenak. "Jadi, ada apa?"

"Valeria ada masalah di sekolah tentang gosip yang menjelek-jelekkannya. Tentunya Kak Rex sudah dengar dari anak Kak Rex, Kian, kan? Setahu aku, itu nama anak Kakak," kata Tante Kiara.

"Iya, benar. Terus, ada apa lagi? Atau Kian membuat masalah di sekolah?"

"Bukan, bukan. Justru sebaliknya. Kian dan teman-temannya sudah sangat membantu," jawab Tante Kiara. " Aku mau tanya, apakah Kakak kenal dengan pemilik PT Cahaya Sukses Mandiri?"

"Ya, kenal. Kenapa?"

"Anaknya, namanya Risa, bekerja sama dengan temannya untuk menyebarkan gosip tentang Valeria. Aku dan Valeria baru saja menemukan bukti-bukti yang sangat kuat. Ternyata ini semua ada hubungannya dengan bisnis," jelas Tante Kiara.

"Dan aku menemukan sebuah klausa... klausa Kuda Troya."

Rex Adrian terdiam, lalu ia menghela napas panjang. "Aku enggak percaya mereka akan sejauh ini," gumamnya. "Ya, benar. Risa adalah anak dari Tiara, pemilik perusahaan itu. Mereka memang rival bisnis dengan saya. Dan saya sudah berjanji akan menyelesaikan masalah ini."

"Dan Kian, dia sudah menemukan siapa dalang di balik semua ini," kata Rex Adrian. "Ia bahkan sudah berhadapan dengan Risa dan temannya."

Tante Kiara terkejut. "Serius? Mereka sudah tahu?"

"Iya," jawab Rex Adrian. "Mereka bahkan berhasil merekam semua pengakuan Risa. Kian mengirimkan rekamannya. Saya bangga dengan mereka."

"Jadi, kita sudah punya bukti," kata Tante Kiara, suaranya berubah menjadi penuh tekad.

"Ya. Kita akan bertindak," kata Rex Adrian. "Kian dan teman-temannya sudah melakukan bagian mereka. Sekarang, giliran kita."

Tante Kiara bertanya, "Jadi, apa yang akan Kak Rex lakukan?"

"Saya akan menemuinya sekarang. Saat ini juga, saya sedang menuju ke perusahaannya."

Tante Kiara berkata, "Oke, kabari aku jika ada perkembangan."

Panggilan pun berakhir.

Tepat saat itu, terdengar suara ketukan pintu. Bi Sari datang dan memberitahu bahwa Pak Bimo sudah datang.

Pertemuan dengan Pak Bimo

"Tante!" seru Valeria, terkejut. "Pak Bimo sudah datang."

Tante Kiara tersenyum, wajahnya penuh keyakinan. "Ya sudah, ayo kita temui dia," katanya sambil menggenggam tangan Valeria.

Mereka berdua berjalan ke ruang tamu. Seorang pria paruh baya, rapi dan mengenakan kacamata, sudah duduk di sana. Ia berdiri saat melihat Tante Kiara.

"Kiara?" Pak Bimo terlihat terkejut. "Saya tidak menyangka Anda ada di sini. Apa kabar?"

Tante Kiara tersenyum ramah. "Saya baik, Bimo. Sudah lama tidak bertemu, ya. Maaf, saya harus ikut campur sedikit." Ia menunjuk Valeria. "Valeria sudah menceritakan semuanya."

Pak Bimo menatap Valeria, lalu kembali menoleh ke Tante Kiara. "Semuanya?" tanyanya, bingung.

Tante Kiara mengangguk. "Ya. Soal tugas yang kamu berikan padanya, Bimo. Dan soal klausa Kuda Troya," katanya, sengaja menekankan kata-kata terakhir.

Pak Bimo mengerutkan kening. "Saya mengerti. Valeria sudah memberitahu saya tentang hal itu. Ada masalah?"

Tante Kiara menghela napas. "Masalahnya lebih besar dari yang kamu bayangkan. Ini tidak hanya soal tugas sekolah," kata Tante Kiara, lalu menoleh ke Valeria, seolah meminta persetujuan. Valeria mengangguk.

Tante Kiara mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Pak Bimo. Wajah Pak Bimo berubah serius saat melihatnya.

