NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kamu tidak sendiri Anna

Tepat pukul dua lewat tiga puluh menit, aku pamit untuk menjemput Bian. Takut bocah itu sudah menungguku di sekolah.

Aku sengaja meninggalkan Anna bersama suami dan anaknya. Jujur saja, ada sedikit khawatir—takut mereka ribut di depan Ayyan. Kasihan anak itu. Tapi aku menahan diri. Mereka sudah dewasa. Seharusnya bisa menyelesaikan urusan mereka dengan kepala dingin.

Bukan tugasku ikut campur terlalu jauh.

Untuk sementara, aku memilih pura-pura bego—seolah tidak tahu apa-apa.

Aku melangkah ke garasi, lalu mengendarai Ford Everest milik almarhum pamanku. Sekarang mobil itu memang milik Anna, tapi entah kenapa aku selalu merasa nyaman mengendarainya.

Aku suka banget desain interior mobil ini. Maskulin. Macho. Laki banget.

Yang lucu, aku sendiri malah mengoleksi mobil sport—Ferrari, Lamborghini. Mobil-mobil mahal yang lebih banyak kupakai buat kesenangan pribadi. Ya… aku memang tipe yang suka buang-buang uang untuk hal yang bikin senang.

Soal menikah?

Belum kepikiran.

Aku baru dua puluh delapan, menjelang dua puluh sembilan Oktober nanti. Hidupku masih tentang kerja, jalan-jalan, dan kebebasan. Aku belum pernah merasa butuh seseorang untuk menetap.

Sampai hari ini.

Entah kenapa, bayangan Anna yang berdiri diam dengan mata lelahnya terus terngiang di kepalaku. Aku menghela napas pelan, menatap jalanan Palu yang mulai ramai.

Mungkin aku belum siap menikah.

Tapi untuk melindungi seseorang yang berarti…

aku selalu siap.

AKu sampai di sekolah Bian. Mobil kupelankan saat memasuki area parkir, lalu berhenti tak jauh dari pos security.

Pandangan mataku langsung tertuju pada satu sosok.

Bian sudah berdiri di dekat pos keamanan. Tasnya tersampir rapi di bahu, wajahnya terlihat tenang seperti biasa. Ia sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya—berperawakan rapi, kemeja dimasukkan ke celana, posturnya tegap.

Bukan guru.

Bukan juga satpam.

Entah kenapa, dadaku terasa sedikit mengencang.

Aku turun dari mobil, melangkah mendekat dengan langkah santai, meski mataku tak lepas dari pria itu. Dari jarak dekat, kulihat Bian tersenyum sopan, sikapnya tenang—ciri khas bocah yang dididik dengan baik.

“Om Alif!” sapa Bian begitu melihatku. Wajahnya langsung berbinar.

Aku mengangguk, tersenyum lebar, lalu berdiri di sampingnya.

“Lama nunggu, Nak?”

“Nggak, Om. Baru sebentar,” jawabnya jujur.

Aku mengalihkan pandangan ke pria paruh baya itu.

“Siang, Pak,” sapaku sopan.

Pria itu membalas dengan anggukan ramah. “Siang. Ini om-nya Bian?”

“Iya,” jawabku singkat, tetap tersenyum tapi waspada. “Saya Alif.”

Pria itu mengulurkan tangan. “Bima.”

Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.

Bima.

Nama itu bukan asing. Terlalu cocok dengan kepingan rasa curigaku sejak pagi.

Bian menatap kami bergantian.

“Om, Pak Bima baik. Tadi nemenin Bian nunggu,” ucapnya polos.

Aku mengusap kepala keponakanku, senyumku tetap terjaga.

“Makasih ya, Pak, sudah ditemani.”

Pak Bima tersenyum tipis—senyum orang dewasa yang menyimpan banyak hal.

“Sama-sama. Anak yang baik.”

Tatapan kami beradu sesaat.

Dan saat itu aku tahu—

ini bukan pertemuan kebetulan.

Sama sekali bukan.

AKu memilih tidak ambil pusing. Apa pun urusan orang dewasa itu, bukan tempatnya dibahas di depan anak.

Aku segera mengajak Bian pulang. Sebelum benar-benar kembali ke rumah, kami mampir sebentar ke Alfamart. Aku menyuruh keponakanku itu memilih apa saja yang ia mau—biar aku yang bayar sekalian.

“Ambil aja, Nak. Apa pun,” kataku santai.

Bian mengangguk. Ia berkeliling sebentar, lalu kembali dengan tangan yang… nyaris kosong. Hanya beberapa camilan kecil dan dua es krim.

“Cuma itu?” tanyaku heran.

“Iya, Om,” jawabnya polos. “Yang ini buat Mama sama Ayyan.”

Aku terdiam. Menatap wajahnya yang masih belia tapi matanya sudah menyimpan terlalu banyak pengertian.

Aku menunduk sedikit, merendahkan suara.

“Bian… kalau misalnya kamu harus milih—antara mama kamu sama papa kamu—kamu bakal milih siapa?”

Bian berhenti melangkah. Ia menatapku lurus. Tak ada ragu. Tak ada kebingungan.

“Mama, Om,” jawabnya tenang. Tegas.

Dadaku mengencang.

“Bian akan selalu jaga Mama. Kayak Mama jaga Bian sama adek,” lanjutnya pelan.

“Mama selalu ada buat kami. Mama pernah nerobos hujan buat jemput dan ngantar kami sekolah.”

Ia menunduk sebentar, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih kecil.

“Papa sering ngasih uangnya telat ke Mama. Bian tahu… meski Mama nggak pernah bilang. Mama pakai uang pribadinya buat hidupin kami.”

Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa panas.

Aku mengacak rambut Bian, lalu menariknya ke pelukan singkat.

“Kamu anak hebat, Nak.”

Dan saat itu aku tahu—

Apa pun yang akan terjadi nanti,

Anna tidak sendirian.

Anak-anaknya berdiri di sisinya.

Aku terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana yang sempat berat.

“Oh iya, Bian,” kataku santai sambil berjalan ke kasir,

“bukannya mama kamu itu pengangguran?”

Bian langsung menoleh cepat, alisnya terangkat.

“Iya, Om,” jawabnya jujur.

“Tapi mama itu kaya,” lanjutnya dengan nada bangga, dagunya sedikit terangkat.

Aku tertawa pelan. “Oh iya? Kok bisa?”

“Soalnya mama nggak pernah kekurangan. Dan mama selalu bilang… rezeki itu bukan cuma uang,” jawabnya polos, seolah itu hal paling wajar di dunia.

Aku terdiam sejenak.

Iya, aku tahu.

Pamanku meninggalkan warisan yang tidak sedikit untuk Anna. Anna adalah anak tunggal. Papa dulu bukan cuma tentara—selain pengabdian di militer, beliau juga memiliki puluhan hektar sawah dan lahan perkebunan, juga ternak yang jumlahnya tak sedikit.

Anna sebenarnya tidak pernah kekurangan apa pun.

Tapi ia memilih hidup sederhana.

Memilih diam.

Memilih tidak pamer.

Aku menatap keponakanku itu dengan perasaan campur aduk.

“Kamu bangga sama mama kamu?” tanyaku.

Bian mengangguk mantap. “Bangga banget, Om.”

Aku tersenyum, menepuk bahunya pelan.

Dalam hati aku berkata—

Kalau saja semua orang bisa melihat Anna dari matamu, Nak…

tak akan ada yang berani menyia-nyiakannya.

1
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!