Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 14
Suasana sarapan di Presidential Suite pagi itu diselimuti keheningan yang elegan. Rania sesekali melirik Airon yang tampak begitu tenang menyesap kopi hitamnya, kontras dengan gemuruh di dada Rania yang masih merasa asing dengan status barunya sebagai seorang istri. Tepat saat piring terakhir dibersihkan, pintu kamar diketuk. Ergan melangkah masuk dengan setelan jasnya yang rapi dan kaku.
"Selamat pagi, Tuan Airon," sapa Ergan dengan suara bariton yang sopan.
"Pagi," sahut Airon pendek, tanpa mengalihkan pandangan dari tablet di tangannya.
"Selamat pagi, Nyonya Muda," Ergan beralih menatap Rania, memberikan senyum hormat yang tulus.
Rania membalas dengan senyum ramah yang sejuk. "Selamat pagi, Ergan."
"Kita berangkat ke pertemuan sekarang, Tuan?" tanya Ergan memastikan jadwal.
Airon meletakkan tabletnya, lalu menatap Ergan dengan tajam. "Aku akan pergi sendiri. Kamu tetap di sini dan temani Rania belanja. Beli semua perlengkapan yang dia butuhkan, tanpa terkecuali."
Airon merogoh dompet kulitnya, mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam legam dengan aksen emas yang elegan, sebuah Black Card yang memiliki limit tanpa batas. Ia menyerahkannya pada Ergan.
"Ergan akan menemanimu belanja hari ini. Pergilah dengannya," ucap Airon, kini beralih menatap Rania. Tatapannya sulit dibaca, antara peduli dan dominasi.
Rania tertegun. "Tapi... saya tidak butuh apa-apa, Tuan."
Airon mendengus tipis, matanya menyapu penampilan Rania dari atas ke bawah. "Benarkah? Apa kamu akan terus memakai baju yang sudah lusuh itu? Pakaian itu sudah tidak layak." Ia menunjuk gaun yang beberapa hari lalu ia belikan, yang bagi Rania sudah sangat mewah, namun di mata Airon tetaplah kurang.
Rania terdiam, lidahnya kelu. Ia tidak berani membantah jika Airon sudah membawa-bawa harga diri dan status.
"Ergan, pastikan dia membeli banyak baju. Dia sangat membutuhkannya," perintah Airon mutlak.
"Baik, Tuan," jawab Ergan patuh. Ia kemudian membukakan pintu untuk Rania. "Kita berangkat sekarang, Nyonya Muda?"
Rania berdiri, melangkah mendekati Airon. Dengan gerakan ragu namun tulus, ia meraih tangan suaminya itu dan mencium punggung tangannya. Airon tersentak, tubuhnya menegang sesaat. Ia tak menyangka Rania akan melakukan gestur pengabdian seperti itu di depan asistennya.
"Saya pergi dulu, Tuan," bisik Rania.
Airon berdeham, mencoba menguasai kegugupan asing di dadanya. "Hemm... pergilah."
Mobil mewah yang dikendarai Ergan membelah jalanan kota menuju pusat perbelanjaan paling prestisius. Di dalam mobil, Rania tampak gelisah.
"Tuan Ergan..." panggil Rania pelan.
"Panggil Ergan saja, Nyonya Muda. Saya ini hanya bawahan Tuan Airon," sahut Ergan lembut melalui kaca spion tengah.
"Eh, maaf. Ergan..." Rania mencoba membiasakan diri. "Apa Tuan Airon memang, selalu sedingin itu?"
Ergan tersenyum kecil. "Tuan Airon memang memiliki kepribadian yang tertutup, Nona. Hidup di puncak kekuasaan membuatnya harus bersikap tegas. Saya harap Nona bisa memaklumi beliau."
Rania mengangguk pelan, kembali menatap keluar jendela. Ia menyadari perbedaan kasta yang begitu jurang di antara mereka. Airon terlahir dengan sendok emas di mulutnya, sementara ia hanyalah gadis yang tumbuh dalam kemelaratan di bawah bayang-bayang paman yang kejam.
"Nyonya Muda, kita sudah sampai."
Rania mendongak, matanya membulat menatap gedung pencakar langit yang megah di hadapannya. Mall itu tampak seperti istana kaca. Ergan menuntunnya masuk, melewati deretan butik internasional yang aromanya saja tercium sangat mahal.
"Silakan, Nyonya Muda," Ergan berhenti di sebuah butik mewah dan mempersilakan Rania masuk. "Pilihlah apa pun yang membuat Anda tertarik."
"Boleh saya melihat-lihat dulu?" tanya Rania ragu.
"Tentu saja. Ambil waktu Anda sebanyak mungkin."
Rania melangkah masuk, menyentuh kain-kain sutra yang lembut. Namun, saat matanya tidak sengaja melihat label harga yang tertera, ia hampir menjerit. Astagfirullah... Angka yang tertera di sana bisa menghidupi dirinya dan Bibinya di desa selama satu tahun penuh.
Ia mendekati Ergan dengan wajah pucat. "Ergan, sebaiknya kita pergi saja dari sini."
"Kenapa, Nona? Apa pakaian di sini kurang bagus?"
Rania berbisik, wajahnya memerah karena malu. "Bukan... pakaian di sini harganya tidak masuk akal. Dan lagi... semuanya terlihat kekurangan kain. Saya tidak bisa memakai baju sependek dan seterbuka itu."
Ergan mengangguk maklum. Ia baru menyadari bahwa selera Rania yang sopan dan tertutup tidak cocok dengan butik high-fashion yang seksi ini. Ia segera membawa Rania ke lantai lain, menuju butik yang menyediakan gaun-gaun modest nan elegan.