Tante Kiara membuka ponselnya dan menekan tombol putar. Sebuah rekaman suara terdengar, dipenuhi bisikan yang kemudian berubah menjadi percakapan tegang.

“...gue benci banget lihat Valeria itu. Sok baik, sok polos. Padahal cuma sok kecentilan aja biar Revan sama Damian dekat sama dia.”

“...kan bisa jadi pelajaran buat bokapnya Kian. Suruh siapa main-main sama nyokap gue.”

“...Dengan nama PT Cahaya Sukses Mandiri dan nyokap lo, mereka enggak akan berani main-main.”

Tangan Pak Bimo mengepal di pangkuannya saat ia mendengarkan setiap kata. Ekspresinya yang tadinya bingung kini berubah menjadi serius dan muram. Ia menoleh ke arah Tante Kiara.

"Siapa mereka, Kiara?" tanya Pak Bimo dengan suara rendah.

"Itu adalah Fara dan Risa," jawab Tante Kiara. "Risa adalah anak dari pemilik PT Cahaya Sukses Mandiri. Rekaman ini didapat oleh Kian dan teman-temannya saat mereka secara tidak sengaja menguping percakapan mereka di sebuah kafe."

"Dan rekaman ini mengonfirmasi semuanya," lanjut Tante Kiara. "Gosip ini bukan cuma soal kecemburuan remaja, tapi juga tentang bisnis. Tentu kamu tidak asing dengan klausa Kuda Troya?"

Pak Bimo mengangguk pelan. "Saya tahu. Itu adalah klausul yang diselipkan untuk menjatuhkan lawan bisnis secara tersembunyi."

"Dan itu yang mereka lakukan pada Valeria," kata Tante Kiara, suaranya dipenuhi amarah. "Mereka menjatuhkan nama baiknya, merusak reputasinya, hanya untuk menjatuhkan ayah Kian."

Valeria hanya duduk diam, menyaksikan dua orang dewasa itu berdiskusi. Ia merasa lega, bebannya kini tidak lagi ditanggung sendiri.

Pak Bimo menghela napas panjang. "Ini sangat serius, Kiara. Ini bukan hanya masalah anak-anak lagi. Ini adalah tindakan pidana, terutama dengan adanya klausa itu." Ia menatap Valeria, lalu kembali ke Tante Kiara. "Apa yang akan kalian lakukan?"

Tante Kiara menatap Valeria, lalu menoleh ke Pak Bimo. "Kami butuh bantuan, Bimo. Kami butuh nasihat profesional. Apa yang harus kami lakukan dengan bukti ini?"

Pak Bimo melepaskan kacamatanya dan menghela napas panjang, merapikan duduknya. Ia menatap Kiara dan Valeria dengan tatapan serius.

"Ini bukan lagi soal gosip remaja," jelas Pak Bimo.

"Rekaman ini adalah bukti kuat. Kita bisa menuntut mereka atas pencemaran nama baik, dan ini bisa saja masuk ke ranah pidana. Terlebih lagi, dengan adanya motif bisnis seperti yang kalian temukan, ini menjadi kasus yang sangat kompleks."

Ia berhenti sejenak, menoleh ke arah Kiara. "Kiara, kamu harus segera berkoordinasi dengan Rex. Dia sudah berada di jalur yang benar. Rekaman ini akan menjadi alat utama mereka. Kita bisa menggunakan bukti ini untuk memaksa Tiara—pemilik PT Cahaya Sukses Mandiri—untuk mengendalikan anaknya dan menyelesaikan masalah ini secara damai, sebelum semuanya dibawa ke jalur hukum."

"Damai? Maksudnya?" tanya Valeria, tidak mengerti.

"Kita bisa meminta mereka untuk membuat pernyataan publik," lanjut Pak Bimo. "Atau setidaknya, mereka harus mengakui kesalahan mereka di hadapan para saksi, dan membersihkan nama baik kamu di sekolah."

"Dan jika mereka menolak?" tanya Kiara, suaranya tajam.

"Maka kita akan bertindak," jawab Pak Bimo dengan tegas. "Kita akan bawa kasus ini ke ranah hukum. Saya akan bantu kalian menyiapkan semuanya. Tapi, percayalah, mereka tidak akan mau ambil risiko sejauh itu, apalagi dengan bukti yang sudah ada."

