"Thiago Andrade berjuang mati-matian untuk mendapat tempat di dunia. Di usia 25 tahun, dengan luka-luka akibat penolakan keluarga dan prasangka, ia akhirnya berhasil mendapatkan posisi sebagai asisten pribadi CEO yang paling ditakuti di São Paulo: Gael Ferraz.
Gael, 35 tahun, adalah pria dingin, perfeksionis, dengan kehidupan yang tampak sempurna di samping pacarnya dan reputasi yang tak bercela. Namun, ketika Thiago memasuki rutinitasnya, tatanan hidupnya mulai runtuh.
Di antara tatapan yang membakar, keheningan yang lebih bermakna dari kata-kata, serta hasrat yang tak berani dinamai oleh keduanya, lahirlah sebuah ketegangan yang berbahaya sekaligus memabukkan. Karena cinta — atau apapun nama lainnya — seharusnya tidak terjadi. Bukan di sana. Bukan di bawah lantai 32."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jooaojoga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15
Mobil itu melaju di jalanan basah, membersihkan kaca depan secara berkala, seolah mencoba menghapus ketegangan di antara keduanya setiap kali bergerak.
Gael menyetir dalam diam. Matanya terpaku pada jalan.
Thiago, di sampingnya, dengan jari-jari saling bertaut di pangkuan dan jantung berdebar kencang.
Keheningan itu berteriak.
Thiago tidak tahan lagi.
— Kenapa kamu melakukan ini?
Gael tidak mengalihkan pandangannya dari jalan.
— Melakukan apa?
— Memutuskan Helena. Merilis pernyataan di media. Menghilang selama berhari-hari. Dan sekarang muncul… dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa.
Gael mencengkeram kemudi. Menelan ludah.
— Aku perlu berpikir.
— Berpikir tentang apa? — Thiago berbalik menghadapnya. — Karena jika semua ini tidak ada hubungannya denganku, maka jelaskan. Katakan padaku sekarang. Akhiri ini.
Gael menghentikan mobil.
Di tengah jalan, di bawah hujan, dia parkir di samping halte yang hampir kosong. Suara air yang menghantam atap seolah menandai detik-detik antara satu dunia dan dunia lain.
Dia memalingkan wajah. Menatap mata Thiago. Dan akhirnya berbicara.
— Ini semua ada hubungannya denganmu.
Thiago membeku.
— Aku… — Gael ragu-ragu. — Aku tidak menginginkannya. Aku tidak mencarinya. Aku tidak membayangkan diriku dalam situasi ini. Tidak pernah.
— Situasi?
— Tertarik padamu.
Kata-kata itu menggantung di udara lembap.
Tertancap dalam.
Thiago tidak tahu harus berkata apa.
— Ini bukan hanya fisik — Gael melanjutkan, tegang. — Aku memikirkanmu. Ketika kamu tidak ada di perusahaan. Ketika aku seharusnya fokus. Ketika aku seharusnya tidak memikirkan apa pun. Aku berpikir. Dan aku tidak tahu harus berbuat apa dengan ini.
— Gael…
— Aku tahu kamu takut. Aku juga takut. Ada ribuan hal yang salah di sini. Tapi aku tidak bisa berpura-pura lagi.
Thiago menarik napas dalam-dalam.
Dia merasakan jantungnya berdebar di lehernya.
— Bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana dengan reputasimu? Bagaimana jika seseorang tahu?
— Aku tidak punya semua jawabannya lagi — aku Gael. — Untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Kilat menyambar langit di kejauhan.
Cahaya putih berkedip di wajah keduanya.
Dan kemudian, Thiago bergumam:
— Aku tidak tahu apakah aku bisa melindungi diriku dari mu.
— Aku juga tidak.
Dan sedetik kemudian, keheningan menyerah.
Gael mencondongkan tubuh. Thiago juga.
Dan ciuman itu terjadi.
Berbeda dari yang pertama.
Lebih tenang. Lebih tegas. Lebih dalam.
Tanpa perang. Tanpa amarah.
Hanya kebenaran.
Ciuman dari dua pria yang tidak tahu bagaimana memberi nama pada itu…
tetapi mereka tahu itu nyata.
⸻
Ketika mereka menjauh, mata masih terpejam, dunia tampak sunyi sejenak.
Gael berbisik:
— Sekarang giliranmu untuk memutuskan.
Thiago menatapnya.
Dengan rasa takut. Dengan hasrat.
Tapi dengan hati yang terbuka.
— Aku ingin… tapi perlahan.
— Kita akan perlahan-lahan. — jawab Gael.
Dan mobil itu melanjutkan perjalanan.
Tapi jalan mereka berdua baru saja berubah.
Hujan belum reda ketika Gael menghentikan mobil di depan gedung sederhana tempat Thiago tinggal.
— Di sini saja sudah cukup. — kata Thiago, suaranya rendah, hampir lembut.
Gael tidak segera menjawab. Dia hanya menatap.
Sejenak, sepertinya dia ingin mengatakan lebih banyak.
Tapi dia menahan diri.
— Selamat malam.
— Selamat malam.
Thiago turun.
Dia merasakan dampak hujan di wajahnya seperti semacam baptisan.
Sesuatu dalam dirinya telah berubah.
Dia menaiki tangga perlahan. Dia memasuki studio sempit.
Dia melepas sepatunya. Dia duduk di kasur.
Dan dia terus menatap langit-langit, dengan pikiran berputar-putar.
Dia telah mencium bosnya sendiri. Lagi.
Tapi kali ini… dengan perasaan. Dengan kebenaran.
Kupu-kupu di perut.
Sesuatu yang belum dia rasakan selama bertahun-tahun.
Tapi bersama dengan kupu-kupu… datanglah beban.
“Bagaimana jika seseorang tahu?
Bagaimana jika dia menyesal?
Bagaimana jika aku kehilangan segalanya?”
Pekerjaan. Stabilitas.
Kepercayaan yang dia butuhkan bertahun-tahun untuk membangunnya.
Kepala menjerit.
Tapi hati, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… tersenyum.
Dan malam itu, Thiago tidur.
Bermimpi tentang Gael.
Tidak ada yang skandal. Hanya sebuah gerakan.
Mereka berdua berjalan berdampingan, bergandengan tangan, di tempat yang tidak dia kenali.
Mimpi sederhana. Tapi indah.
Dan itu, bagi Thiago… hampir merupakan keajaiban.
⸻
Di sisi lain kota, di sebuah apartemen mewah, ponsel Gael bergetar.
Satu pesan.
Dona Eugênia.
"Saya melihat nama Anda di situs web hari ini. Anda terlihat lebih ringan di foto."
"Kapan pun Anda bisa, datanglah untuk makan malam. Saya rindu berbicara dengan putra saya yang paling bijaksana."
Gael menatap pesan itu selama beberapa detik.
Tidak ada tuduhan. Tidak ada nada agresif.
Hanya kata-kata manis, yang membawa racun kecurigaan.
Dia tahu.
Mungkin tidak semuanya.
Tapi cukup untuk mempersiapkan permainan.
Dan Gael tahu:
dengan Dona Eugênia, setiap kata datang dengan pisau di sela-sela baris.