Kembali, Rania dibuat tercengang. Meski lebih tertutup, harganya tetap mencapai jutaan rupiah per potong. "Kenapa semuanya semahal ini?" gumamnya lirih.
"Ergan, ayo kita pergi. Ini terlalu boros," ajak Rania lagi saat menghampiri Ergan yang sedang duduk di ruang tunggu.
Ergan mengeluarkan Black Card milik Airon. "Nyonya Muda, silakan beli. Tuan sudah memberikan kartu ini. Harga pakaian di sini sama sekali tidak berarti bagi kekayaan Tuan Airon."
"Tapi tetap saja..."
"Nona, jika kita pulang dengan tangan kosong, Tuan Airon pasti akan marah besar. Beliau akan menganggap saya tidak bisa menjalankan perintah dengan baik, dan beliau mungkin akan menganggap Nona menolak pemberiannya," Ergan menggunakan "ancaman" halus karena tahu Rania sangat takut pada kemarahan suaminya.
Rania menggigit bibir bawahnya. Bayangan wajah murka Airon terlintas di benaknya. Dengan berat hati dan tangan yang sedikit bergetar, ia akhirnya memilih beberapa gaun panjang dan setelan sopan yang membuatnya nyaman.
Setelah urusan pakaian selesai, Ergan membawa Rania menuju toko sepatu ternama. Rania mengernyit bingung. "Untuk apa kita ke sini lagi?"
"Kaki Nyonya Muda berhak mendapatkan alas yang indah. Tidak mungkin Nyonya terus memakai sandal itu ke acara-acara Tuan nanti," Ergan menunjuk sandal jepit Rania yang memang sudah menipis dan kusam.
Lagi-lagi, Rania hampir pingsan melihat harga sepasang sepatu hak tinggi yang dipajang. Semuanya terasa seperti mimpi buruk baginya.
"Kenapa semuanya mahal-mahal sekali?" keluh Rania.
Tiba-tiba, suara tawa sinis terdengar dari arah belakang. "Ya jelas mahal lah. Semua yang ada di sini itu bermerek. Kalau tidak punya uang, sebaiknya jangan masuk ke sini. Merusak pemandangan saja."
Seorang wanita sebaya Rania, dengan pakaian mentereng dan riasan tebal, menatap Rania dengan pandangan menghina. Ia kemudian beralih pada pegawai toko. "Kalian bagaimana, sih? Masa perempuan gembel seperti ini dibiarkan masuk? Nanti kalau ada barang yang hilang, kalian mau tanggung jawab?"
Rania tertunduk, wajahnya memanas karena malu. Ia ingin segera lari dari sana. Namun, Ergan melangkah maju dengan aura yang mengintimidasi.
"Jangan sembarangan bicara kalau tidak tahu siapa yang sedang Anda hadapi!" bentak Ergan pada wanita itu.
"Siapa kamu? Cuma asisten, kan? Berlagak sombong!" tantang wanita itu.
Ergan mengabaikannya, ia berlutut di depan Rania dengan penuh hormat. "Nyonya Muda, apa sudah menemukan sepatu yang cocok?"
"Belum... ayo kita pergi saja, Ergan," bisik Rania, air mata mulai menggenang.
"Dasar sok kaya. Hanya pembual," ejek wanita itu lagi, menganggap Ergan dan Rania hanyalah orang miskin yang sedang berhalusinasi.
Ergan berdiri, emosinya terpancing karena wanita itu menghina istri atasannya. Ia menoleh pada manajer toko yang tampak ragu. "Ambilkan semua sepatu dan sandal dengan ukuran kaki Nyonya ini. Semua model terbaru. Kami ambil semuanya!"
"Ergan! Apa yang kamu lakukan? Itu sangat mahal!" protes Rania panik.
"Nyonya, saya tidak akan membiarkan harga diri Anda diinjak-injak oleh orang seperti dia," tegas Ergan.
Wanita sombong itu tertawa terbahak-bahak. "Memborong semua? Pakai apa? Daun? Jangan melucu!"
Keheningan terjadi saat Ergan melangkah ke kasir dan menghempaskan Black Card milik Airon di atas meja. Petugas kasir terbelalak, segera membungkuk hormat saat menyadari identitas kartu langka tersebut. Mesin EDC berbunyi tit, menandakan transaksi ratusan juta rupiah berhasil dalam sekejap.
Tawa wanita itu mendadak mati. Wajahnya pucat pasi, ia segera berbalik dan pergi dengan terburu-buru karena malu yang luar biasa.
Rania menatap tumpukan kotak sepatu yang sedang dikemas oleh para pegawai toko dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah karena telah menghabiskan uang Airon sebanyak itu dalam waktu satu jam.
"Harusnya kita tidak melakukan ini, Ergan. Bagaimana kalau Tuan marah?" tanya Rania cemas saat mereka berjalan menuju parkiran.
Ergan tersenyum tenang. "Percayalah, Nona. Tuan Airon akan jauh lebih marah jika istrinya dihina orang dan saya diam saja. Ini adalah cara beliau menunjukkan pada dunia siapa Rania Pelangi sebenarnya."
Rania menghela napas berat, menatap tas-tas belanjaan mewah di tangan Ergan. Ia merasa seperti Cinderella, namun ia tahu, di balik kemewahan ini, ada harga yang harus ia bayar dalam pengabdiannya pada sang Bos Berdarah Dingin. Ia hanya bisa berharap, keputusannya ini tidak akan berakhir dengan kemarahan suaminya di hotel nanti.
*******
Jangan lupa untuk terus dukung kisah Rania dan Airon dengan klik VOTE, berikan LIKE, dan tinggalkan KOMENTAR kalian di bawah! Setiap dukungan kalian adalah semangat bagi Author untuk lanjut ke bab berikutnya yang lebih seru! Salam sayang, Author.
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