Valeria merasakan kelegaan yang luar biasa. Bebannya kini tidak lagi di pundaknya sendiri, tetapi ditanggung oleh orang-orang dewasa yang berkuasa dan berkompeten.

Namun, dalam hati Valeria berkata, ia hanya ingin nama baiknya kembali dan gosip itu mereda. Ia ingin masalah ini selesai, jika harus dengan damai tanpa melalui jalur hukum, ia tidak masalah.

Ia kemudian memberanikan diri. "Tante Kiara," ucapnya pelan. "Aku rasa kita selesaikan ini dengan damai saja. Aku hanya ingin semuanya kembali seperti semula."

Tante Kiara menatap Valeria dengan tatapan penuh pengertian. "Tante mengerti, sayang. Kita akan lakukan apa yang kamu mau," jawabnya dengan suara lembut. Ia menoleh ke arah Pak Bimo. "Bimo, tampaknya rencana kita harus sedikit berubah. Kita akan menggunakan bukti ini untuk memaksa mereka menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, bukan di pengadilan."

Pak Bimo mengangguk, menghormati keputusan Valeria. "Itu juga bisa menjadi solusi terbaik, Kiara. Mengingat mereka masih anak-anak, mungkin ini adalah cara yang lebih baik."

Tante Kiara tersenyum, lalu meraih ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan mencari nama Rex Adrian. Ia merasa yakin, ia harus mengabari Rex Adrian tentang perubahan rencana ini.

"Tante akan hubungi ayah Kian dan ceritakan semuanya," ujar Tante Kiara pada Valeria. "Kita harus berkoordinasi agar mereka tahu langkah apa yang akan kita ambil."

Dengan ponsel di telinga, Tante Kiara menantikan Rex Adrian mengangkat panggilannya. Ia tahu, percakapan ini akan menjadi kunci untuk mengakhiri segalanya.

Panggilan Tante Kiara tersambung, dan suara Rex Adrian terdengar dari seberang telepon.

"Halo, Kiara. Ada apa? Saya lagi di jalan menuju kantor Tiara. Kian bilang dia udah kasih tahu kamu soal rekamannya, kan?" tanya Rex Adrian, suaranya terdengar tergesa-gesa.

"Iya, Kak. Kian sudah cerita," jawab Tante Kiara.

"Tapi ada perubahan rencana. Tadi saya bicara sama Valeria, dia... dia ingin masalah ini selesai secara damai. Dia tidak mau dibawa ke jalur hukum."

Terdengar hening sejenak di seberang sana. Rex Adrian menghela napas panjang. "Saya mengerti. Saya tidak akan memaksa. Kalau itu yang Valeria mau, kita akan ikuti."

"Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Tante Kiara.

"Kalau begitu, saya tidak akan menemui Tiara di perusahaannya," jawab Rex Adrian. "Kita harus atur pertemuan. Kita minta Fara, Risa, dan orang tua mereka untuk bertemu dengan kita."

"Di mana?" tanya Tante Kiara.

"Di suatu tempat yang netral. Biar saya yang atur. Kita akan tunjukkan rekamannya, dan kita akan paksa mereka untuk membuat pernyataan, membersihkan nama Valeria," jelas Rex Adrian.

"Saya akan pastikan mereka tidak bisa membantah lagi. Ini akan jadi solusi damai, tapi tegas."

"Terima kasih banyak, Kak," kata Tante Kiara, lega.

"Saya akan kabari Valeria."

"Sama-sama, Kiara. Ini sudah kewajiban saya," balas Rex Adrian. "Saya akan hubungi kamu lagi setelah saya berhasil mengatur pertemuannya."

Panggilan pun berakhir. Tante Kiara menatap Valeria dengan senyum menenangkan.

"Val, ayah Kian akan atur pertemuannya. Kita akan bertemu Fara dan Risa, tapi kali ini bukan berhadapan, melainkan duduk bersama dengan orang tua mereka," kata Tante Kiara. "Kita akan tunjukkan rekamannya, dan minta mereka untuk mengakui semuanya."

Valeria mengangguk. Hatinya merasa lebih tenang. Kini, segalanya tidak lagi berada di tangan ia dan teman-temannya.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!