Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jerat Yang Mulai Terlepas
Pagi itu langit mendung menggantung berat. Di dalam rumah besar yang mulai terasa seperti penjara, Arman duduk diam di ruang makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin tidak ada makanan di sana. Di seberang meja, Melati duduk dengan kepala tertunduk, rambutnya terurai menutupi hampir seluruh wajah. Tidak seperti Melati dulu yang selalu tampil rapi dan modis yang sempat membuatnya jatuh cinta.
Hening, Tidak ada yang bicara diantara mereka berdua.
Setelah malam mengerikan kemarin, Arman mulai merasa sesuatu dalam dirinya pelan-pelan berubah. Ada ruang di dalam pikirannya yang terbuka, seakan kabut hitam yang selama ini menutupinya mulai tersibak oleh cahaya.
Namun, tubuhnya tetap lemas dan masih tidak berdaya. Dia mencoba untuk keluar dari rumahnya. Namun, Setiap kali mencoba menjauh dari Melati, selalu saja muncul sakit kepala yang luar biasa. Seolah ada tali tak kasatmata yang mengikat erat antara dirinya dan wanita itu.
"Mel… kamu nggak apa-apa?" tanya Arman pelan, walau merasa takut tapi sisi manusiawinya juga merasa khawatir dengan keadaan istri mudanya itu.
Perempuan itu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya memerah, entah karena menahan kantuk atau ada sesuati yang lain dalam diri Melati. Ada lingkar hitam tebal mengelilingi bola matanya yang membesar. Senyumnya getir, seperti menahan sesuatu.
"Kamu bertanya karena peduli? Atau karena takut?"
Arman terdiam. Kalimat itu terdengar seperti tuduhan, tapi juga ratapan.
Melati tertawa pendek lalu berdiri. Ia berjalan ke arah dapur tanpa suara. Langkahnya seperti melayang, dan rambutnya menjuntai menyapu lantai. Arman sangat terkejut karena sebelumnya rambut Melati tidak sepanjang itu.
Arman memejamkan mata. Kepalanya terasa berdenyut lagi. Dalam sekejap, penglihatan kabur, dan ia merasa tubuhnya terlempar ke dalam ruang kosong.
Gelap.
Lalu, terdengar suara jeritan suara Lestari. Ia melihat istrinya itu terkapar di lantai, tubuhnya diselimuti cahaya putih, sementara makhluk hitam bertaring menjulang di atasnya, tertawa dan mencakar udara.
"Lestari!"
Arman berteriak dari dalam mimpi. Tapi suaranya tidak terdengar oleh siapapun.
Tiba-tiba, makhluk itu menoleh padanya. Wajahnya adalah wajah Melati, tapi dengan kulit pecah-pecah dan lidah menjulur panjang. "Kau milikku, Arman. Tak ada jalan pulang."
Arman tersentak bangun, tubuhnya berkeringat dingin. Melati berdiri di sampingnya, memegang nampan berisi bubur dan secangkir teh hangat.
"Kamu mimpi buruk?" tanyanya datar.
Arman hanya mengangguk. Ia mulai merasakan satu hal yang belum pernah ia rasakan terhadap Melati sebelumnya, takut.
***********
Di pondok, Lestari duduk di depan tungku, mengaduk air rebusan daun bidara. Wajahnya pucat, tapi matanya tegas. Semalam, ia tidur berselimut doa dan air wangi. Tapi mimpi yang datang justru memperingatkannya.
Ia melihat bayangan Melati merayap di atap rumah, mengintip ke dalam kamar anak-anaknya. Rasa khawatir itu kembali hadir, dia takut Melati melukai anak-anaknya.
Lestari tahu waktunya semakin sedikit. Tapi dia tidak boleh gentar.
"Bunda... Dimas mau ikut ngaji sama kak Dara, " kata Dimas sambil membawa kitab kecil.
Lestari tersenyum, mengusap kepala putranya. "Bagus. Adik mulai belajar ngaji ya biar pinter. Kita lawan rasa takut dengan dzikir, Nak."
Ia mengajak anak-anaknya duduk melingkar. Sambil memegang tangan mereka, ia mulai membacakan doa-doa perlindungan, diikuti dengan surat-surat pendek. Meskipun suara mereka kecil dan kadang bergetar, udara di pondok mulai terasa lebih hangat. Lebih bersih.
Sebuah langkah kecil. Tapi bermakna bagi Lestari.
********
Sore harinya, Arman mencoba pergi dari rumah. Ia ingin mencari Lestari. Tapi begitu melangkah keluar dari halaman, tubuhnya lemas seketika. Lututnya roboh, napasnya sesak. Ia memegangi pagar depan, keringat dingin membanjiri punggung.
Melati muncul dari balik pintu.
"Jangan terlalu jauh, Mas. Kamu belum sembuh."
Arman menoleh, matanya penuh tanya. "Apa yang sebenarnya kamu lakukan padaku, Mel?"
Melati tersenyum dingin. "Aku hanya memastikan kamu tetap bersamaku dan tidak pergi kemana-mana. Kamu milikku sekarang. Kau yang datang padaku, ingat? dan aku tidak akan pernah melepaskanmu. "
"Aku… salah. Aku harus kembali pada Lestari. Anak-anakku butuh aku." teriaknya dengan penuh keberanian.
Seketika, angin bertiup kencang. Tanah halaman seperti berguncang. Langit mendadak menggelap.
Melati melangkah maju, tatapannya membara. "Kau tidak bisa lari. Dan kalau kau paksa… maka mereka yang akan menanggung akibatnya."
"Siapa? Dan apa maksudmu. "
"Lestari dan Anak-anakmu. Aku tahu di mana mereka bersembunyi. Jangan paksa aku mengunjungi mereka malam ini dan melukai mereka. "
Ancaman itu membuat darah Arman membeku. Dia tidak bisa pergi kemana-mana lagi untuk melindungi anak dan istrinya.
Di tempat lain, Bu Nurul datang ke pondok Lestari membawa sebuah nampan berisi garam dan daun bidara.
"Apa ini?" tanya Lestari.
"Pembatas. Bukan dari sihir, tapi dari ketulusan. Aku bawakan ini , dan telah kubacakan doa khusus. Siramkan di sekeliling pondok ini. di jendela dan pintu. Benda jahat tak bisa menembusnya, jika hatimu tetap bersih. "
Lestari menerima kain itu dengan tangan bergetar. "Terima kasih, Bu."
Bu Nurul memandangnya dalam-dalam. "Kamu harus siap. Sebelum kekuatan malam merenggut semuanya, kau harus membuat keputusan. Tinggal dan melawan… atau pergi selamanya. Dia sudah bersekutu dengan iblis dan menukarkan dirinya sendiri untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia tidak mau kalah, tapi kuasa Allah tak terbatas dan tak terkalahkan. "
Lestari mengangguk. "Aku akan tetap di sini. Tapi aku akan pastikan anak-anakku aman. Bagaimanapun caranya."
Malam turun perlahan. Di rumah besar, Melati berdiri di depan cermin. Ia menggurat wajahnya dengan pecahan kaca, darah menetes ke lantai. Tapi ia tidak meringis. Justru tertawa.
"Kau pikir bisa lepas dariku, Arman? tidak akan pernah bisa."
Cermin di depannya bergetar. Bayangan dirinya memantulkan sosok yang lebih mengerikan, bukan lagi Melati, tapi sosok hitam dengan mata menyala merah.
"Kau janjikan jiwanya, Melati. Tapi dia mulai terlepas dari pengaruh kita. Sekarang apa yang akan kamu lakukan."
Melati menggertakkan gigi. "Aku bisa mengikatnya lagi. Tapi jangan ganggu aku dengan ancaman murahanmu itu. "
Sosok itu mendesis, lalu menghilang. Namun cermin retak di semua sisi, memantulkan puluhan wajah Melati yang terdistorsi.
Sementara itu, Arman berbaring di kamarnya. Tangannya menggenggam tasbih tua milik Lestari yang entah bagaimana masih ia simpan.
Ia mulai membaca pelan-pelan, mencoba melawan rasa sakit yang mencengkeram kepalanya. Dan semakin lama ia berdzikir, semakin lepas tali yang selama ini menjeratnya.
Namun di luar pintu, Melati sudah bersiap dengan semua persiapan yang sangat matang.
Malam ini, dia akan mengunjungi pondok itu. Mengunjungi Lestari dan anak-anaknya. Dia ingin membuat perhitungan kepada Lestari agar tidak mencoba melawannya.